REVIEW - 12 CERITA GLEN ANGGARA

8 komentar

Ada sebuah adegan di paruh akhir yang bertindak selaku momen puncak, ketika dua protagonisnya duduk di atap gedung, di tengah senja. Kamera ditempatkan di posisi close-up, sehingga kita bisa melihat jelas ekspresi mereka. Tiada tangisan mengharu biru, walau terpancar kesedihan. Saya melihat penerimaan di raut wajah keduanya. Menerima datangnya hal yang mustahil dihindari. Sebuah respon dewasa untuk situasi yang tengah dihadapi. 

12 Cerita Glen Anggara, yang diadaptasi dari novel berjudul sama karya Luluk HF, sejatinya diawali layaknya percintaan remaja biasa. Kenaifan, keceriaan, pula konflik sepele. Tapi yang membedakannya dengan judul-judul serupa termasuk Mariposa (film ini berstatus spin-off) adalah, seperti karakternya, seiring guliran waktu pendekatannya semakin mendewasa. 

Di antara teman-temannya, Glen Anggara (Junior Roberts) adalah yang paling kaya. Tapi itu tak menjamin keberhasilan soal percintaan. Iqbal (Angga Yunanda) dan Natasha (Adhisty Zara) berpasangan, begitu pun Rian (Abun Sungkar) dan Amanda (Dannia Salsabilla), sedangkan Glen belum pernah pacaran. Sampai tiba-tiba, Shena (Prilly Latuconsina), senior Glen di SMA, mengajaknya berpacaran. 

Ternyata ajakan absurd itu dipicu oleh kondisi Shena yang mengidap gagal ginjal parah. Umurnya takkan panjang, dan karena itulah Shena membuat daftar 12 hal yang ingin dilakukan sebelum meninggal. Nomor satu adalah berpacaran. Didorong belas kasihan, Glen pun berjanji bakal membantu mewujudkan daftar keinginan Shena. 

Kebanyakan isi daftarnya terkesan sepele. Misal, karena ingin pacaran, Shena ingin Glen menembaknya dengan cara romantis. Berkat adegan drakor yang membuatnya berurai air mata, Glen mendapat inspirasi. Dia membawa bunga ke rumah Shena, berlutut, kemudian mengutarakan cinta. Satu lagi contoh betapa sineas kita masih terjebak stigma soal drakor tanpa banyak menontonnya. Coba sebutkan judul drakor rilisan lima tahun terakhir, di mana karakternya mengutarakan perasaan secara "romantis" (berlutut, memberi bunga, berpuisi, dll.) dalam pengadeganan mengharu biru. 

Tapi kesampingkan itu, dan kita akan mendapati bagaimana naskah karya Alim Sudio menyelipkan perspektif menarik. Kedua belas permintaan tadi sejatinya bukan berfokus pada Shena, melainkan Glen. Alih-alih membuat daftar lengkap sejak awal, Shena "mengarangnya" seiring hubungannya dengan Glen berkembang. Itu pula alasan daftarnya cenderung fleksibel. Di satu titik, Shena memakai jatah permintaan agar Glen membereskan kamarnya. 

12 Cerita Glen Anggara adalah perjalanan coming-of-age Glen. Dia anak keluarga kaya. Sewaktu mengetahui ibu Shena (Alya Rohali) punya dua pekerjaan, Glen merespon "Hobi banget kerja". Glen juga enggan lanjut kuliah karena tak punya impian. Uang orang tuanya membuat Glen merasa aman menjalani hidup. Mewujudkan 12 permintaan Shena memberi Glen 12 cerita yang mengubahnya. Mendewasakan dirinya, menghilangkan ketakutannya. 

Mungkin prosesnya tak sedemikian kompleks, tapi terpenting, bisa dipercaya. Kalau Mariposa berlatar masa SMA, 12 Cerita Glen Anggara berlatar sebuah fase di mana remaja mulai mengalami transisi. Apalagi pasca segala permasalahan yang Glen alami, pendewasaan pun wajar terjadi. 

Nantinya, secara bertahap, pendekatan film ini turut bertambah dewasa, namun secara keseluruhan masih tersaji ringan layaknya film remaja. Salah satunya melalui humor. Favorit saya adalah setiap ayah dan ibu Glen (diperankan Marcellino Lefrand dan Imelda Therinne) menyikapi polah si putera tunggal. Menggelitik, tapi menyaksikan figur orang tua suportif seperti mereka pun menghadirkan kehangatan. 

Terkadang cara 12 Cerita Glen Anggara memantik emosi kurang sukses. Misal sewaktu pertama kali mengunjungi rumah Shena, Glen mendengar kisah hidup menyakitkan sang gadis. Sebagai "alat bantu", kita diajak melihat beberapa foto dari masa lalu, termasuk foto Shena terbaring lemah di ranjang rumah sakit ditemani kedua orang tuanya. Keluarga mana yang memajang foto seperti itu di ruang tamu? 

Tapi sekali lagi, tatkala pendekatannya menyentuh ranah lebih dewasa, dampak emosi mampu dihadirkan. Secara khusus saya menyukai momen makan malam Glen dan Shena. Melalui naskahnya, Alim Sudio menggali gejolak perasaan yang jujur. Glen yang tegang menghadapi makan malam perdana, Shena yang kewalahan oleh kemewahan berlebih. Sedangkan di kursi penyutradaraan, Fajar Bustomi menjaga agar presentasi emosinya tidak manipulatif. 

Bukan berarti tanpa dramatisasi, hanya saja sesuai kebutuhan. Contohnya pemakaian musik yang cukup membantu, entah lagu Luka Kecil, maupun Anugerah Terindah yang Pernah Kumiliki (untungnya memakai versi orisinal, bukan cover akustik kesukaan para pemuja senja atau langganan minimarket). 

Akting dua pemeran utama ikut berjasa menyampaikan rasa. Junior tampil likeable, sementara Prilly pintar mengatur luapan emosi. Dia tidak selalu meledak-ledak. Ada kalanya amarah atau kesedihan ditekan oleh senyum pilu. Bukan sebuah kepalsuan, tapi karena baik aktirs maupun karakternya telah melalui pendewasaan. Prilly sebagai pelakon yang makin matang, Shena sebagai individu yang sudah menerima segala kondisinya. 

8 komentar :

Comment Page:
Fradita Wanda Sari mengatakan...

Awalnya ga tertarik nonton ini, tapi kayaknya aku bisa relate banyak dari filmnya. Mau nonton jadinya T_T

Aunul Hakim mengatakan...

Wahh kalo gitu ceritanya mirip fillm 7 Misi Rahasia Sophie ya. Bedanya di film itu kondisi si cewek baru diketahui di pertengahan cerita.

Anonim mengatakan...

Bang mau nanya film orphan 2 jadi gak tayang disini harusnya tayang Jumat kemarin :(

Anonim mengatakan...

ORPHAN 2 yang bajakan udah ada yang bluray... Bioskop Indonesia harusnya nayangin dari dulu...

Rasyidharry mengatakan...

Aslinya di Indonesia 26 agustus. Tapi kemungkinan mundur jadi 31 agustus or 2 september. Tapi fix tayang

Anonim mengatakan...

Makasih bang infonya, saya mikir film ini gak jadi tayang gara2 udah rilis streaming

Anonim mengatakan...

layarnya drop drastis alias film 12 cerita glen anggara tayang sedikit di bioskop..

Anonim mengatakan...

Setelah menonton ni pelem, baru deh baca review lo. Saya suka reviewmu bro, pov.mu unik, kritis tapi asyik.