REVIEW - WHAT TO DO WITH THE DEAD KAIJU?

4 komentar

Anda menikmati kejutan? Kalau "iya", silahkan berhenti membaca sampai di sini, jangan mencari informasi lebih soal What to Do with the Dead Kaiju?, lalu tonton filmnya. Bukan, ini bukan film bagus. Tapi kalau anda, seperti banyak orang termasuk saya, tertarik mencicipi karya terbaru sutradara Satoshi Miki ini karena sinopsis atau trailernya, hasil akhirnya dijamin bakal memberi kejutan besar. 

Idenya memang menarik. Sebagaimana nampak di judul, alurnya tak menyoroti serangan kaiju, melainkan apa yang harus dilakukan pasca si monster raksasa mati. Bagaimana memulihkan kehancuran kota? Harus diapakan bangkai kaiju tersebut? Pembaca komik Marvel pasti familiar dengan Damage Control (muncul juga di beberapa judul MCU, terakhir di serial Ms. Marvel) yang bertugas "bersih-bersih" selepas para pahlawan super beraksi. Tapi belum ada film yang benar-benar menaruh fokus pada organisasi serupa.

Alkisah kaiju yang memporak-porandakan Jepang mendadak mati setelah terpapar cahaya misterius. Protagonis kita, yang mengendarai motor (agak) futuristik ala jagoan tokusatsu, Arata Tatewaki (Ryosuke Yamada), ditunjuk memimpin misi sebuah tim khusus untuk menyiasati bangkai kaiju itu. Di situlah ia bertemu mantan tunangannya, Yukino Amane (Tao Tsuchiya), yang menjabat selaku sekretaris menteri lingkungan. 

Semua tampak normal, sampai kita menyaksikan rapat para menteri, yang dipimpin sang perdana menteri, Kan Nishiotachime (Toshiyuki Nishida). Tidak mengejutkan kala Satoshi Miki menjadikan pertemuan tersebut sebagai cara mengkritik ketidakmampuan pemerintah menanggulangi krisis. Di ranah film kaiju, Shin Godzilla (2016) pun melempar satir politik serupa.

Kejutannya terletak pada luar biasa konyol pendekatan Miki terhadap satirnya. Para menteri bertingkah bak orang bodoh minim kewarasan, saling melempar kesalahan, gampang terdistraksi selama diskusi, pun senantiasa keliru mengatur prioritas. Ketimbang memikirkan potensi ledakan gas mematikan dari bangkai kaiju, mereka memilih membahas "Apakah bangkainya berbau seperti kotoran atau muntahan?", hingga memusingkan harus memberi nama apa untuk bangkai itu. 

Sebenarnya sah saja memotret politikus layaknya figur-figur tolol sebagai wujud kritik. Kubrick melakukannya di Dr. Strangelove (1964). Sayangnya Miki terkesan lebih ingin membuat filmnya seabsurd mungkin, daripada mengolah keabsurdan itu guna menajamkan satirnya. 

Ya, What to Do with the Dead Kaiju? adalah tontonan absurd. Jelas bukan produk paling absurd dari sinema Jepang, tapi cukup untuk membuat trailernya tampak bak clickbait yang menipu. Sesungguhnya kita telah diperingatkan, kala posternya menampilkan bangkai kaiju dalam posisi mengangkang seolah siap berhubungan seks (belum termasuk penis joke yang menanti di belakang). 

Tipe film macam ini sejatinya berpeluang tampil amat menghibur lewat deretan kebodohannya. Beberapa sentilan harus diakui cukup cerdik, misal kala perdana menteri berkata, "Kita harus melindungi hak masyarakat untuk tidak mengetahui fakta", atau keputusan memberi nama "Hope" alias "harapan" ke bangkai monster, yang acap kali memunculkan kalimat bermakna ganda sebagai cara meledek politikus ("Waktunya membuang harapan", "Kita harus segera membuang harapan", dll.). 

Tapi jika dipandang secara menyeluruh, What to Do with the Dead Kaiju? menyimpan masalah inkonsistensi tone akut. Ada kalanya tampil terlalu serius untuk film bodoh (hubungan Arata-Yukino misal), tapi dipandang serius pun mustahil mengingat banyaknya keabsurdan konyol. Miki pun bukan pencerita ulung. Ditambah penyuntingan buruk, alurnya sangat kacau. Bahkan sempat ada poin di mana penonton bisa jadi akan bingung soal gagalnya suatu rencana membuang bangkai kaiju (clue: bendungan). Miki lebih tertarik mengutak-atik pemakaian gerak lambat tak perlu dalam penyutradaraannya ketimbang mengasah penceritaan. 

Lalu ending-nya. Ending yang mungkin sudah terlintas di kepala penonton, khususnya para penyuka serial tokusatsu, tapi langsung ditampik dengan pemikiran "Ah, mustahil". Ending yang terkesan seperti fan fiction atau malah shitpost, dan justru karena itulah berhasil memberi payoff yang memancing senyum lebar. Keanehannya total. Membantu melupakan fakta kalau talenta Joe Odagiri, yang memerankan Blues, kakak Yukino, disia-siakan.  

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

the gray man belum direview ya bang

Anonim mengatakan...

Gak bagus bagus amat yah

Anonim mengatakan...

film cult classic...keren ini film

Anonim mengatakan...

ending film muncul ULTRAMAN TIGA...film yang bagus