REVIEW - SATRIA DEWA: GATOTKACA

24 komentar

Satria Dewa: Gatotkaca melalui perjalanan panjang nan berliku sebelum sampai di layar lebar. Perubahan tim produksi termasuk perpindahan kursi sutradara dari Charles Gozali ke Hanung Bramantyo, kasus si pemeran utama, hingga kontroversi kredit penata kostum (untungnya sudah terselesaikan). Tapi bakal sangat heroik bila selepas masalah-masalah di atas, filmnya justru melesat dengan kualitas luar biasa. Sayangnya tidak. Satria Dewa: Gatotkaca adalah bentuk kebingungan soal cara meramu aksi superhero energik. 

Latarnya adalah Kota Astina, tempat Yuda (Rizky Nazar) tinggal bersama sang ibu, Arimbi (Sigi Wimala), yang kehilangan ingatan akibat serangan sosok misterius beberapa tahun lalu. Sosok itu (ya, karakter ini disebut "Sosok") mengincar medali brajamusti guna membangkitkan Aswatama. Seperti kita tahu, medali brajamusti nantinya memberi Yuda kekuatan Gatotkaca. Sementara Pandega (Cecep Arif Rahman), ayah Yuda, pergi meninggalkan keluarganya entah ke mana.

Astina sendiri tengah dalam kondisi mencekam. Terjadi pembunuhan berantai, yang menurut Arya Laksana (Edward Akbar), seorang profesor, dan puterinya, Agni (Yasmin Napper), mungkin saja didalangi orang-orang yang mewarisi gen Kurawa. Karena kota fiktif, naskah buatan Hanung dan Rahabi Mandra (Hijab, Night Bus, Kadet 1947) tentu bebas mengeksplorasi Astina. Kondisi sosial, budaya, teknologi, apa pun itu, tiada batasan. 

Sayangnya peluang tersebut tak dimanfaatkan. Astina sebatas amalgam kota-kota era kontemporer di Indonesia, dengan mata uang rupiah, dan juara lari bernama Zohri. Sebagai kota fiktif yang eksistensinya bukan melahirkan satir, Astina terlampau dekat dengan Indonesia. Bukan dosa besar, namun sungguh potensi kreatif yang tersia-siakan. 

Pertemuan Yuda dengan Dananjaya (Omar Daniel) menyadarkannya bahwa perang modern antara keturunan Pandawa dan Kurawa sungguh terjadi. Dananjaya, dibantu Gege (Ali Fikry) dan kurawa baik hati bernama Bu Mripat (Yati Surachman), tengah berniat membangkitkan proyek "Satria Dewa" guna melawan Kurawa. Di situlah Yuda dengan kekuatan Gatotkaca miliknya berperan selaku pelindung Pandawa. 

Satu hal yang selalu jadi bumerang adalah ambisi tampil dinamis. Cepat. Bertenaga. Sebenarnya wajar, mengingat itulah winning formula banyak superhero blockbuster, tapi baik penulisan maupun penyutradaraannya tak mampu mengemban ambisi tersebut. Alhasil, "kekacauan" bak jadi pola yang terus berulang sepanjang 129 menit durasinya. 

Penceritaannya kacau. Kerap melompat-lompat tidak karuan, yang mana diperparah oleh penyuntingan lemah, pun lalai menyisakan ruang bagi penggalian karakter. Yuda adalah Gatotkaca si pahlawan legendaris. Tapi sebagai pahlawan, sebagai calon pelindung Pandawa, nilai apa yang melandasi perjuangannya? Yuda merupakan protagonis mentah, meski Rizky Nazar jelas sempurna memerankan figur superhero. 

Buruknya penceritaan makin kentara memasuki paruh akhir. Klimaksnya diisi dua momen "perpisahan", yang seharusnya memberi dampak emosi besar bagi tokoh-tokohnya, tapi karena muncul berurutan, dengan jeda tidak sampai lima menit, hasilnya justru canggung. Bahkan menggelitik. Seorang penonton berseloroh, "Lah, mati lagi?", dan saya setuju. Sebab selain berdekatan, cara Hanung memoles dua peristiwa itu juga serupa. 

Saya mengapresiasi cara naskahnya menyelipkan goro-goro sebelum puncak, yakni kemunculan Punakawan: Semar (Butet Kartaredjasa), Petruk (Gilang Bhaskara), Gareng (Indra Jegel), Bagong (Rigen Rakelna). Di situ segala intrik para pesohor diistirahatkan, diganti celotehan rakyat biasa. Satu yang sukar diapresiasi adalah terkait product placement. Percayalah, saya termasuk yang jarang mengeluhkan iklan sponsor, namun Satria Dewa: Gatotkaca membawa kuantitas serta kegamblangannya ke tingkatan "lebih tinggi". 

Adegan aksi yang mestinya jadi jualan utama tidak kalah kacau. Sedari menit-menit awal, kombinasi penyuntingan frantic, pilihan shot ala kadarnya, dan pencahayaan yang kalau mengutip kalimat King Nassar, "seperti mati lampu", menyulitkan untuk menikmati segala baku hantam. Saya paham, Hanung ingin menguatkan atmosfer lewat suasana remang dan pemakaian warna seperti merah tua, tapi apakah harus sesering itu? Kita pun baru bisa benar-benar menyaksikan kostum keren Gatotkaca (elemen terbaik filmnya) jelang konklusi. 

Para cast sejatinya meyakinkan dalam melakoni aksi. Sekali lagi, Rizky Nazar cocok sebagai figur satria, begitu pula Omar Daniel yang membuat saya menantikan film Arjuna. Pastinya salah satu momen paling ditunggu adalah konfrontasi dua ikon laga Indonesia, Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman. Tapi ketika sebuah film aksi membungkus jurus-jurus mereka dengan penyuntingan kilat dan tata kamera shaky, artinya ada yang salah dalam film tersebut.

24 komentar :

Comment Page:
Agung mengatakan...

Kalau semisal product placement nya ngga ada bakal ngasih nilai berapa bang?

Anonim mengatakan...

kalau dbandingkan dgn gundala gimana bang??kok d review lain ini film dnilai lumayan😅..jd tambah ragu utk nonton ni

agoesinema mengatakan...

Gatot Kaca > Gundala
Boleh setuju boleh tidak.😁

Anonim mengatakan...

Gundala lebih proper secara cerita dan eksekusi dibandingkan film ini

Udin mengatakan...

Yg paling menganggu adalan penokohan khas sinetron oleh Hanung. Seperti yg terjadi pada Nathan, pacarnya si Agni itu. Asli menganggu dan klise banget tuh ciri khas Hanung gak bisa diilangin. Dari Bumi Manusia dan Habibie Ainun 3 juga penokohannya juga gitu.

Fradita Wanda Sari mengatakan...

Sudah mengantisipasi product placement jadi ga kesel2 banget, tapi bagian mati lampunya itu my oh my... sakit mata banget jadinya :(
Nonton Satriadewa ini ga bisa dipungkiri jadi excited untuk kisah2 selanjutnya, Srikandi, Arjuna dan menanti apakah para Punakawan jg akan dihadirkan kembali.

hilpans mengatakan...

What cuma 2 bintang bung?waktu review Wiro sableng 3,5 bintang &waktu Gundala 3 bintang(edisi pencarian lagi).waduh kurang sekali y film ms Hanung ini

Anonim mengatakan...

Commercial Ads: The Movie

Anonim mengatakan...

Skriptnya kurang kuat bgt plus agak sedikit salah casting utk tokoh2 lainnya selain rizki nazar.

Rasyidharry mengatakan...

Masih sama. Itu bumbu masalah aja. Bukan masalah utama

Rasyidharry mengatakan...

Prefer Gundala

Rasyidharry mengatakan...

Itulah. Untungnya Omar Daniel oke, jadi tetep nungguin Arjuna

Rasyidharry mengatakan...

Wiro & Gundala itu kelihatan banget didesain sebagai "event movie". Proper buat jadi blockbuster. Ini, di luar Kostum mewah & pamer cgi, nggak berasa gitu

Anonim mengatakan...

Wah, rate Valentine masih lebih tinggi drpd ini

Intun moon mengatakan...

Editingnya! Nah, iya bang itu dia. Thanks sudah menterjemahkan keresahan yang saya rasakan selama nonton.

Anonim mengatakan...

Saya sdh lama ogah nonton film Hanung, sjk nyaksikan skrip sampah mnceritakan ttg KH AHMAD DAHLAN. Hanung sdh ga prefer buat film era baru, baiknya buat sinetron aja deh

Anonim mengatakan...

Sudah kuduga. Huft. Tolong ini diserahin aja ke tangan yang memang mau berdedikasi sungguh2 dengan cerita perwayangan dan superhero ini. Bukan orang yang ngerasa bisa, trs mau dpt duit banyak!

Anonim mengatakan...

Udah lama ga liat Sigi Wimala di layar. Kualitas produk placement dah kek produk placement sinetron sekarang. Keknya nyasar pasar penonton yang demen CGI ama aksi gedebak-gedebuk doang. Dahal penonton sekarang udah selektif nonton film di bioskop.. Modal karya anak bangsa doang keknya ga bakal ngangkat.

Unknown mengatakan...

agoesinema

Gundala > Gatot kaca.lumayan jomplang malah

Anonim mengatakan...

Anehnya saya sangat menikmati film ini saat nonton yg kedua kalinya. Barangkali pada saat pertama kali menonton, ekspektasi saya masih terlalu tinggi. Sehingga ketika menonton yg kedua kalinya saya sudah mengantisipasi berbagai kelemahan film ini untuk tidak terlalu diambil pusing. Satria Dewa Gatotkaca menghadirkan film superhero lokal dengan pembangunan set up mitologi yg menarik dan cukup kuat. Tak cukup menyaksikan sekali untuk menangkap ditail-ditail penting yg awalnya saya kira plot hole, Berbagai aksi dan interaksinya tampil sangat menghibur meski tdk sepenuhnya solid. Saat menonton kedua kalinya, berbagai product placement yang banyak dinyinyiri netizen tak lagi mengganggu. Saran saya tonton film ini di bioskop dg layar terbaik ( sepengalaman saya baru xxi dan cinepolis yg menyediakan itu) maka anda akan terpukau dengan visualnya yg memanjakan mata, alih-alih gelap dan bikin sakit mata seperti yg digunjingkan. Inilah Salah satu film superhero lokal yang wajib kalian tonton. Meski masih banyak yg perlu dibenahi, tapi film ini masih sangat layak untuk dapat apresiasi lebih.

Rating dari saya 2,9 / 5

Anonim mengatakan...

perlu Zack Snyder bikin film Gatot kaca

Cinema Paradiso mengatakan...

Susuai nama, Gatot, gagal total, nama itu doa wkwk

Anonim mengatakan...

Merinding saya pas adegan gatotkaca bilang “saatnya menggatot”, vibesnya kayak final fight endgame. Pecah parah 🗿🗿🗿

Anonim mengatakan...

mending gundala