REVIEW - EMERGENCY

4 komentar

Di tengah masa liburan, ketika remaja menggelar pesta di tiap penjuru kota, seorang gadis pingsan di rumah orang asing akibat terlalu mabuk. Sebuah pemandangan yang wajar ditemukan dalam party movie, mungkin juga awal dari skenario penuh kekonyolan di suatu malam yang liar. Tapi Emergency, selaku adaptasi film pendek berjudul sama (2018), mengambil perspektif lebih kritis, lebih nyata, lebih tajam, sambil tak lupa memancing tawa.

Protagonisnya adalah Kunle (Donald Elise Watkins) dan Sean (RJ Cyler), yang menyambut liburan musim semi dengan ambisi menjadi pria kulit hitam pertama yang menyelesaikan "Legendary Tour", dengan mendatangi tujuh pesta berbeda dalam semalam. Keduanya bersahabat, bahkan tinggal serumah, bertiga dengan Carlos (Sebastian Chacon), remaja latin yang selalu mengurung diri bermain gim di kamar. 

Sean memaparkan detail rencana "petualangannya" pada Kunle, tapi kita tahu, itu takkan berjalan lancar. Benar saja, alih-alih berpesta, mereka justru menemukan gadis kulit putih (Maddie Nichols) dalam kondisi mabuk berat hingga tidak sadarkan diri. Kunle hendak menelepon 911, tapi Sean melarang. "Bagaimana bila polisi melihat wanita kulit putih pingsan di rumah tiga pria non-kulit putih?", ucap Sean.

Di tangan KD Dávila selaku penulis naskah, Emergency menjadi party movie, komedi, cerita rasisme, juga (semacam) coming-of-age. Kunle mengalami pendawasaan perihal menyadari realita. Walau bersahabat, kepribadian serta hidup Kunle dan Sean bertolak belakang. Kunle putera keluarga terpandang pula siswa teladan bermasa depan cerah, sedangkan Sean mengakrabi kehidupan jalanan. Tindak kekerasan berlatar rasisme oleh polisi, ujaran kebencian menggunakan "the N word", semua terdengar asing di mata Kunle. "You are white inside", sindir Sean. 

Biarpun mengangkat persoalan serius, Dávila tetap membawa elemen komedi. Kekacauan menggelitik nan sarat kejutan khas party movie dipertahankan tanpa harus mendistraksi tuturannya, sementara di kursi sutradara, Carey Williams memiliki kepiawaian menata timing komedi, sembari menjaga energi filmnya agar konsisten sepanjang 105 menit durasinya. 

Nantinya kita tahu bahwa gadis mabuk itu bernama Emma, dan sang kakak, Maddy (Sabrina Carpenter), tengah mati-matian mencarinya. Kecurigaan Maddy memuncak kala melihat adiknya dikelilingi dua pria kulit hitam dan satu pria latin. Apakah respon Maddy mengandung rasisme? Ya. Tapi mengacu pada isu pelecehan seksual, kekhawatirannya pun dapat dipahami. Maddy benar sekaligus salah. Realita memang serumit itu. 

Emergency menyentuh titik yang lebih powerful begitu memasuki babak akhir. Intensitas meningkat, begitu pula emosi, terutama dalam adegan berlatar lab, kala Donald Elise Watkins dan RJ Cyler memamerkan akting terbaik masing-masing. 

Konklusinya kuat. Panggilan darurat 911, polisi, maupun neighborhood watch, diciptakan demi keamanan masyarakat. Tapi rasisme membuatnya cuma menimbulkan rasa nyaman bagi sekelompok pihak, bahkan tak jarang jadi sumber teror pihak lain yang mestinya turut dilindungi. Andai peristiwa serupa kelak terulang lagi, besar kemungkinan karakternya takkan mengulurkan bantuan, yang bisa saja berujung hilangnya nyawa manusia, dan penolakan tersebut dapat dijustifikasi. Emergency tidak hanya menyentil isu masa kini, pula menyiratkan potensi efek domino berbahaya di masa mendatang akibat rasisme. 

(Prime Video)

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Ini salah satu film favorit saya di tahun ini bang, sangat menyentil sekali film ini. Sebuah kritik luarbiasa dari sineas. Karakter2 di film ini juga menurut saya luarbiasa. Sebetulnya bukan hanya saudara kita yang (maaf) berkulit hitam, namun hal ini juga bisa menimpa orang2 Asia seperti kita. (Spoiler)




Waktu cewek tersebut minta maaf, kemudian terjadi obrolan seadanya biasa saja dan pintu langsung ditutup, menurut saya bagus karena sineas tidak mau terlalu mendramatisir suasana, mungkin dibuat serealita atau gimana entahlah?

Rasyidharry mengatakan...

Yes, bisa dibawa ke minoritas mana pun, apa pun konteksnya (ras, agama, dll)

Di ending itu statement kuat soal nggak mau denger alesan ini itu

Anonim mengatakan...

Menurut saya, permintaan maaf-nya hanya formalitas, tidak dari hati.
Itu ditunjukkan dengan membaca catatan kertas. Karena itu tidak didengarkan, dan pintu ditutup.

wayang79 mengatakan...

bagus ni review nya, makasih ombanyak2 review lg om :D