REVIEW - KIMI

1 komentar

Ditulis naskahnya oleh David Koepp (Jurassic Park, Mission: Impossible, Spider-Man), Kimi punya cerita sederhana. Saking sederhananya, ada kesan pembuatannya didasari pemikiran, "Film apa yang bisa diproduksi selama pandemi?". Biar demikian, kehadiran Steven Soderbergh di kursi sutradara bak memberi garansi bahwa cerita sederhana itu dapat disulap jadi tontonan spesial.

"Kimi" bukan nama protagonisnya, melainkan smart speaker canggih milik perusahaan Amygdala, yang memancing kontroversi karena memonitor para pengguna atas nama "peningkatan layanan". Data-data direkam, termasuk seluruh perintah suara yang diberikan ke Kimi. Angela (Zoë Kravitz) bekerja sebagai "penerjemah" di Amygdala. Semisal Kimi tidak memahami bahasa slang, Angela yang bertugas menginput data baru terkaitnya.

Sesuai protokol pandemi, Angela bekerja dari apartemennya. Pun serupa banyak orang di tengah serangan COVID, ia tidak berani bepergian. Cuma melangkah keluar beberapa meter saja sudah mendatangkan kecemasan. Tapi saat Angela bersedia membukakan pintu bagi sang kekasih yang tinggal di seberang, Terry (Byron Bowers), bahkan berhubungan seks, kita tahu bukan virus (satu-satunya) sumber ketakutan Angela. 

Kondisi mental Angela mendapat ujian tatkala salah satu rekaman Kimi menunjukkan kemungkinan terjadinya tindak kriminal. Angela dengan agorafobianya, yang menghabiskan semua waktu sendirian dalam kamar, jarang melakukan interaksi sosial, dan lebih banyak mengintip situasi luar melalui jendela, harus mencari cara mengungkap kejahatan tersebut.

Menciptakan komparasi dengan Rear Window (1952) baik terkait perilaku karakter serta penggunaan interior apartemen selaku mayoritas latar, Kimi merupakan Hitchcockian yang disederhanakan. Alurnya tidak memodifikasi formula, namun kesederhanaannya efektif. Intriknya punya cukup daya guna menjaga kestabilan intensitas selama 89 menit durasinya. 

Begitu pula sentilan mengenai isu surveillance dan respon publik terhadap tindak kekerasan di sekitar mereka. Tidak dieksplorasi secara mendalam, tapi mampu membuat penonton berdiri di belakang Angela. Kita dibuat yakin tengah mendukung figur yang tepat, dalam perjuangannya melawan musuh yang juga tepat (untuk dibenci). 

Dan sesuai dugaan, Soderbergh menyulap kesederhanaan penuturan jadi tontonan yang jauh lebih menarik. Sejak dulu, karya-karya Soderbergh selalu menonjolkan permainan warna. Peralihan ke medium digital pun salah satunya didasari pilihan gaya itu. Kimi memperlihatkan bagaimana kegemaran Soderbergh akan warna-warna mencolok amat terfasilitasi oleh kamera digital. Gambarnya tajam. Apalagi begitu Kimi keluar dari kamar, di mana tambahan cahaya natural menyajikan visual distinct, sembari kameranya bergerak dinamis mewakili kecemasan si protagonis, yang tak kalah menonjol dibanding warna-warna di sekitar berkat rambut birunya (pilihan estetika yang sekilas remeh, namun berdampak besar).

Satu-satunya ganjalan datang dari musik. Ditangani oleh Cliff Martinez selaku kolaborator Soderbergh sejak Kafka (1991), nuansa noir klasik yang kerap dipakai terkesan kurang cocok, berkontradiksi dengan visual digital modern filmnya. Justru musik elektronik yang biasanya menjadi ciri khas Martinez (dan sesekali masih terdengar) lebih pas membungkus Kimi.

Untungnya kekurangan di atas cuma batu sandungan kecil dibandingkan pencapaian menyeluruh Kimi. Tujuan utamanya adalah melahirkan thriller menghibur, yang mana berhasil. Klimaksnya memuaskan. Sebagai thriller, babak puncaknya merupakan bukti kreativitas Koepp, yang mesti memutar otak guna menciptakan keseruan dalam kisah berskala kecil.

Sementara dilihat dari proses sang protagonis, klimaksnya ibarat wujud kemenangan mutlak, saat ia sanggup mengubah hal-hal yang sebelumnya adalah sumber masalah, menjadi keuntungan. Kravitz tampil kuat sebagai Angel, menghidupkan kecemasan, sesekali meletupkan rasa, sembari mendefinisikan "kekuatan". Pasca The Batman dan Kimi, rasanya Zoë Kravitz sudah siap jadi salah satu penguasa baru industri. 

(HBO Max)

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Bang review the fallout yang tayang di HBO juga dong��