REVIEW - LOSMEN BU BROTO

7 komentar

Dapatkah tradisi berdiri beriringan dengan modernisasi? Berbeda dengan dunia barat, aspek kultural membuat obrolan soal perspektif kekinian di Indonesia jadi terkesan rumit. Kenapa ada kata "terkesan"? Sebagaimana disampaikan Losmen Bu Broto, menyikapi modernisasi di tempat yang menjunjung tinggi tradisi, sejatinya sederhana. Bukalah pintu hati, alih-alih sibuk berteori.

Mengadaptasi serial televisi Losmen (pernah diangkat ke layar lebar dalam Penginapan Bu Broto pada 1987, pun serial versi baru yang berjudul Guest House: Losmen Reborn tayang di TVRI hingga tahun ini), film ini berlatar di Yogyakarta. Sungguh pas. Sebagai salah satu penduduknya, saya tahu problematika ini memang tengah disoroti. Mana modernisasi destruktif mana modernisasi konstruktif? Mana yang mesti diserap, mana yang sebaiknya dibuang? 

Pak Broto (Mathias Muchus) dan Bu Broto (Maudy Koesnaedi) mengelola Losmen Bu Broto bersama ketiga anak mereka: Pur (Putri Marino), Sri (Maudy Ayunda), dan Tarjo (Baskara Mahendra). Bisa ditebak dari nama losmen, Bu Broto merupakan matriarch yang mengatur segalanya, dari perihal losmen hingga kehidupan anak-anaknya. 

Sri paling terganggu oleh dinamika itu. Di tengah kesibukan mengurus losmen, ia tetap meluangkan waktu bernyanyi di cafe. Menyanyi memang passion-nya. Sri pun menjalin hubungan dengan Jarot (Marthino Lio), seniman yang kerap menginap di losmen. Kedua hal tersebut ditentang sang ibu. 

Losmen Bu Broto bernuansa tradisional, baik desain bangunan, perabot, sampai pakaian para karyawan. Tapi pelayanannya tidak kuno. Misalnya terkait menu makanan tamu yang dibebaskan sesuai pesanan. Itu contoh kecil akulturasi dalam film ini. Elemen lebih esensial dapat dilihat pada bagaimana naskah buatan Alim Sudio menggambarkan tiga tokoh utama wanita, serta konflik yang melibatkan mereka.

Bu Broto adalah matriarch di negeri penuh patriarch, bukan karena paling tua, bukan pula karena sang suami telah tiada, melainkan karena sebegitu tangguh dia. Tapi Bu Broto memegang teguh prinsip berlandaskan tradisi. Sosoknya tradisional, namun tak tertinggal. Maudy Koesnaedi cemerlang menghidupkan kekokohan Bu Broto.

Lalu ada Pur, yang belum juga bisa melupakan kekasihnya, Anton (Darius Sinathrya), yang meninggal akibat kecelakaan. Bagaimana Pur menjalani hidup bersama luka selama setahun belakangan, kemudian berproses untuk bisa memaafkan semua termasuk dirinya sendiri, merupakan bentuk kekuatannya. Putri Marino luar biasa di sini, tidak menyisakan kekosongan rasa, sekalipun sedang berdiam diri. Puncaknya dalam sebuah perdebatan antara Pur dan ibunya. Cara Putri mengucap "Benar ya bu?" sembari berurai air mata, adalah perwujudan "nerimo" yang mengoyak hati.

Apabila Bu Broto ada di ekstrim kanan, dan Pur berdiri di tengah, maka Sri adi ekstrim kiri. Dialah yang membawa sudut pandang kekinian memasuki losmen (membuat saya makin mempertanyakan peran Tarjo). Ketika Sri hamil di luar nikah, di situlah para penghuni losmen dihadapkan pada dua pilihan: mengusir "kekinian" itu, atau membukakan pintu?

Ketiga wanita itu punya perspektif tentang alasan pengambilan sebuah sikap. Seringkali perspektif mereka saling bertentangan. Menurut Losmen Bu Broto, solusinya adalah dengan memahami perspektif masing-masing, yang didasari hati, selaku pondasi nilai kekeluargaan. Nilai keleluargaan sendiri adalah bagian tradisi, dan naskahnya secara cerdik menjadikan itu sebagai "pembuka pintu", alih-alih tembok penghalang modernisasi.   

Kekurangan naskahnya terletak pada minimnya presentasi soal pentingnya peran Sri di losmen. Dia digambarkan sebagai anak terpintar, tapi contoh nyata di lapangan tak pernah benar-benar kita lihat. Apa sesungguhnya keahlian Sri kurang terpapar jelas. Alhasil, saat di satu titik ia "pergi" sampai membuat pelayanan losmen kacau balau, agak sulit mempercayai masalah itu. 

Di kursi penyutradaraan, duduklah Ifa Isfansyah dan Eddie Cahyono (film panjang pertamanya sejak Siti). Setelah kredit pembuka yang dikemas segar nan kreatif lewat pemanfaatan berbagai properti, kedua sutradara membawa film ke nuansa yang sedikit berbeda. Cenderung bersabar dalam menggulirkan alur tapi tidak draggy. Gaya yang sebenarnya selaras dengan karya-karya kedua sutradara sebelum ini, terutama Eddie. 

Sehingga terasa inkonsisten tatkala keduanya memilih metode dramatisasi yang formulaik, bahkan repetitif. Selalu melibatkan air mata dan pelukan, yang hampir seluruhnya dibungkus menggunakan penataan kamera nyaris serupa. Sekali-dua kali mungkin masih berdampak, tapi jika terlalu sering, apalagi dalam waktu berdekataan, kekuatannya berkurang. Untungnya ada penampilan kuat trio aktrisnya, yang membuat tiap rasa tersampaikan. Pun kelemahan itu sama sekali tidak memengaruhi status Losmen Bu Broto sebagai satu dari sedikit film Indonesia, yang jeli dan benar-benar sukses memaparkan peleburan tradisi dan modernisasi.

7 komentar :

Comment Page:
Firman mengatakan...

Entah sengaja bercanda atau memang typo,tapi "losmen Bu Borot".di paragraf ke-9 sukses bikin saya tertawa

Rasyidharry mengatakan...

Anjeng baru nyadar juga. Untung diingetin 😂😂😂

hilpans mengatakan...

Reviww cinta bete nya dunk bunk...secara masuk nominasi FFI gtu

Anonim mengatakan...

Worst person in the world, bang rasyid! Ngeliat premis dan trailernya plus bnyk award yg didapet keknya pecah bnget sih filmnya.

Anonim mengatakan...

Saya pikir kayak spin-off Losmen.soalnya Mathias Muchus dulu jadi Tarjo.dan melanjutkan usaha ibunya...

Rasyidharry mengatakan...

Oh kalo itu yang Hostel Reborn. Karakter utamanya jadi Tarjo, tapi diganti Ray Sahetaph

Anonim mengatakan...

Bang kalo nanti nonton penyalin cahaya di jaff, jangan lupa langsung review dungg. Penasaran banget sama film terbaik FFI satu ini!!!