REVIEW - BEING THE RICARDOS

2 komentar

"Di masa kejayaannya, 60 juta orang menyaksikan I Love Lucy". Demikian bunyi trivia pertama Being the Ricardos, bak ingin langsung menegaskan soal betapa besar sitkom yang tayang tahun 1951-1957 itu, ke penonton generasi sekarang yang kurang familiar terhadapnya. Fakta tambahan: enam bulan selepas penayangan perdananya, sekitar 11 juta keluarga menonton I Love Lucy tiap minggu, di saat pemilik televisi di Amerika Serikat baru berjumlah 15 jutaan. Warisannya bertahan hingga kini. Serial apa yang jadi inspirasi terbesar WandaVision? Tentu saja I Love Lucy. 

Alur Being the Ricardos berjalan non-linear dengan tiga latar waktu. Proses produksi salah satu episode I Love Lucy tahun 1952, masa-masa awal hubungan Lucille Ball (Nicole Kidman) dengan Desi Arnaz (Javier Bardem), dan wawancara ala dokumenter di masa sekarang. Elemen mockumentary-nya jadi bagian terlemah. Sorkin membangun jembatan penghubung antara kisah utama dengan penonton, yang sejatinya tak perlu dilakukan karena minim signifikansi.

Being the Ricardos memang suguhan paling bersahabat dari Sorkin. Biopic yang cenderung lebih tradisional dibanding judul-judul seperti The Social Network (2010), Steve Jobs (2015), atau Molly's Game (2017). Tapi DNA Sorkin tetap tertanam kuat, entah lewat dialog/monolog yang masih bagai senapan mesin meski tak seliar biasanya, maupun sentral penceritaan yang mengambil satu peristiwa spesifik untuk mengeksplorasi karakternya, alih-alih menuturkan seluruh kisah hidup figur tersebut. 

Peristiwa spesifik itu tak lain satu minggu yang disebut "scary week", kala produksi episode I Love Lucy terancam, akibat pemberitaan bahwa Lucille merupakan anggota partai komunis. Situasi memanas, apalagi saat Lucille kerap bersikap kurang menyenangkan. Arahan sutradara ditolak, naskah ia revisi hinggal aspek terkecil, hubungannya dengan sang sahabat sekaligus lawan main, Vivian Vance (Nina Arianda), juga memburuk. Vivian merasa Lucille terancam atas keberadaannya.

Naskah Sorkin menjelaskan, kalau perangai Lucille bukan semata aksi egois megabintang, melainkan usaha seorang wanita menyuarakan isi pikirannya. Meski sekarang belum bisa dianggap benar-benar adil, kita tahu separah apa industri film masa lalu memperlakukan wanita. Lihat saja kondisi di sekitar Lucille. Jajaran eksekusitf, perwakilan CBS dan Philip Morris, semuanya pria. Lucille, begitu juga Madelyn (Alia Shawkat) selaku salah satu penulis naskah, punya bakat luar biasa. Bahkan mungkin yang terbaik dalam tim. Tapi mereka bukan pengambil keputusan. Tindakan Lucille dapat dilihat sebagai upaya merebut hak tersebut. 

Kita pun melihat wujud nyata bakat Lucille. Beberapa kali ia terdiam, lalu penonton disuguhi isi pikirannya, yakni visualisasi untuk adegan-adegan dalam naskah. Lucille bukan sekadar boneka industri hiburan. Dia memiliki insting artistik. Tepatnya, insting artis wanita, yang menolak dipandang atau nampak bodoh, sebagaimana Hollywood jamak mencitrakan para wanita saat itu. 

Selama seminggu (plus beberapa flashback), filmnya menyajikan banyak penceritaan. Mayoritas berhasil berkat adanya benang merah dengan tema utama mengenai gender (penolakan menampilkan wanita hamil di televisi karena "tidak enak dilihat" dan "terlampau realistis", anggapan kepala empat merupakan akhir karir pelakon wanita), walau ada yang setengah matang akibat tidak diberi cukup ruang. Persahabatan Lucille dengan Vivian, Madelyn, dan William Frawley (J.K. Simmons) misalnya. 

Satu lagi kekhasan Sorkin yang muncul adalah kecerdikan memainkan komedi verbal, khususnya melalui sarkasme. Shawkat jadi yang terbaik melakoninya, lewat celetukan-celetukan tajam nan menggelitik. Kidman mungkin tak selucu Lucille Ball, namun di situ poinnya. Being the Ricardos bukan tentang kejenakaan Ball, melainkan proses penciptaannya, yang seperti kita tahu, acap kali justru jauh dari kejenakaan. 

Kidman yang sekokoh karang dan Bardem yang karismatik sama-sama paling bersinar kala Being the Ricardos menyoroti pernikahan karakter keduanya. Sebuah hubungan kompleks mengenai pasangan yang saling mencintai, saling menolong, saling membukakan jalan, tetapi jauh dari kesempurnaan. Sorkin menolak menjadikan karakternya bak karikatur. Pasangan yang buruk tidak harus digambarkan tercela di segala sisi. Bisa saja ia mempunyai kelebihan yang benar-benar tulus dilakukan, namun berbuat dosa dalam bentuk lain. 

Konklusinya menegaskan itu. Konklusi menyentuh yang memadukan manis dan pahit, meski agak terganggu oleh pemakaian unsur deus-ex-machina. Campur aduknya perasaan Lucille yang selama ini mendambakan "rumah", dipaparkan begitu emosional oleh Sorkin. Di situlah, mungkin untuk kali terakhir, Lucille memilih untuk sejenak kembali berpura-pura bodoh dalam dunia fantasi, karena menghadapi realita amatlah menyakitkan.

(Prime Video)

2 komentar :

Comment Page:
Aesthetic mengatakan...

Bang udh nonton the french dispatch film terbarunya wes anderson?

slot online terpercaya mengatakan...

Situs joker123 dan slot online deposit pulsa yang dilengkapi dengan ratusan jenis game taruhan judi online paling lengkap, dimana hanya cukup dengan deposit 20ribu saja anda semua sudah berkesempatan untuk memenangkan jackpot uang hingga puluhan juta rupiah.