Tampilkan postingan dengan label Rizky Nazar. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Rizky Nazar. Tampilkan semua postingan

REVIEW - SATRIA DEWA: GATOTKACA

Satria Dewa: Gatotkaca melalui perjalanan panjang nan berliku sebelum sampai di layar lebar. Perubahan tim produksi termasuk perpindahan kursi sutradara dari Charles Gozali ke Hanung Bramantyo, kasus si pemeran utama, hingga kontroversi kredit penata kostum (untungnya sudah terselesaikan). Tapi bakal sangat heroik bila selepas masalah-masalah di atas, filmnya justru melesat dengan kualitas luar biasa. Sayangnya tidak. Satria Dewa: Gatotkaca adalah bentuk kebingungan soal cara meramu aksi superhero energik. 

Latarnya adalah Kota Astina, tempat Yuda (Rizky Nazar) tinggal bersama sang ibu, Arimbi (Sigi Wimala), yang kehilangan ingatan akibat serangan sosok misterius beberapa tahun lalu. Sosok itu (ya, karakter ini disebut "Sosok") mengincar medali brajamusti guna membangkitkan Aswatama. Seperti kita tahu, medali brajamusti nantinya memberi Yuda kekuatan Gatotkaca. Sementara Pandega (Cecep Arif Rahman), ayah Yuda, pergi meninggalkan keluarganya entah ke mana.

Astina sendiri tengah dalam kondisi mencekam. Terjadi pembunuhan berantai, yang menurut Arya Laksana (Edward Akbar), seorang profesor, dan puterinya, Agni (Yasmin Napper), mungkin saja didalangi orang-orang yang mewarisi gen Kurawa. Karena kota fiktif, naskah buatan Hanung dan Rahabi Mandra (Hijab, Night Bus, Kadet 1947) tentu bebas mengeksplorasi Astina. Kondisi sosial, budaya, teknologi, apa pun itu, tiada batasan. 

Sayangnya peluang tersebut tak dimanfaatkan. Astina sebatas amalgam kota-kota era kontemporer di Indonesia, dengan mata uang rupiah, dan juara lari bernama Zohri. Sebagai kota fiktif yang eksistensinya bukan melahirkan satir, Astina terlampau dekat dengan Indonesia. Bukan dosa besar, namun sungguh potensi kreatif yang tersia-siakan. 

Pertemuan Yuda dengan Dananjaya (Omar Daniel) menyadarkannya bahwa perang modern antara keturunan Pandawa dan Kurawa sungguh terjadi. Dananjaya, dibantu Gege (Ali Fikry) dan kurawa baik hati bernama Bu Mripat (Yati Surachman), tengah berniat membangkitkan proyek "Satria Dewa" guna melawan Kurawa. Di situlah Yuda dengan kekuatan Gatotkaca miliknya berperan selaku pelindung Pandawa. 

Satu hal yang selalu jadi bumerang adalah ambisi tampil dinamis. Cepat. Bertenaga. Sebenarnya wajar, mengingat itulah winning formula banyak superhero blockbuster, tapi baik penulisan maupun penyutradaraannya tak mampu mengemban ambisi tersebut. Alhasil, "kekacauan" bak jadi pola yang terus berulang sepanjang 129 menit durasinya. 

Penceritaannya kacau. Kerap melompat-lompat tidak karuan, yang mana diperparah oleh penyuntingan lemah, pun lalai menyisakan ruang bagi penggalian karakter. Yuda adalah Gatotkaca si pahlawan legendaris. Tapi sebagai pahlawan, sebagai calon pelindung Pandawa, nilai apa yang melandasi perjuangannya? Yuda merupakan protagonis mentah, meski Rizky Nazar jelas sempurna memerankan figur superhero. 

Buruknya penceritaan makin kentara memasuki paruh akhir. Klimaksnya diisi dua momen "perpisahan", yang seharusnya memberi dampak emosi besar bagi tokoh-tokohnya, tapi karena muncul berurutan, dengan jeda tidak sampai lima menit, hasilnya justru canggung. Bahkan menggelitik. Seorang penonton berseloroh, "Lah, mati lagi?", dan saya setuju. Sebab selain berdekatan, cara Hanung memoles dua peristiwa itu juga serupa. 

Saya mengapresiasi cara naskahnya menyelipkan goro-goro sebelum puncak, yakni kemunculan Punakawan: Semar (Butet Kartaredjasa), Petruk (Gilang Bhaskara), Gareng (Indra Jegel), Bagong (Rigen Rakelna). Di situ segala intrik para pesohor diistirahatkan, diganti celotehan rakyat biasa. Satu yang sukar diapresiasi adalah terkait product placement. Percayalah, saya termasuk yang jarang mengeluhkan iklan sponsor, namun Satria Dewa: Gatotkaca membawa kuantitas serta kegamblangannya ke tingkatan "lebih tinggi". 

Adegan aksi yang mestinya jadi jualan utama tidak kalah kacau. Sedari menit-menit awal, kombinasi penyuntingan frantic, pilihan shot ala kadarnya, dan pencahayaan yang kalau mengutip kalimat King Nassar, "seperti mati lampu", menyulitkan untuk menikmati segala baku hantam. Saya paham, Hanung ingin menguatkan atmosfer lewat suasana remang dan pemakaian warna seperti merah tua, tapi apakah harus sesering itu? Kita pun baru bisa benar-benar menyaksikan kostum keren Gatotkaca (elemen terbaik filmnya) jelang konklusi. 

Para cast sejatinya meyakinkan dalam melakoni aksi. Sekali lagi, Rizky Nazar cocok sebagai figur satria, begitu pula Omar Daniel yang membuat saya menantikan film Arjuna. Pastinya salah satu momen paling ditunggu adalah konfrontasi dua ikon laga Indonesia, Yayan Ruhian dan Cecep Arif Rahman. Tapi ketika sebuah film aksi membungkus jurus-jurus mereka dengan penyuntingan kilat dan tata kamera shaky, artinya ada yang salah dalam film tersebut.

MEKAH I'M COMING (2020)

Lebih dari kelucuannya, Mekah I’m Coming, yang sebelumnya mengusung judul Haji Hoax, punya value besar karena keberaniannya menertawakan isu bertema religi. Ketika bangsa ini semakin kehilangan selera humor akibat mabuk agama, Jeihan Angga selaku sutradara sekaligus penulis naskah, seolah membawa saya kembali ke masa tatkala lawakan “Bahasa Arab” milik Bajaj Bajuri dulu belum dianggap ofensif. Bukan agama yang ditertawakan, melainkan kengawuran penganutnya.

Ibu saya pernah bercerita tentang keputusannya keluar dari grup WhatsApp haji, karena orang-orang di dalamnya memanggil satu sama lain dengan sebutan “Bu Hajjah”. “Ya itu kan grup haji. Otomatis semua haji dan hajjah. Ngapain manggil bu hajjah/pak haji? Kayak minta ditinggikan banget!”, ujarnya kesal. Realitanya memang demikian. Haji adalah gelar maha dahsyat yang sering membuat pemiliknya dipandang atau merasa lebih tinggi, lebih mulia, lebih memahami agama.

Karenanya, saat terancam kehilangan kekasihnya, Eni (Michelle Ziudith), yang oleh sang ayah, Haji Soleh (Totos Rasiti), bakal dijodohkan dengan Pietoyo (Dwi Sasono) si saudagar kaya dari kota, Eddy (Rizky Nazar) mantap berkata, “Saya akan naik haji tahun ini!”. Eddy sampai harus menjual bengkel kecilnya sebagai biaya. Tapi, akibat keterbatasan kuota, ia harus mengantre 10 tahun. Terpojok, Eddy nekat menerima tawaran sebuah agen perjalanan yang berjanji bisa memberangkatkannya haji tahun ini dengan biaya 240 juta rupiah.

Seperti sudah kita tahu dari trailer-nya, agen tersebut rupanya membohongi Eddy. Bersama “calon jemaah” lain bernama Fajrul (Ephy Sekurity), Eddy terjebak di Jakarta karena keduanya merasa malu untuk pulang ke rumah dalam kondisi gagal naik haji. Jeihan Angga lalu membawa penonton mendatangi sebuah daerah yang ditinggali oleh banyak korban penipuan agen perjalanan, yang memilih tidak pulang kampung sebelum benar-benar berangkat haji. Kita diajak mengintip sebuah sudut realita kelam Indonesia, dibawa mengetahui dampak besar dari komersialisasi agama serta pengultusan gelar haji.

Keduanya memang saling berkaitan. Tanpa pengultusan, dampak psikis yang dihasilkan takkan sebesar itu. Jeihan mampu memunculkan pemahaman terhadap isu tersebut melalui gaya penuh canda, tanpa memaksakan diri berpindah ke jalur drama sebagaimana  kebanyakan komedi lokal yang menyelipkan subteks di alurnya. Momen yang paling dekat menyentuh ranah dramatis adalah peristiwa romantis tak terduga di penghujung cerita. Peristiwa yang sejatinya tidak logis, namun bisa diterima, mengingat sejak awal Mekah I’m Coming jelas sudah menjauhkan diri dari logika.

Humornya memang masih cenderung hit-and-miss akibat tidak seluruh elemen penyutradaraan (timing, pengemasan hook sebuah banyolan) berjalan mulus. Tapi, keberanian Jeihan Angga menerapkan ide-ide kreatif dalam debutnya ini patut diberi pujian tinggi. Ditemani musik bernuansa Timur Tengah garapan Krisna Purna (Ayat-Ayat Cinta 2, Petualangan Menangkap Petir, Abracadabra), Jeihan memamerkan absurditas komedi, yang acap kali hadir dalam bentuk tak terduga, berkat kombinasi referensi segudang dengan keliaran ide sarat kreativitas, yang biasanya hanya akan berhenti sebagai kelakar konyol pada obrolan warung kopi. Ketika banyak sineas khawatir karyanya tampak norak jika secara total menerapkan komedi receh dan/atau tertawa di atas isu berbau agama, Jeihan melakukan keduanya.

Tertular kegilaan sang sutradara adalah jajaran pemainnya. Rizky Nazar, Ephy Sekuriti, hingga Totos Rasiti, semuanya menghibur. Tapi kejutan terbesar ditampilkan Michelle Ziudith. Meninggalkan zona nyamannya, Michelle tidak ragu mempermalukan diri demi efektivitas komedi dalam performa terbaik yang bisa saja membuka jalan baru bagi karirnya. Mekah I’m Coming pun menandai penampilan terakhir mendiang Ria Irawan, dan sungguh persembahan yang pantas untuk aktris legendaris sepertinya. Selamat jalan Mbak Ria.

DANUR 3: SUNYARURI (2019)

Pada review untuk Asih (baca di sini), saya mengapresiasi bagaimana seri Danur, meski setapak demi setapak, terus menunjukkan peningkatan. Jadi alangkah mengecewakan mendapati Danur 3: Sunyaruri merupakan langkah mundur, yang seolah menekan tombol reset bagi progres adaptasi novel-novel Risa Saraswati ini.

Menit-menit awal film ini sebenarnya menjanjikan. Dibuka melalui visualisasi novel buatan Risa (Prilly Latuconsina), yang memperlihatkannya dikejar oleh Canting, hantu penari dari ending Maddah, di suatu gedung pertunjukkan. Pemakaian bayangan adalah trik menakut-nakuti sederhana tapi ampuh memancing kengerian, sementara musik garapan Ricky Lionardi (Asih, Sunyi, Pretty Boys) mampu menggedor jantung ketimbang menyakiti telinga.

Daya tariknya berlanjut kala krisis persahabatan Risa dengan Peter dan kawan-kawan mulai diperkenalkan. Khawatir bakal ditinggalkan, Risa menyembunyikan kemampuan mistisnya dari Dimas (Rizky Nazar). Risa tidak lagi sempat bermain bersama teman-teman hantunya, bahkan kerap memarahi mereka. Di mana lagi kita melihat protagonis film horor mengomeli hantu? Sekilas terdengar konyol, tapi ini keunikan selaku pembeda Risa dengan karakter horor lain.

Tidak lagi tahan dengan keusilan para bocah itu, Risa memilih menutup mata batinnya. Alih-alih menyelesaikan masalah, keputusan itu justru mengundang bahaya kala sesosok hantu wanita misterius menyatroni rumahnya bersama hujan lokal misterius yang tak kunjung usai, mengancam keselamatan Risa beserta teman-temannya.

Membahas progres, naskah buatan penulis langganan Danur, Lele Laila, setidaknya bukan lagi kompilasi jump scare sebagaimana dua judul perdana. Tapi serupa Asih (dan deretan horor lokal kebanyakan), penyakit lama masih menjangkiti. Seolah sang penulis alergi dengan kata “eksplorasi”. Walau tidak diisi pawai penampakan, alurnya jalan di tempat, terkesan kosong, meski menyimpan banyak bekal misteri. Siapa identitas si hantu wanita? Mengapa ia mengincar Peter dkk.? Apa penyebab hujan yang terus turun?

Daripada menggalinya satu per satu, Lele Laila memilih menerapkan pola lama, yakni menyimpan semuanya hingga konklusi, sehingga menciptakan fase pengungkapan yang terburu-buru. Kelemahan itu turut mempengaruhi twist-nya yang terkesan mencurangi penonton, akibat hadir tiba-tiba tanpa diawali “penanaman benih” terlebih dahulu.

Urusan teror, Sunyaruri mengeskalasi tingkat bahaya yang mengancam Risa. Bukan saja teror psikis, kali ini fisiknya pun dihajar habis. Bertambahnya ujian bagi Risa berbanding lurus dengan beban Prilly, yang berkesempatan menampilkan jangkauan akting (sedikit) lebih luas, karena dituntut tampak meyakinkan memerankan seseorang yang tersiksa mental pula fisik. Tugas ini dijalankan cukup baik oleh Prilly.

Secara mengejutkan, penurunan justru datang dari penyutradaraan Awi Suryadi. Masih ada segelintir teror solid, termasuk jump scare mengejutkan yang melibatkan ember, tapi di sini Awi bagai terbuai akan eksplorasi sudut kamera. Dia lebih tertarik bergaya, mengaplikasikan sudut-sudut “berbeda” yang minim substansi perihal membangun kengerian. Ditunjang tata artistik yang digarap apik, visual Sunyaruri mungkin tampak cantik dan unik, namun rasa takut gagal dipantik.

Selain jump scare medioker, kurangnya daya cengkeram turut diakibatkan lemahnya desain hantu. Pasca tampilan ikonik Ivana, Sunyaruri kembali memoles antagonisnya dengan riasan muka rusak klise. Membosankan. Sama membosankannya dengan lagu Boneka Abdi yang diulang belasan kali (lagu tema tidak wajib diputar lima menit sekali), maupun babak ketiga yang bak melupakan hakikatnya sebagai klimaks, dengan mengakhiri konflik secara prematur sebelum mencapai titik puncak.

CALON BINI (2019)

Kadangkala sebuah film justru mencapai potensi terbaik saat hadir apa adanya. Keinginan untuk tampil “lebih” kerap jadi batu sandungan berbahaya. Demikian pula Calon Bini. Percintaan mustahil antara pembantu dan majikan entah sudah berapa kali dijadikan dasar jalinan kisah bertema “Cinderella story”, tapi pesonanya tak luntur, sebab sejak zaman nenek moyang, merupakan kewajaran jika seseorang mendambakan pasangan impian. Alih-alih mempertahankan kesederhanaan itu, Calon Bini memaksakan diri menyelipkan isu sosial tanpa dibarengi kualitas serta bekal pemahaman memadahi terhadapnya.  

Isu yang coba diangkat tak lain mengenai persepsi kolot masyarakat tentang kodrat wanita, khususnya wanita desa. Selepas lulus SMA, Ningsih (Michelle Ziudith) si gadis dari Bantul, berkeinginan melanjutkan kuliah hingga S2, walau perekonomian keluarganya pas-pasan. Kedua orang tuanya, Maryadi (Marwoto) dan Ngatinah (Cut Mini), hanya buruh tani. Sementara pakliknya, Agung (Ramzi) berhasrat menjodohkan Ningsih dengan Sapto (Dian Sidik) si putera Pak Kades (Butet Kartaredjasa), demi mengejar harta dan jabatan.

Tidak ada yang mempedulikan fakta bahwa Ningsih enggan menikah, apalagi dengan Sapto. Sebab, kebanyakan masyarakat di desa memang masih beranggapan bahwa paling tidak, pasangan kita wangun dijak njagong (pantas diajak menghadiri pesta pernikahan). Ucapan seperti itu sering saya dengar di lingkungan sekitar rumah sampai sekarang.

Tapi Ningsih kukuh pada pendirian, lalu memutuskan pergi ke Jakarta di hari lamaran. Tanpa memberi tahu keluarganya, ia bekerja sebagai pembantu di kediaman Pak Prawira (Slamet Rahardjo) dan Bu Andini (Minati Atmanegara). Dari sinilah paparan perihal “wanita berhak mengejar cita-cita” mulai bermasalah, tepatnya begitu Ningsih bertemu Oma ( Niniek L. Karim), yang telah lama mengurung diri, merasa kesepian setelah ditinggal si cucu tunggal, Satria Bagus (Rizky Nazar) berkuliah ke luar negeri.

Sebelum membahas masalah seputar naskahnya, izinkan saya mengutarakan perasaan janggal melihat Niniek L. Karim memerankan mertua Slamet Rahardjo yang notabene hanya lebih muda 7 hari, sekaligus ibunda Minati Atmanegara yang berselisih 10 tahun dengannya. Itu sama saja seperti Vanesha Prescilla menjadi mertua Iqbaal Ramadhan alih-alih kekasihnya.

Kembali ke alur, begitu terpikatnya Oma pada Ningsih, ia berkeinginan menjodohkannya dengan Satria. Di saat bersamaan, Ningsih sejatinya telah jatuh hati kepada sosok bernama Jejak Langkah yang menuliskan kalimat-kalimat pemberi semangat untuknya melalui Instagram, tatkala banyak orang kerap melontarkan komentar bernada miring terkait cita-cita Ningsih.

Kita tahu siapa Jejak Langkah sebenarnya. Kita tahu ia bukan si pria asing (Antonio Blanco Jr.) yang ditemui Ningsih di kereta. Tapi bukan itu masalah terbesarnya. Bukan pula ketidakwajaran jumlah cercaan di Instagram Ningsih (bukan meremehkan cyberbullying, tapi sungguh, pernahkah anda melihat akun berjumlah pengikut sekitar 100 menerima komentar negatif kejam sebanyak itu?), melainkan bagaimana Calon Bini mengkritisi soal “wanita yang penting menikah” dan perjodohan, hanya untuk menuntaskan permasalahan protagonisnya lewat pernikahan dan perjodohan pula.

Sampai filmnya berakhir, jangankan meneruskan S2 atau meniti karir, Ningsih sama sekali tak berkuliah. Naskah garapan Titien Wattimena (Aruna & Lidahnya, Dilan 1990) dan Novia Faizal (Cinta tapi Beda, Something in Between) berdasarkan ide cerita Sukdev Singh (One Fine Day, Calon Bini) pun urung memperlihatkan kelebihan Ningsih selain dalam urusan domestik seperti memasak atau membuat teh jahe. Dan akhirnya segala kesulitan hidupnya tuntas begitu si “pangeran berkuda putih” menjemputnya, membawanya kembali ke “kerajaan”.

Itu bukan satu-satunya elemen problematis film ini. Saya juga terganggu akan penggambaran masyarakat Jawa (terlebih Jogja), yang lagi-lagi tampak kampungan, norak, sama sekali buta soal modernisasi, pula tidak tahu adat istiadat layaknya orang barbar. Realitanya, masyarakat desa justru bakal bersikap 180 derajat dari apa yang diperlihatkan Calon Bini (dan ratusan film lokal yang salah kaprah akibat malas riset lainnya). Saya memahami intensinya sebagai bumbu komedi, namun stereotip ngawur ini sudah jadi penyakit kronis perfilman kita, sehingga di titik ini, sudah tak pantas ditoleransi.

Padahal di luar humor stereotipikal miliknya, Calon Bini sebenarnya menyimpan beberapa banyolan menggelitik, yang cukup efektif memancing tawa berkat  pengadeganan dinamis Asep Kusdinar (Magic Hour, London Love Story) ditambah penyampaian mumpuni jajaran pemain. Marwoto sang komedian legendaris Jogja sudah tentu paling mencuri perhatian lewat celotehan-celotehan Bahasa Jawanya. Ya, untuk pemakaian bahasa, Calon Bini patut diapresiasi karena sebisa mungkin menghindari percampuran paksa Bahasa Jawa dan Indonesia sebagaimana dilakukan FTV kita.

Michelle Ziudith, biarpun belum sepenuhnya meyakinkan memerankan gadis Jawa dikarenakan gaya bicara yang sesekali masih terjebak logat “ndak gitu maaas...”, mampu menginjeksi energi supaya Calon Bini tak kehabisan daya hingga usai. Tapi jika ada aspek yang paling mencerminkan unsur pemberdayaan wanita, itu adalah akting Cut Mini. Tatapan Ngatinah kala melihat sang suami meluapkan amukannya kepada Agung, dipenuhi harga diri seorang wanita dari kalangan bawah yang tak rela kehilangan martabatnya. Andai Calon Bini juga memancarkan aura serupa.

THE WAY I LOVE YOU (2019)

The Way I Love You punya kans menjadi suguhan bernilai tentang proses saling menemukan belahan jiwa yang sanggup menambal lubang dalam hati, andai pilihan fokus utama bukan dijatuhkan kepada unsur lain yang lebih dangkal. Tidak sepenuhnya keliru memang, namun menghilangkan peluang filmnya memiliki pembeda dibanding setumpuk cerita cinta remaja pada umumnya.

Faktanya, naskah buatan Johanna Wattimena (#Teman tapi Menikah) dan Gendis Hapsari menyimpan banyak elemen menarik, seperti duka keluarga, persahabatan yang mengobati kesedihan, atau perihal jatuh cinta lewat perkenalan di dunia maya. Semua itu pernah diangkat ke layar lebar tentu saja, tapi eksplorasi lebih jauh dapat menghasilkan kisah kaya rasa yang tak berkutat di drama romantika remaja yang itu-itu saja.

Setelah kehilangan sang ibu, Senja (Syifa Hadju) tinggal bersama sepupunya, Anya (Tissa Biani), beserta kedua orang tuanya (Adi Nugroho dan Windy Wulandari). Usia sepantaran memudahkan keduanya menjalin persahabatan erat, di mana mereka menganggap satu sama lain sebagai hal terpenting dalam hidup. Bahkan saat menghilangkan buku harian yang selalu jadi tempat Senja menuliskan kegundahan termasuk kerinduan akan mendiang ibunya, Anya membelikan laptop untuk menebus kesalahannya. Melihat itu, Senja memeluk sang sahabat, berurai air mata, sambil berkata, “Keterlaluan lo”. Ucapan sederhana itu merupakan satu-satunya kalimat di film ini yang tak terdengar membosankan sekaligus memiliki rasa.

Tanpa mereka tahu, buku Senja ada di tangan Bara (Rizky Nazar), murid baru yang enam bulan lalu juga baru saja ditinggal pergi ibu. Ayahnya (Surya Saputra), memaksa Bara ikut pindah dari Bandung ke Jakarta guna memulai lembaran kehidupan baru, dan itu memancing amarahnya. Hingga pada satu adegan yang sekali lagi menunjukkan kapasitas Surya Saputra memerankan sosok ayah sentimentil nan gundah gulana, keduanya saling memaafkan. Momen itu muncul di paruh awal, mengakhiri konflik ayah-anak yang ada sebelum sempat berkembang.

Buku itu tidak sengaja ditinggalkan Anya—yang jatuh cinta kepada Bara—ketika duduk di sebelah Bara. Anehnya, tidak sekalipun Bara berasumsi buku tersebut kepunyaan Anya. Jika saya adalah Bara, Anya bakal jadi orang pertama yang saya datangi. Setidaknya langkah itu logis, serta punya probabilitas keberhasilan lebih besar ketimbang secara acak meminta satu per satu siswi di sekolah memperlihatkan tulisan tangan mereka.

Berkat laptop pemberian Anya, Senja pun memulai menulis kisah pribadinya di blog menggunakan nama pena Caramel Latte. Di sana, Senja bertemu seseorang dengan nama pengguna BadBoy, yang mengaku menyukai tulisannya. Senja pun terpikat oleh kata-kata manis si pria misterius. Setelah rutin mengobrol di dunia maya, keduanya memutuskan bertemu. Bertatap mukalah akhirnya Senja dengan Rasya (Baskara Mahendra), dan hubungan mereka makin dekat. Tapi pelan-pelan, Senja merasa ada keanehan. Berbeda dengan BadBoy, Rasya lebih “nakal”, gemar merayu, juga “agresif”.

Tentu kita tahu ke mana alurnya bergerak. Kita tahu bahwa Bara, yang selalu terlibat pertengkaran dengan Senja di sekolah, sejatinya adalah BadBoy. Kita tahu hubungan Senja dan Anya akan diuji begitu rahasia identitas BadBoy terungkap. Kita pun tahu, jika kisah semacam ini punya akhir bahagia, ketika kekuatan persahabatan mendorong salah satu untuk mengalah. Dikarenakan Rasya adalah pria brengsek, kita tahu kalau Senja takkan berakhir di pelukannya, sehingga bisa ditebak, Anya yang bakal berbesar hati merelakan cintanya.

Teramat klise, namun sekali lagi, bukan hal haram. Kekeliruan terletak pada ketiadaan elemen dalam plot yang membuat proses tetap layak kita lewati walau tujuannya mudah ditebak. Aspek-aspek penceritaan yang saya sebut di paragraf awal urung dikembangkan agar tak berakhir sebagai pajangan belaka. Naskahnya kekurangan daya guna menciptakan interaksi dinamis di antara karakter, sedangkan Rudi Aryanto (Surat Cinta untuk Starla the Movie, Dancing in the Rain) bagai memasang mode autopilot di penyutradaraannya. Terdapat usaha memproduksi kejenakaan, tapi satu-satunya momen di mana tawa saya meledak yakni ketika Adi Nugroho melontarkan “lelucon Gaara”.

Beruntung, The Way I Love You punya dua talenta muda berbakat. Syifa Hadju mampu menghadirkan protagonis likeable yang piawai memancing senyum tiap kali ia bertingkah canggung menanggapi pesan-pesan BadBoy di layar laptop. Sementara Tissa Biani melahirkan tokoh paling memorable di sini, serupa keberhasilannya di Laundry Show yang juga rilis minggu ini. Lain cerita bagi Rizky Nazar. Bukan kharismanya yang perlu dipertanyakan, melainkan seberapa alamiah ia dalam berlakon. Tengok tawa dipaksakan selaku respon Bara tatkala sang ayah salah mengartikan “kecelakaan” sebagai “menghamili”, yang menambah kecanggungan adegan komedik gagal tersebut.