REVIEW - THE BLACK PHONE

1 komentar

(Tulisan ini mengandung SPOILER)

Di semesta lain, Scott Derrickson berujung menyelesaikan Doctor Strange in the Multiverse of Madness, sementara naskah The Black Phone, yang ia dan C. Robert Cargill adaptasi dari cerita pendek berjudul sama karya Joe Hill, bakal ia garap selepas tugasnya di Marvel tuntas, atau diserahkan pada sutradara lain sebagaimana rencana awal. 

Untunglah kita berada di semesta berbeda. Semesta di mana Sam Raimi melahirkan horor pertama bagi MCU. Semesta di mana Multiverse of Madness dan The Black Phone rilis di tahun yang sama. Semesta di mana Derrickson bisa menyelesaikan passion project-nya, sebuah perpaduan antara horor supernatural dengan thriller, yang memiliki salah satu payoff terbaik tahun ini. 

Dilihat dari permukaan, premisnya jauh dari spesial. Berlatar pinggiran kota Colorado tahun 1978, sosok misterius yang dijuluki "The Grabber" (Ethan Hawke) menebar teror. Sudah lima anak ia culik (diyakini mereka semua telah dibunuh), dan protagonis kita, Finney (Mason Thames) merupakan korban keenam. Sederhana.

Muncul pembeda tatkala di ruang penyekapannya, Finney menemukan telepon yang terus berdering meski sudah tak tersambung. Rupanya melalui telepon itu, Finney dapat berkomunikasi dengan arwah-arwah korban "The Grabber" yang ingin membantunya kabur. Elemen tersebut memang jadi jualan utama cerita pendeknya. 

Tapi Derrickson dan Cargill mengembangkan aspek supernaturalnya lewat tokoh Gwen (Madeleine McGraw), adik Finney yang punya kemampuan cenayang. Mimpi Gwen bukan bunga tidur biasa, melainkan gambaran realita, yang berusaha dia pakai untuk mencari petunjuk soal keberadaan sang kakak. 

Terciptalah dunia di mana hal supernatural bukan cuma terjadi pada telepon di lokasi penyekapan. Seolah mistisisme adalah bagian wajar (biarpun masih langka) dalam realitanya. The Black Phone juga menjauh dari formula horor arus utama, yang mengidentikkan fenomena mistis dengan kejahatan. Di sini sebaliknya, dari situlah cahaya harapan berasal. Pria biasa tanpa kemampuan spesial justru lebih kejam dan mengancam.

Selama 102 menit, Derrickson memakai pendekatan atmosferik, mengajak penonton mengamati upaya Finney kabur bermodalkan saran dari para arwah, yang masing-masing membawa strategi berbeda. Ada kalanya intensitas mampu dibangun, terlebih musik garapan Mark Korven efektif membangun ketidaknyamanan. Walau ada kalanya permainan tempo Derrickson cenderung draggy, dan ia pun nampaknya menyadari risiko kebosanan penonton, sehingga merasa perlu menambahkan beberapa jump scare klise. 

Tapi seperti telah disinggung, The Black Phone memiliki salah satu payoff paling memuaskan tahun ini. Alasannya, selain landasan ide "triumphant over any kind of bullies", pula karena konklusinya dibangun berdasarkan proses si protagonis (membuatnya juga menyimpan tuturan coming-of-age). Tiada tindakan yang percuma. Semua berperan, semua terhubung (termasuk deretan kalimat yang awalnya terkesan tanpa signifikansi). 

Tatkala seluruh titik terhubung, timpul kepuasan luar biasa, yang turut menyertakan dampak emosional. Pada akhirnya, Finney bukan remaja biasa yang berusaha menyelamatkan nyawanya sendiri, tapi sosok yang meneruskan perlawanan para korban. 

Mason Thames tampil baik memerankan protagonis yang kita dukung perjuangannya, sementara Hawke, meski di mayoritas kemunculannya mengenakan topeng beraneka varian (kombinasi topi, rambut panjang, dan seringai di topengnya mengingatkan ke karakter Burke milik Lon Chaney di London After Midnight), tetap piawai menebar kengerian. Sedangkan Madeleine McGraw menjadi scene stealer, berjasa menebar bumbu humor sebagai Gwen, si bocah yang tak ragu menghantam kepala perundung dengan batu, menikmati perkelahian, mengonfrontasi polisi, bahkan menyumpahi Yesus ("Jesus what the fuck?!" adalah calon quote of the year). 

Nilai plus lain terkait konklusinya adalah keengganan menjustifikasi orang tua abusive. Terrence (Jeremy Davies), ayah Finney dan Gwen, merupakan alkoholik. Terkadang ia baik, tapi tak jarang, saat gagal mengendalikan emosi, Terrence "main fisik" pada anak-anaknya. Sikapnya menyimpan alasan, namun Derrickson dan Cargill menolak begitu saja memaklumi, bahkan saat penyesalan menguasai Terrence. Tengok bagaimana Finney dan Gwen merespon air mata ayah mereka. Lengkap sudah status The Black Phone selaku perlawanan atas perundungan, apa pun bentuknya, siapa pun pelakunya.

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Saya baru aja nonton film ini bang Rasyid. Mungkin komen saya udah basi ini haha. Tapi emang emosionalnya dapet banget setelah nonton film ini. Karakter kakak beradik ini sangat menarik. Film horror thriller yang langka menurut saya.