REVIEW - EUROPA

Tidak ada komentar

Europa yang jadi perwakilan Irak di Academy Awards 2022 mengandung cerita dengan urgensi tinggi. Soal imigran. Soal xenofobia. Haider Rashid selaku sutradara sekaligus penyuplai cerita (dikonversi ke dalam naskah oleh Sonia Giannetto) ingin menggambarkan situasi seorang imigran di tengah pelariannya. Tapi apakah pilihan formatnya menyimpan urgensi serupa?

Haruskah Europa dipresentasikan sebagai film panjang? Mungkin Rashid berharap karyanya menjangkau lebih banyak orang demi menyebarkan pesan. Tapi di zaman sekarang, tatkala film pendek berkali-kali viral berkat kontribusi media sosial, pemikiran tersebut tak lagi berlaku. 

Kenapa saya mempertanyakan itu? Karena bahkan dengan durasi hanya 71 menit (66 menit bila tanpa menghitung kredit) filmnya tetap terkesan kurang tepat dalam memilih medium, meski menyelipkan beberapa subteks terkait isunya, pun digarap secara kompeten dari segi teknis. 

Mengambil latar di perbatasan Turki dan Bulgaria, penonton dibawa mengikuti Kamal (Adam Ali), yang kabur ke hutan pasca ia dan imigran gelap lain diserbu pihak berwajib. Tidak cuma ditangkap, beberapa bahkan ditembak mati. Selain petugas perbatasan, organisasi nasionalis turut memburu mereka. 

Kamal bukan jagoan atau ekspertis perihal bertahan hidup di alam liar. Dia hanya pemuda 20an yang tak tahu mesti ke mana, kelaparan, kehausan, dengan sepatu berlubang yang diikat paksa menggunakan sobekan seragam Mohammed Salah yang ia kenakan. "Bagaimana pria biasa ini dapat menyelamatkan diri?" jadi gagasan dasar menarik, yang memancing rasa penasaran, setidaknya di paruh pertama.

Kita sama sekali tidak mengenal siapa Kamal, dan memang tidak perlu. Di survival thriller kebanyakan, latar belakang protagonis diperlukan untuk memancing simpati, namun di Europa, ketiadaan detail penokohan justru menguatkan pesannya. Kita tidak perlu tahu siapa Kamal, karena ia adalah representasi imigran. Siapa pun orangnya, selama berstatus imigran, besar kemungkinan bakal bernasib serupa. Ini bukan pertarungan manusia melawan alam, melainkan manusia melawan sesama manusia yang menampik rasa kemanusiaan. Dari situlah simpati berasal. 

Adam Ali solid dalam menyampaikan penderitaan fisik serta batin Kamal. Ketika berlari mati-matian, wajahnya benar-benar nampak seperti hendak kehilangan kesadaran. Kamera Jacopo Caramella selaku sinematografer setia berada di dekatnya. Wajah Ali nyaris tak pernah absen dari layar, termasuk saat memanjat pohon, yang jadi puncak pencapaian tata kameranya. Mulus, bak menyatu dengan tubuh sang aktor. 

Tapi bukankah saya sudah menyebut kalau aspek teknis Europa digarap secara kompeten? Teknis bukanlah masalah. Memasuki pertengahan, Haider Rashid bagai memanjangkan tiap shot guna memenuhi target durasi. Mungkin ia ingin penonton semakin merasakan penderitaan Kamal, tapi andai Europa berdurasi 30-40 menit pun dampaknya takkan berkurang. Malah bisa lebih efektif. 

Betul bahwa naskahnya menyelipkan beberapa gesekan seputar xenofobia. Paling menonjol adalah sewaktu Kamal menumpang mobil seorang wanita (Svetlana Yancheva), yang awalnya baik, namun mengubah sikap begitu mendengar berita di radio. Tiada terjemahan. Penonton (dan Kamal) cuma akan memahami kata "imigran" serta beberapa nama negara termasuk Irak, dan fakta bahwa kita tetap bisa menangkap maksud di balik amarah si wanita adalah bentuk penegas pesan filmnya. Tapi subteks itu bagai segelintir chekcpoint, yang akan lebih berdampak bila proses di antaranya berlangsung lebih singkat nan padat.

(EoS 2022)

Tidak ada komentar :

Comment Page: