REVIEW - PELANGI TANPA WARNA

4 komentar

Di kancah perfilman internasional, Still Alice (2014) memakai alzheimer untuk mengeksplorasi soal jati diri, sedangkan The Father (2020) memberi bukti bahwa ada cara bercerita segar guna mengemas tema tersebut. Pada medium yang lebih "ramah" pagi penonton awam, Kdrama yang identik dengan disease porn (terutama kanker dan alzheimer) pun secara aktif mempercantik eksekusinya. Tengok Navillera (2021) sebagai contoh.

Intinya, para pembuat karya makin menyadari keusangan formulanya. Diadaptasi dari novel berjudul sama karya Mahfrizha Kifani, selaku salah satu pemenang kompetisi Falcon Script Hunt, Pelangi Tanpa Warna bak masih tertinggal di masa lalu. Bahkan lebih buruk ketimbang "klise", sebab di bawah arahan Indra Gunawan (Hijrah Cinta, Dear Nathan), filmnya pun gagal memaksimalkan formula disease porn. 

Kirana (Maudy Koesnaedi) membina keluarga harmonis bersama sang suami, Fedi (Rano Karno), dan putera mereka, Divo (Zayyan Sakha). Meski sibuk bekerja, Fedi adalah suami penyayang. Divo memang tak menyukai kecerewetan omanya (Ratna Riantiarno), tapi toh nasihat-nasihat itu didasari kepedulian. 

Kondisi berubah setelah Kirana menunjukkan gejala alzheimer. Berawal dari lupa tempat menyimpan garam, lalu semakin parah saat ia ditemukan dalam kondisi linglung, tersesat, tak tahu jalan pulang. Bukan cuma hidup Kirana sekeluarga saja yang berubah, filmnya pun demikian. Tampil mulus di awal berkat chemistry magnetis pasangan legendaris Rano-Maudy, Pelangi Tanpa Warna mengalami penurunan justru setelah menu utama disajikan. 

Penceritaannya episodik, terbagi ke dalam segmen-segmen yang masing-masing berisi situasi mengenai gejala alzheimer Kirana. Hanya itu yang film ini tampilkan. Akting pemainnya masih solid. Sebuah adegan kala Kirana marah-marah pada driver ojol memperlihatkan kenaturalan Maudy meluapkan emosi berintensitas tinggi. Zayyan Sakha juga sama sekali tidak mengecewakan, mengingat ini merupakan debut layar lebarnya.

Sayangnya akting kuat ditenggelamkan oleh naskahnya. Pelangi Tanpa Warna melupakan bahwa di balik penyakit, ada penderita beserta para keluarga. Film ini seolah tidak memedulikan manusianya. Ada intensi menuturkan tentang bagaimana penyakit, yang daripada memisahkan malah menyatukan sebuah keluarga. Tapi jangankan mengolahnya dengan baik, menjaga konsistensi penokohan saja naskahnya tak mampu. 

Oma yang senantiasa membela Kirana, menyadari kondisinya sedang kurang baik, lalu mengingatkan Fedi agar lebih memperhatikan sang istri, tiba-tiba marah besar mendapati kesalahan si menantu kala mencuci baju. Di momen lain, Fedi dan Divo menunggu di mobil sementara Kirana dan ART-nya, Sumi (Wiwi S.), berbelanja. Sewaktu Divo mengutarakan rasa khawatirnya, Fedi menjawab, "Kamu tenang aja kenapa sih!". Padahal sebelumnya ia ngotot melarang Kirana pergi. Fedi memang orang sibuk, tapi jelas bukan kurang kepedulian, apalagi bodoh (disiratkan kalau ia bekerja sebagai dosen). 

Setumpuk kelemahan di atas dapat dilupakan, andai Pelangi Tanpa Warna setidaknya berhasil menghasilkan tontonan mengharu biru, alias menjadi tearjerker standar. Tapi tidak usah membahas tingkatan "mempercantik emosi", sebab menghadirkan dramatisasi memadai saja gagal dilakukan Indra Gunawan. Adegan Fedi mengajak Kirana yang duduk di kursi roda untuk berdansa diiringi lagu Why Do You Love Me justru lebih efektif memancing tawa daripada haru. Ketika akhirnya kisah ditutup tanpa klimaks, judulnya pun jadi kenyataan. Film ini memang seperti pelangi tanpa warna. Dingin, suram, membosankan.

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Gaya artistik poster nya kok rada jadul juga...

Anonim mengatakan...

film yang mengharu biru berlinang air mata_cocok untuk tontonan keluarga Indonesia__rating 7/10

agoesinema mengatakan...

Kukira kau rumah, sdh direview belum ya?

Anonim mengatakan...

Bantu jawab,sudah ada