REVIEW - EVERYTHING EVERYWHERE ALL AT ONCE

11 komentar

Jika Swiss Army Man (2016) ibarat "film shitpost", maka Everything Everywhere All at Once adalah "film shitpost dengan hati" buatan duo Daniels (Daniel Kwan dan Daniel Scheinert) selaku sutradara. Karya yang bak lahir dari imajinasi tanpa batas seorang bocah, sekaligus sensitivitas jiwa orang dewasa. 

Everything Everywhere All at Once cuma bisa dirasakan, pula mustahil dijabarkan. Apalagi jika suatu penjabaran bertujuan untuk menangkap seluruh tuturannya. Sebuah aksi, drama, komedi, fantasi, sekaligus fiksi ilmiah berlatar multiverse. Sebuah kisah marital drama, hubungan ibu-anak, juga perjuangan imigran Asia. Sebuah eksistensialisme soal pencarian makna hidup, sekaligus nihilisme yang menyatakan bahwa "nothing matters".

Semua bermula dari satu hari yang runyam dalam hidup Evelyn (Michelle Yeoh). Usaha penatunya hendak diaudit oleh Deirdre (Jamie Lee Curtis) dari IRS; sang ayah, Gong Gong (James Hong) baru tiba dari Cina; puterinya, Joy (Stephanie Hsu), seorang lesbian dan berusaha membuat Evelyn menerima hubungannya dengan Becky (Tallie Medel); sedangkan sang suami, Waymond (Ke Huy Quan), dirasa tak banyak membantu oleh Evelyn akibat kekonyolan sikapnya. 

Bagaimana semua itu berujung pada petualangan menembus multiverse? Biarkan filmnya sendiri yang bicara. The less you know, the better. Naskah garapan Daniels merupakan keliaran tak terkontrol dengan kejutan di tiap sudut, yang sensasinya harus dirasakan langsung. 

Pastinya, Evelyn bakal bersinggungan dengan beragam varian dirinya, dari yang normal seperti Evelyn si penyanyi dan si bintang film martial arts (cerminan figur asli Yeoh), hingga versi aneh yang senada dengan gaya absurdist khas Daniels. Fenomena tersebut terjadi berkat konsep "verse jump", yang meski gagasannya rumit, presentasinya mudah dipahami, sebab selain eksposisi verbal, Daniels turut mengandalkan penceritaan visual. 

Kali pertama Evelyn menjajal verse jump juga jadi momen perdana film ini memamerkan pencapaian efek spesial mereka (Oscar nomination is a sure thing). Total sekitar 500 special effects shots dipergunakan, ditangani oleh tim berisi lima orang, dengan bujet cuma 25 juta dollar. Efek praktikal dan komputer dipadukan, teknologi StageCraft ala The Mandalorian diterapkan, petualangan liar pun berhasil disajikan. 

Setiap kunjungan ke semesta berbeda merupakan jembatan eksplorasi terhadap aneka genre dengan segudang referensi (martial arts, romansa moody khas Wong Kar-wai, animasi, dll.), yang masing-masing tentu membawa suasana berbeda pula. Daniels memakai beberapa rasio guna menekankan perbedaan itu (tepatnya empat rasio aspek). 

Penuh? Ya. Kacau? Jelas, tapi bukan kekacauan buruk. Penyuntingan Paul Rogers jadi salah satu departemen paling bersinar. Dibangunnya kesan "berantakan tapi tertata", selaku hasil tubrukan multiverse dalam jumlah tidak terhingga. Pusing rasanya membayangkan pengonsepan di pra-produksi, fase produksi yang melibatkan sebegitu banyak shot, sampai pasca-produksi dengan segudang materi untuk disatukan. This is a never-before-seen achievement (untunglah pengalaman menonton saya untuk film ini pertama terjadi di layar lebar).   

Pencapaian yang dapat terjadi karena duo Daniels menolak membatasi imaji, membebaskannya, bak dua anak kecil yang memainkan mainan semau mereka. Tidak ada kekhawatiran bahwa sebuah elemen bakal terlalu konyol untuk "film sungguhan". Lihat metode yang ditempuh karakternya kala melakukan verse jump. Lucu, kreatif, mengejutkan. 

Tapi selain imajinasi bocah, Daniels juga membawa kepekaan dewasa. Di balik kegilaan multiverse atau prestasi artistiknya, kekuatan terbesar Everything Everywhere All at Once tersimpan di balik segala keriuhan tersebut. 

Petualangan Evelyn didasari formula "the chosen one" klise, di mana ia dipercaya sebagai satu-satunya orang yang mampu menggagalkan upaya entitas misterius bernama Jobu Tupaki untuk menghancurkan multiverse. Tatkala identitas Jobu Tupaki diungkap, arah kisahnya berubah. Skala meluas, namun penelusurannya bergerak memasuki perenungan lebih dalam. 

Perenungan yang diwakili secara luar biasa oleh jajaran cast, terutama trio Yeoh-Hsu-Quan. Kembali berakting setelah 20 tahun absen (kesuksesan Crazy Rich Asian menginspirasinya), Quan menampilkan sensitivitas yang mendefinisikan "kekuatan", sementara Hsu mewakili kegundahan yang begitu dekat, saat individu merasa tiada lagi yang berarti dalam hidup.

Telah berkarir selama hampir empat dekade, sulit menyebut mana akting terbaik Yeoh, tapi penampilannya di Everything Everywhere All at Once jelas yang paling lengkap. Sekuen laga, humor, momen emosional, semua dijalani. Belum lagi mempertimbangkan kuantitas adegan yang mesti ia ambil. Sebuah penampilan dari aktris yang menolak duduk nyaman menikmati status sebagai megabintang legendaris. Saya mendukungnya di musim penghargaan nanti. 

Everything Everywhere All at Once bukan sebuah pertarungan. Setidaknya bukan pertarungan "baik melawan buruk", melainkan proses memahami. Memahami orang lain. Memahami diri kita. Memahami bahwa mungkin saja tiada hal berarti dalam hidup, atau justru segalanya amat berarti. Memahami bahwa hidup dengan segala posibilitas tanpa batas miliknya memang sukar, bahkan mungkin saja mustahil dipahami. Alih-alih menilai maupun menghakimi, kita cukup menjalani, sembari membuka mata, telinga, dan terpenting, hati. 

11 komentar :

Comment Page:
hilpans mengatakan...

Wow.. bintang 5.... sempurna itu kah

Angga mengatakan...

Film paling entertaining tahun ini.

Chan hadinata mengatakan...

Paling absurd varian tangan sosis,,
Paling suka varian batu, kontemplatif

Anonim mengatakan...

Film yang menyindir film sebelah.Gunain madness,tapi justru di film ini paling berasa madness of multiversenya....

Anonim mengatakan...

Meneng2 Bu Yeoh itu juga pernah jadi gadis Bond

Anonim mengatakan...

Itu alat buat ke multiverse siapa yg buat ya? Dari mana datangnya?

Anonim mengatakan...

Bangg, endingnya itu apakah Evelyn masih "cracked" ya pikirannya ? Masih jadi pertanyaan, brati Evelyn yg di ending itu Cmn Jumping Ke Local Verse aja ya (timeline asli evelyn tanpa camur tangan alphaverse) ??

Anonim mengatakan...

waaa jadi pengen bangetbanget buat nonton, reviewnya kerennn

wayang79 mengatakan...

ini menghibur bgtt sih hahaha XD,pernah baca disini langsung tertarik banget

Anonim mengatakan...

4/5. Ntah saya harus nonton ini 2x. Tapi ini film yang penuh kali. Dikasi bernafas aja nggak. Dikasi ngedip aja nggak. Sebagus itu? Ya iya. Tapi gaadak break mataku sakit sama otakku wkwk

Anonim mengatakan...

Baru aja nonton sebuah video dan muncul pertanyaan "What's your life's greatest movie?" di video tersebut. Pertanyaan yang sulit, tapi entah kenapa saya malah kepikiran film ini. Semua elemen yang ada di sini benar-benar saya banget. Masih terlalu awal untuk memastikan bahwa film ini benar-benar "the greatest one", but this film is definitely a really great one.