REVIEW - WEST SIDE STORY

2 komentar

Drama, thriller, komedi, horor, perang, fiksi ilmiah, kriminal, petualangan, aksi, fantasi, romansa, biografi, animasi. Sejak debutnya setengah abad lalu, Steven Spielberg telah menyentuh semua genre tersebut. Sewaktu akhirnya Spielberg merambah ke musikal, yang memang telah lama dia impikan, saya tidak terkejut. Tiada sutradara selengkap dirinya. 

Biar demikian, keputusannya membuat West Side Story cukup memancing pertanyaan. Diangkat dari musikal panggung berjudul sama, adaptasi layar lebar sebelumnya (1961) meraih sukses luar biasa. Memenangkan 10 piala Oscar (termasuk Best Picture) dari total 11 nominasi, serta meraup penghasilan sekitar 6 kali lipat biaya produksi, apakah versi baru memang diperlukan? 

Jujur saja, menit-menit pertamanya agak meragukan. West Side Story (1961) punya salah satu sekuen pembuka terbaik di sepanjang sejarah film musikal. Diberkahi cast berkemampuan fisik layaknya manusia super, film garapan Robert Wise dan Jerome Robbins itu secara kreatif meng-koreo-kan semua peristiwa, termasuk perkelahian antar geng. 

Spielberg tampil lebih sederhana, lebih konvensional, lebih aman. Cukup mengecewakan. Tapi, seiring kita dibawa memasuki latar New York 1950-an dengan beragam konflik miliknya yang masih relevan hingga kini, makin jelas pula bahwa versi baru ini lebih superior.

Alkisah, ada dua geng tengah memperebutkan wilayah kekuasaan, yaitu Jets di bawah pimpinan Riff (Mike Faist) yang diisi pemuda kulit putih, dengan Shark yang dipimpin Bernardo (David Alvarez) dan beranggotakan imigran Puerto Riko. Kemudian, serupa kisah Romeo and Juliet yang jadi inspirasi drama panggungnya, perseteruan dua kubu tadi makin rumit kala benih-benih cinta terlarang tumbuh.

Tony (Ansel Elgort), sahabat Riff sekaligus salah satu pendiri Jets yang berusaha "hidup lurus" selepas keluar dari penjara, dan Maria (Rachel Zegler), adik Bernardo, saling jatuh hati sejak pertemuan pertama di pesta dansa. Tentu hubungan keduanya mendapat tentangan hebat dari semua pihak. 

Tampil lebih setia ke drama panggungnya ketimbang versi 1961, terutama soal urutan lagu, naskah buatan Tony Kushner (telah dua kali menulis untuk Spielberg di Munich dan Lincoln), cerdik menerapkan modernisasi pada penceritaan, dengan cara menambah isu yang belum ada, sambil memperdalam apa yang sebelumnya masih tampil "malu-malu". 

Persoalan rasisme diperkuat. Tidak ada lagi solidaritas antar geng. Di film 1961, meski berebut wilayah, Jets dan Shark  cenderung saling melindungi tatkala aparat turut campur. Jets cuma memedulikan kekuasaan. Bukan ras. Kali ini, muncul kesan bahwa kebencian Jets juga wujud penolakan atas imigran, yang mana lebih realistis. 

Tema besar tentang lingkaran kekerasan tanpa ujung makin diperluas cakupannya. Tentang rantai dendam yang selama tak terputus hanya membawa kematian, tentang kepemilikan senjata yang didasari saling curiga dan kebencian, tentang ketidakadilan sistem yang berakibat melestarikan budaya kekerasan itu. 

Perihal karakter juga mengalami modifikasi, baik karakterisasi individu, maupun interaksi mereka. Terutama terkait gender. Anybodys (Iris Menas) bukan lagi "cuma" gadis yang ingin bergabung bersama geng laki-laki, melainkan transgender, membuat namanya makin bermakna (it isn't about a particular somebody, but anybody). Maria jadi lebih berdaya di hadapan Bernardo, berdiri kokoh mempertahankan argumen, bahkan membalas kata-kata sang kakak. Pun filmnya secara tegas menyebut "rapist", saat geng Jets melecehkan Anita (Ariana DeBose), kekasih Bernardo, sebagai wujud penolakan justifikasi atas perkosaan dalam bentuk apa pun.

Ada satu lagi poin menarik tentang gender. Rita Moreno, pemeran Anita di versi 1961, di sini tampil sebagai Valentina, menggantikan sosok Doc (Ned Glass). Perubahan gender ini bukan semata wujud penghormatan bagi sang legenda, pula dipakai memperkuat dampak emosi narasinya, sebagai mentor yang menjalin ikatan lebih kuat dengan Tony, juga figur yang menyuarakan kejengahannya atas ketiadaan ruang aman bagi wanita.

Durasi 156 menitnya benar-benar dimanfaatkan untuk menyusun cerita yang kaya, lengkap dengan pacing solid, di mana Spielberg dan Kushner mampu menghindari kekurangan versi 1961 yang kerap berlama-lama tinggal di satu peristiwa. 

Bagaimana dengan musikalnya sendiri? Dibarengi lagu-lagu klasik yang makin terpoles, Spielberg menunjukkan definisi "update" dan "upgrade" yang sesungguhnya. Rendisi America jadi salah satu yang paling mencolok kala memindahkan latar rooftop ke ruang publik, menjadikannya lebih meriah, lebih uplifting, sekaligus memberi panggung besar bagi Ariana DeBose memamerkan pesonanya. 

Zegler dengan senyum serta tatapan berbinar sanggup meluluhkan hati lewat debutnya, tapi DeBose adalah penampil terbaik film ini. Memerankan wanita penuh mimpi dan optimisme, yang kemudian dihantam oleh realita memilukan, energinya menyengat, luapan rasanya menusuk. Terlebih dalam duetnya dengan Zegler di nomor A Boy Like That / I Have Love selaku pertukaran emosi menyentuh keduanya. Di Academy Awards 1962, Rita Moreno memenangkan Best Supporting Actress berkat perannya sebagai Anita. Patut ditunggu, apakah 60 tahun berselang, DeBose akan mengulangi capaian serupa. Menariknya, besar kemungkinan salah satu saingan terberat DeBose adalah Moreno sendiri. 

Pada A Boy Like That / I Have Love, lagunya berakhir di nada tinggi, dan Spielberg memfokuskan kamera ke wajah dua aktrisnya, menghasilkan nuansa menggelora layaknya musikal-musikal klasik Hollywood. Begitulah West Side Story. Walaupun berstatus modernisasi, Spielberg tahu betul unsur-unsur yang menjadikan musikal salah satu genre terpopuler di masa lalu. Sehingga lahirlah karya yang menyesuaikan perkembangan zaman, sambil tetap mempertahankan keunggulan serta kekhasannya. Sekali lagi, versi yang superior dibanding pendahulunya. Steven Spielberg mendobrak kemustahilan, sebagaimana sudah ia lakukan selama puluhan tahun.

2 komentar :

Comment Page:
Nouvaleka mengatakan...

SAYA SUKA SEKALI FILMNYA!!! SETUJU DENGAN SKORNYA. MAU NONTON LAGI MINGGU DEPAN KALAU BELUM TURUN LAYAR. GILA MERINDING TIAP ADEGANNYA.

hilpans mengatakan...

Cuss..ke bioskop lagi