REVIEW - CINTA PERTAMA, KEDUA & KETIGA

Tidak ada komentar

"Tu wa ga, tu wa ga", ucap karakternya kala menghitung langkah waltz yang kerap mereka tarikan. Ada romantisme tersendiri pada waltz, yang dibawakan berpasangan dalam posisi berdekatan (sempat dianggap tak bermoral di awal kelahirannya dulu), sembari keduanya melenggang, lalu berputar dengan anggun. Itulah mengapa ada istilah "waltz through" guna menggambarkan pergerakan yang carefree, baik secara literal maupun figuratif. 

Begitu pula manusia-manusia di Cinta Pertama, Kedua & Ketiga garapan Gina S. Noer ini. Didasari cinta, mereka bergerak bebas, seolah tidak memedulikan batasan apa pun. Raja (Angga Yunanda) dan Asia (Putri Marino) sama-sama memikul tanggung jawab besar merawat orang tua masing-masing. Dewa (Slamet Rahardjo Djarot), ayah Raja, kesehatannya telah menurun, sedangkan ibu Asia, Linda (Ira Wibowo) merupakan penyintas kanker payudara. 

Dewa jatuh cinta selepas mengikuti kelas tari milik Linda. Raja dan Asia sejatinya mendukung hubungan keduanya, karena merasa orang tua mereka pantas mendapat kebahagiaan pasca setumpuk penderitaan. Tapi kedekatan dua keluarga ini rupanya turut menautkan hati Raja dan Asia, yang tentu saja menciptakan kerumitan. 

Selepas romansa toxic di Posesif (2017) dan kehamilan remaja di Dua Garis Biru (2019), Gina kembali mengolah tema yang cenderung tabu melalui naskahnya. Apalagi saat dengan berani, ia membawa Dewa dan Linda ke jenjang pernikahan, yang berarti, tatkala hubungan Raja dan Asia makin intens, status mereka sudah menjadi saudara tiri. 

Tapi dibanding dua judul di atas, Cinta Pertama, Kedua & Ketiga punya kemasan lebih ringan, melalui bumbu humor (yang sayangnya tidak selalu tepat sasaran) serta penekanan pada kehangatan relasi keluarga. Pun Gina mengemasnya dengan sensitivitas. Premis seperti ini mudah sekali digiring ke ranah seksualitas berlebih bahkan perversi, namun Gina tetap mengutamakan hati.

Romantisme mampu dihadirkan melalui momen yang menyasar rasa daripada (cuma) hasrat. Misal malam pertama Dewa dan Linda. Terjadi kontak fisik, namun yang lebih dikedepankan adalah proses berbagi rasa, antara dua insan yang akhirnya saling menemukan, dan berjuang bangkit dari luka masing-masing. 

Walau demikian, bukan berarti Gina menanggalkan "kenakalan" kisahnya. Tetap dipertahankan, tetapi lewat presentasi elegan. Intensitas selalu menyeruak tiap Raja dan Asia berdekatan, menyampaikan cinta dengan cara bertukar tatapan dan hembusan napas. Terlebih, Putri dan Angga punya chemistry menyengat. Secara individual, seperti biasa Putri tanpa celah, sedangkan Angga pun tampil kuat, meskipun luapan emosinya di adegan "pengakuan dosa" agak berlebihan. 

Cinta Pertama, Kedua & Ketiga dipenuhi momen yang jika disimak satu per satu menghadirkan kehangatan bahkan keindahan berkat sensitivitas pembuatnya, namun lain cerita jika dipandang sebagai kesatuan. Kali ini tuturan Gina tak serapi biasanya. Sedari sekuen pembuka, muncul banyak lompatan-lompatan liar, yang mengakibatkan penceritaannya berantakan.

Ketiadaan transisi memadai, membuat kesan dadakan yang memancing kebingungan, juga inkonsistensi tone, jamak terjadi. Bahkan sesekali suatu adegan maupun elemen cerita dan penokohan jadi kehilangan substansi. Misalnya tarian imajiner Raja dan Asia, atau "kekuatan spesial" kepunyaan Linda. 

Mungkin ada pengaruh dari proses produksi yang berjalan di tengah pandemi. Menariknya, film ini termasuk berhasil mengimplementasikan unsur-unsur pandemi ke narasi secara mulus, natural, alih-alih tampil terkesan berkata, "Lihat, film ini pandemi banget loh" (Halo Paranoia). Cinta Pertama, Kedua & Ketiga tetap mengesankan, hanya saja Gina S. Noer telah menetapkan standar yang cukup tinggi dalam karya-karyanya.

(JAFF 2021)

Tidak ada komentar :

Comment Page: