REVIEW - ELVIS

9 komentar

Saya menonton Elvis di hari ketiga penayangan. Jumlah layar sudah jauh terpangkas karena minimnya penonton, dan bioskop terdekat tinggal menyisakan jam pemutaran paling malam (21:10). Termasuk saya, total hanya ada tiga orang dalam studio. Lalu masuk seorang wanita lanjut usia. Beliau dipapah oleh dua kerabatnya, duduk di baris teratas, hingga film berdurasi 159 menit ini usai. 

Itulah bukti nyata fenomena "King of Rock and Roll". Di layar, sutradara Baz Luhrmann menampilkan hal serupa. Kali pertama kita menyaksikan aksi panggung Elvis (Austin Butler), para wanita berteriak histeris, dengan tingkah yang tak ubahnya orang kerasukan. Ada kalanya Baz sengaja membuat ledakan emosi tersebut nampak komikal, namun mendapati antusiasme si ibu tadi, saya yakin pemandangan itu tidak mengada-ada. 

Elvis mengajak kita menyaksikan karir sang megabintang sejak ia pertama "ditemukan" oleh Colonel Tom Parker (Tom Hanks), yang kelak menjabat sebagai manajernya. Menariknya, Parker juga narator film ini. Menarik, karena Parker dituding mengeksploitasi Elvis guna meraup keuntungan pribadi (50% pendapatan Elvis masuk ke kantongnya). Intinya, dialah villain dalam hidup Elvis sebagai superhero musik.

Sepanjang film, narasi Parker banyak berisi penyangkalan atas tuduhan tersebut, sembari terus menegaskan bahwa dialah alasan Elvis bisa amat populer. Tapi meski Parker membela diri lewat narasi, Baz memunculkan hal berkebalikan di layar, soal bagaimana ia sungguh mengeksploitasi, tanpa memedulikan kondisi sang musisi. Seolah menyatakan bahwa kata-kata Parker merupakan kebohongan, sedangkan filmnya mengungkap realita. Naskah Elvis bukan memberi kita unreliable narrator biasa, melainkan narator yang sedang ditelanjangi kebusukannya. Kita sedang mendengar pria tak tahu malu yang kukuh menyangkal dosanya, dan Hanks tampil kuat, melahirkan figur yang dengan senang hati dibenci penonton. 

Gaya tutur nyeleneh macam itu memang kekhasan Baz Luhrmann. Sama seperti keliarannya mengolah visual (split screen, gerak kamera chaotic, transisi stylish, dll.), atau keputusan menggabungkan lagu-lagu klasik Elvis dengan nomor-nomor modern (Doja Cat, Eminem, CeeLo Green) yang jelas tak sinkron dengan latar waktunya. Lagi-lagi "sangat Baz". 

Bagi yang berharap mendapat pemahaman menyeluruh soal karir Elvis mungkin bakal kecewa. Bukan karena filmnya melewatkan banyak poin, tapi Baz, dengan keliaran serta tempo secepat kilat miliknya, memang tak mementingkan kerapian bercerita atau tetek bengek detail. Elvis, serupa karya-karya lain sang sutradara, adalah spektakel di tiap sisi. 

Sekuen panggungnya selalu memukau, dan di sini upaya Baz menangkap jiwa dan semangat seorang Elvis Presley terwujud. Selain penyutradaraan, performa Butler amat berjasa. Lirikan tajamnya, caranya menggerakkan tubuh, menggambarkan betul kebesaran Elvis yang nampak bak sesosok dewa, terutama di atas panggung. Sebagaimana gadis-gadis yang histeris, Butler pun berakting layaknya sedang kerasukan. Kerasukan jiwa Raja rock and roll. 

Saya juga mengapresiasi filmnya yang tak coba memoles suara Butler secara berlebihan sehingga menguatkan kesan autentik. Di beberapa titik kita bisa mendengar napasnya tersengal-sengal, atau tarikan suara yang memendek karena kelelahan. Tidak kalah autentik adalah tata riasnya. Transformasi Hanks lebih showy, tapi di wajah Butler, seiring waktu muncul tanda-tanda penuaan yang mungkin takkan penonton sadari bila tak benar-benar menaruh perhatian.

Walau fokus utama Elvis adalah spektakel, bukan berarti ia sama sekali lalai bercerita. Salah satu perdebatan terkait karir Elvis adalah perihal black culture. Apakah wujud appreciation atau appropriation? Naskahnya menangani isu tersebut dengan baik. Bersama Gladys (Helen Thomson) selaku ibu yang jadi figur paling berharga dalam hidupnya, masa kecil Elvis dekat dengan kemiskinan dan kaum marginal, termasuk kulit hitam. Pada era segregasi itulah, Elvis mendapati musik, khususnya black music dan gospel, sebagai "obat hati". Kecintaannya terhadap blues pun terasa masuk akal. Bukan rasa suka biasa, namun sebuah penerang. 

Ada satu momen menarik. Elvis menemui B.B. King (Kelvin Harrison Jr.), mencurahkan kekhawatiran atas ancaman penangkapan oleh polisi andai ia meneruskan aksi panggung yang "tidak senonoh". B.B. King hanya menjawab santai, "Kamu pria kulit putih kaya dan tersohor. Mustahil ditangkap". Elvis tidak menyangkal. Di situlah filmnya tak menampik adanya white privilege, yang harus diakui, memberi Elvis kesempatan untuk terus berkarya. 

Memasuki tahun-tahun terakhirnya, kondisi Elvis terus memburuk, baik fisik maupun psikis. Tiada lagi impian dan semangat, kecuali saat ia bernyanyi di hadapan penggemar. Salah satu ketakutan Elvis, yang disampaikan kepada sang istri, Priscilla (Olivia DeJonge), adalah jika kelak tidak ada yang mengingatnya. Elvis merasa gagal meninggalkan legacy abadi. 

Beberapa menit selepas momen tersebut, film berakhir. Lampu studio menyala, dan saya menengok ke baris atas, mencari si ibu tadi. Tampak beliau berbicara dengan keluarganya. Apakah mereka tengah membahas filmnya? Entahlah. Tapi seketika saya yakin, ketakutan Elvis tidak menjadi kenyataan. 

9 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Mantap bang. Ternyata si ibu di bioskop jadi kejutan di akhir tulisan ulasan film ini. Jadi satu sama "ternyata Elvis tidak dilupakan!"

Deno mengatakan...

*SPOILER ALERT*

Ada benang merah tipis antara background Kolonel Parker yg kerja di sirkus (dan akrab dengan freakshow) dengan nantinya dia memperlakukan Elvis seperti "geek" yg dikurung di hotel "lupa-namanya-apa", kemudian di-exploit habis-habisan sampe mentalnya terganggu demi keuntungan pribadi selama bertahun-tahun.

Anonim mengatakan...

A bit draggy diawal awal, tp menjelang tengah ampr akhir beneran kaya nonton a whole stage elvis, kira kira bisa dapat oscar kah, best actor ?

Rasyidharry mengatakan...

Respect banget sama ibu itu πŸ™

Rasyidharry mengatakan...

Yes. Colonel di sini macem PT Barnum emang

Rasyidharry mengatakan...

Nominasi kemungkinan besar. Kalo menang masih kudu tunggu rilisan lain

Anonim mengatakan...

Keren cara story tellingnya Bang Rashid. Soal cerita si ibu, bikin penasaran di awal. Di akhir, bukan hanya terjawab rasa penasarannya, tapi juga malah bikin suasana haru. Respect buat Ibu ituπŸ‘πŸ™Œ

Gide Buono mengatakan...

Ini dia review film! Ini dia! Makasih Rasyid!

wayang79 mengatakan...

wah ini pasti seru banget sih, pernah baca disini langsung tertarik banget