REVIEW - HOUSE OF GUCCI

3 komentar

Penonton drama Korea pasti akrab dengan istilah makjang. Sebuah genre penuh hal berlebihan, yang jago menaikkan tekanan darah penontonnya (contoh: Sky Castle, The World of the Married, Penthouse). Cinta beda kasta, keluarga luar biasa kaya (biasanya memiliki ayah diktator dan salah satu anaknya tidak berguna), latar mewah, konspirasi berbelit, korupsi, perselingkuhan, pembunuhan, jadi beberapa elemen khasnya. Eksekusinya cenderung over-the-top. Serba berlebih. 

House of Gucci punya semua elemen di atas, namun Ridley Scott jelas tidak pernah menonton makjang. Mengadaptasi buku The House of Gucci: A Sensational Story of Murder, Madness, Glamour, and Greed karya Sara Gay Forden, naskah buatan Becky Johnston dan Roberto Bentivegna kaya akan peristiwa menghebohkan, namun Scott bak gamang, terombang-ambing di antara pemahaman soal seberapa campy ceritanya, dengan ambisi bertutur secara elegan.

Tampilan House of Gucci jelas elegan. Mewah. Mahal. Baik dari pemilihan set, properti, kostum, pula bagaimana Dariusz Wolski menekankan nuansa grandiose melalui lensa kameranya. Kulit luarnya memang harus begitu, mengingat karakternya berasal dari keluarga yang dahulu membuat dan menguasai merek fashion tersohor, Gucci. 

Pada 1978, Maurizio Gucci (Adam Driver), pewaris 50% saham Gucci milik ayahnya, Rodolfo Gucci (Jeremy Irons), bertemu dengan Patrizia Reggiani (Lady Gaga) di sebuah pesta. Mereka jatuh cinta, walau Rodolfo (dan rasanya banyak penonton juga) meragukan Patrizia. Apakah ia tulus, atau hanya mengincar harta Maurizio? 

Pertanyaan itu terus berputar sepanjang durasi, namun bukan karena naskahnya kompleks. Sebaliknya, naskah House of Gucci luput mendalami internal si karakter. Tidak seperti anggota keluarga Gucci lain, Maurizio tak terobsesi harta. Di satu titik ia bahkan rela melepas segalanya, bekerja sebagai tukang cuci truk di perusahaan ayah Patrizia, demi menikahi gadis pujaannya yang tak direstui Rodolfo. Patrizia berbahagia. 

Apakah berarti ia memang tulus, atau tengah memainkan trik? Jika tengah "bermain", sungguh mulus permainannya. Tapi mengapa kemulusan itu lenyap selepas keduanya menikah? Patrizia mulai mengadu domba semua pihak, mulai dari paman Maurizio, Aldo (Al Pacino), hingga Paolo (Jared Leto), putera Aldo yang eksentrik dan berambisi memulai lini bisnis sendiri meski tak berbakat. Atau memang naskahnya hendak menampilkan proses berubahnya manusia akibat kuasa harta? Kalau iya, naskahnya gagal menggali detail transformasi tersebut (catat, "transformasi", bukan perihal keserakahan secara general). 

Mungkin karena naskahnya sendiri kepayahan dalam merangkum 400 halaman bukunya, sebab aliran alur pun kerap kurang mulus. Lompatan-lompatan kasar penuh kesan "tiba-tiba" jamak terjadi, yang makin kentara kala Scott menggerakkan film dengan tempo cepat. Tetap ada poin yang tersampaikan dengan kuat, yakni soal "Mana pihak yang benar?".

Jawabannya "tidak ada". Semua keliru. Semua terjerat keserakahan, sehingga saling berkhianat. Saling tusuk. House of Gucci adalah tragedi mengenai upaya saling menghancurkan didasari ketamakan, yang berakhir menghancurkan semuanya. Memang kelam, dan di sinilah masalah utama House of Gucci bermula: inkonsistensi tone.

Saya bisa membayangkan bagaimana Scott dan tim menilik materinya, lalu berujar, "Wow, this is absurd". Tragis, gelap, tetapi absurd. Ketimbang memilih, Scott justru meleburkan kedua sisi yang bak air dan minyak itu. Pengadeganan serius, plus color grading yang "dingin", membungkus momen-momen konyol, sebutlah pertemuan Patrizia dengan cenayang bernama Pina (Salma Hayek), yang selain meramal masa depan, juga mengirim mantera guna-guna untuk Maurizio. Tidak sinkron. 

Driver, Gaga, Irons, Pacino, Leto, semua bermain baik, namun masing-masing tokoh bagai berasal dari film berbeda. Maurizio dari film biografi serius yang mengingatkan pada perjalanan "good-boy-turns-bad" Michael Corleone di seri The Godfather, sedangkan Gaga dan Leto bersenang-senang memamerkan keeksentrikan.

Membingungkan. Inkonsisten. Paling tidak, pacing cepat Scott, biarpu mengorbankan kesolidan narasi, membuat durasi 157 menitnya tidaklah melelahkan. Pun tidak peduli seberapa kuat usaha Scott menekan sisi absurd filmnya agar tampak elegan, pada dasarnya House of Gucci sudah diberkahi materi warna-warni yang menarik diikuti. Andai saja Ridley Scott lebih dulu menonton makjang sebelum membuat film ini. 

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Menurut lu bang kan Globe nominasi nya uda keluar nih diantara Colman, Stewart, Gaga, Jessica, sama Nicole lu pick siapa bang?

Mahfud mengatakan...

Ngga bisa milih antara gaga atau stewart

Eko mengatakan...

Masih gak sadar bahwa pemeran paolo gucci itu adalah jared leto