REVIEW - SATRIA DEWA: GATOTKACA
Satria Dewa: Gatotkaca melalui perjalanan panjang nan berliku sebelum sampai di layar lebar. Perubahan tim produksi termasuk perpindahan kursi sutradara dari Charles Gozali ke Hanung Bramantyo, kasus si pemeran utama, hingga kontroversi kredit penata kostum (untungnya sudah terselesaikan). Tapi bakal sangat heroik bila selepas masalah-masalah di atas, filmnya justru melesat dengan kualitas luar biasa. Sayangnya tidak. Satria Dewa: Gatotkaca adalah bentuk kebingungan soal cara meramu aksi superhero energik.
Latarnya adalah Kota Astina, tempat Yuda (Rizky Nazar) tinggal bersama sang ibu, Arimbi (Sigi Wimala), yang kehilangan ingatan akibat serangan sosok misterius beberapa tahun lalu. Sosok itu (ya, karakter ini disebut "Sosok") mengincar medali brajamusti guna membangkitkan Aswatama. Seperti kita tahu, medali brajamusti nantinya memberi Yuda kekuatan Gatotkaca. Sementara Pandega (Cecep Arif Rahman), ayah Yuda, pergi meninggalkan keluarganya entah ke mana.
Astina sendiri tengah dalam kondisi mencekam. Terjadi pembunuhan berantai, yang menurut Arya Laksana (Edward Akbar), seorang profesor, dan puterinya, Agni (Yasmin Napper), mungkin saja didalangi orang-orang yang mewarisi gen Kurawa. Karena kota fiktif, naskah buatan Hanung dan Rahabi Mandra (Hijab, Night Bus, Kadet 1947) tentu bebas mengeksplorasi Astina. Kondisi sosial, budaya, teknologi, apa pun itu, tiada batasan.
Sayangnya peluang tersebut tak dimanfaatkan. Astina sebatas amalgam kota-kota era kontemporer di Indonesia, dengan mata uang rupiah, dan juara lari bernama Zohri. Sebagai kota fiktif yang eksistensinya bukan melahirkan satir, Astina terlampau dekat dengan Indonesia. Bukan dosa besar, namun sungguh potensi kreatif yang tersia-siakan.
Pertemuan Yuda dengan Dananjaya (Omar Daniel) menyadarkannya bahwa perang modern antara keturunan Pandawa dan Kurawa sungguh terjadi. Dananjaya, dibantu Gege (Ali Fikry) dan kurawa baik hati bernama Bu Mripat (Yati Surachman), tengah berniat membangkitkan proyek "Satria Dewa" guna melawan Kurawa. Di situlah Yuda dengan kekuatan Gatotkaca miliknya berperan selaku pelindung Pandawa.
Satu hal yang selalu jadi bumerang adalah ambisi tampil dinamis. Cepat. Bertenaga. Sebenarnya wajar, mengingat itulah winning formula banyak superhero blockbuster, tapi baik penulisan maupun penyutradaraannya tak mampu mengemban ambisi tersebut. Alhasil, "kekacauan" bak jadi pola yang terus berulang sepanjang 129 menit durasinya.
Penceritaannya kacau. Kerap melompat-lompat tidak karuan, yang mana diperparah oleh penyuntingan lemah, pun lalai menyisakan ruang bagi penggalian karakter. Yuda adalah Gatotkaca si pahlawan legendaris. Tapi sebagai pahlawan, sebagai calon pelindung Pandawa, nilai apa yang melandasi perjuangannya? Yuda merupakan protagonis mentah, meski Rizky Nazar jelas sempurna memerankan figur superhero.
Buruknya penceritaan makin kentara memasuki paruh akhir. Klimaksnya diisi dua momen "perpisahan", yang seharusnya memberi dampak emosi besar bagi tokoh-tokohnya, tapi karena muncul berurutan, dengan jeda tidak sampai lima menit, hasilnya justru canggung. Bahkan menggelitik. Seorang penonton berseloroh, "Lah, mati lagi?", dan saya setuju. Sebab selain berdekatan, cara Hanung memoles dua peristiwa itu juga serupa.
Saya mengapresiasi cara naskahnya menyelipkan goro-goro sebelum puncak, yakni kemunculan Punakawan: Semar (Butet Kartaredjasa), Petruk (Gilang Bhaskara), Gareng (Indra Jegel), Bagong (Rigen Rakelna). Di situ segala intrik para pesohor diistirahatkan, diganti celotehan rakyat biasa. Satu yang sukar diapresiasi adalah terkait product placement. Percayalah, saya termasuk yang jarang mengeluhkan iklan sponsor, namun Satria Dewa: Gatotkaca membawa kuantitas serta kegamblangannya ke tingkatan "lebih tinggi".
Adegan aksi yang mestinya jadi jualan utama tidak kalah kacau. Sedari menit-menit awal, kombinasi penyuntingan frantic, pilihan shot ala kadarnya, dan pencahayaan yang kalau mengutip kalimat King Nassar, "seperti mati lampu", menyulitkan untuk menikmati segala baku hantam. Saya paham, Hanung ingin menguatkan atmosfer lewat suasana remang dan pemakaian warna seperti merah tua, tapi apakah harus sesering itu? Kita pun baru bisa benar-benar menyaksikan kostum keren Gatotkaca (elemen terbaik filmnya) jelang konklusi.
Para cast sejatinya meyakinkan dalam melakoni aksi. Sekali lagi, Rizky Nazar cocok sebagai figur satria, begitu pula Omar Daniel yang membuat saya menantikan film Arjuna. Pastinya salah satu momen paling ditunggu adalah konfrontasi dua ikon laga Indonesia, Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman. Tapi ketika sebuah film aksi membungkus jurus-jurus mereka dengan penyuntingan kilat dan tata kamera shaky, artinya ada yang salah dalam film tersebut.