REVIEW - BULLET TRAIN

2 komentar

Dunia penuh pembunuh bayaran eksentrik, aksi stylish, estetika warna-warni. Sampai sekarang kombinasi itu masih diminati, walau dibanding pertengahan hingga akhir 2010-an, excitement-nya mulai menurun lantaran pemakaian yang begitu sering (entah bernuansa machismo atau feminis). Fenomena tersebut tidak lain dipicu oleh kesuksesan John Wick (2014). 

Delapan tahun berselang, David Leitch, yang merupakan satu dari dua sutradara John Wick (tidak mendapat kredit akibat terbentur aturan DGA), kembali menangani kisah mengenai para pembunuh, selepas berpetualang membuat deretan blockbuster seperti Deadpool 2 (2018) dan Hobbs & Shaw (2019). Tapi Leitch kembali tak cuma untuk mengulangi, melainkan memodifikasi. 

Bullet Train, selaku adaptasi novel Maria Beetle karya Kotaro Isaka, memang tampil beda. Bukan hanya karena berlatar di Jepang (tepatnya dalam Shinkansen), juga terkait penanganan kisah, serta bagaimana Leitch mengemas filmnya bak kartun yang menolak bersikap terlampau serius. 

Setidaknya pasca memasuki pertengahan durasi, sebab Bullet Train dibuka dengan cukup kelam, kala Yuichi Kimura (Andrew Koji) mendapati puteranya dalam kondisi kritis akibat didorong dari puncak gedung oleh sosok misterius. Ayah Yuichi (Hiroyuki Sanada) menyalahkan sang putera yang dianggap lalai melindungi anaknya. Mendadak nuansa kelam itu berubah 180 derajat, ditandai oleh diputarnya lagu Stayin' Alive. Saking mendadaknya, kalau tidak ada title card mungkin saya bakal mengira filmnya terkena gunting sensor.

Perubahan tadi turut membawa kita memasuki Shinkansen yang melaju dari Tokyo ke Kyoto, di mana beberapa pembunuh berkumpul guna melakoni berbagai misi berbeda, tanpa menyadari kehadiran masing-masing. Semua punya kode nama, termasuk Yuichi (The Father) dan ayahnya (The Elder). 

Jagoan kita adalah Ladybug (Brad Pitt), yang berlawanan dengan kode namanya, selalu dihantui kesialan (ladybug alias kepik identik dengan keberuntungan), dan belakangan mendapat "pencerahan" sehingga menolak membawa pistol di tengah misi. Misi Ladybug sekilas sederhana, yakni mencuri koper berisi uang tunai milik penumpang. Sesekali ia diberi instruksi lewat panggilan suara oleh handler-nya, Maria (Sandra Bullock). Saya sebut "sesekali", karena obrolan keduanya lebih sering terdengar bak banter antar teman, khususnya saat Ladybug berkali-kali mengeluh soal tingkat kesulitan misi, sembari berkelakar tentang jalan hidupnya yang baru.  

Misi Ladybug jadi tidak sederhana saat terungkap bahwa koper itu rupanya kepunyaan kakak-beradik pembunuh bayaran, Lemon (Brian Tyree Henry) dan Tangerine (Aaron Taylor-Johnson). Lemon dan Tangerine bertugas membawa uang tersebut, sekaligus mengawal putera White Death (Michael Shannon), pemimpin organisasi paling ditakuti. 

Interaksi Lemon-Tangerine, dua pembunuh yang sibuk membicarakan Thomas the Tank Engine, mengingatkan ke obrolan dalam film Quentin Tarantino atau Guy Ritchie. Bisa dibilang "versi murahnya", sebab Zak Olkewicz selaku penulis naskah tak diberkahi kemampuan merangkai dialog menggelitik yang cerdas nan menarik seperti Ritchie (apalagi Tarantino).

Butuh waktu hingga Bullet Train menemukan pijakannya. Seiring waktu, film ini mulai membentuk identitasnya sendiri. Bukan "just another stylish assassin movie", bukan pula replika kelas dua dari karya Tarantino/Ritchie. Bullet Train adalah...well, Bullet Train. Sebuah spektakel yang semakin tampil berlebihan, semakin menghibur. 

Jumlah pembunuh yang diperkenalkan bertambah. The Prince (Joey King) yang sadis meski berpenampilan bak gadis remaja polos, The Wolf (Benito A. Martinez Ocasio) si pembunuh dari Meksiko yang dikuasai hasrat balas dendam, hingga The Hornet (Zazie Beetz) si ahli racun. Beberapa cameo pun turut memperkaya jajaran cast-nya. Nantinya mereka semua bakal berurusan dengan Ladybug, menambah pelik masalah si "pembunuh insaf", yang mayoritas didasari kesalahpahaman. 

Jangan kira konfrontasi antar pembunuh di sini merupakan peristiwa menyeramkan. Tokoh-tokohnya mungkin terbiasa merenggut nyawa, tetapi kekonyolan juga bagian jati diri mereka. Kekonyolan itu tak melucuti karisma, sebab kita dibuat percaya bahwa para pembunuh ini sangat berpengalaman, sampai bisa menghadapi situasi berbahaya sambil bercanda. 

Kemudian terjadi kematian pertama dalam kereta, yang menggiring kisahnya merambah area whodunit. Bukan whodunit cerdas, namun cukup memberi penyegar bagi subgenre yang mulai mengalami saturasi. Benang merah antar tiap konflik dipertemukan oleh sebuah twist, yang di atas kertas terdengar ruwet, tapi naskahnya mampu merangkai itu supaya mudah dipahami.

Humornya senantiasa tepat sasaran berkat jajaran pemain, yang nampak bersenang-senang membawakan karakter mereka yang penuh warna. Termasuk Brad Pitt, yang meneruskan arah karirnya di beberapa tahun terakhir, dengan memarodikan citra alpha male tangguh miliknya. Sangat menyenangkan, setelah film usai, saya terkejut mengetahui durasinya mencapai 126 menit. 

Sebagai sosok yang melakukan debut penyutradaraan melalui John Wick sekaligus veteran di bidang stunt (termasuk menjadi stunt double Brad Pitt di lima film), kapasitas Leitch mengarahkan aksi tak perlu diragukan lagi. Keunggulan utama Bullet Train terletak pada kejelian sang sutradara memanfaatkan lorong-lorong kereta, sembari memakai bermacam benda sebagai alat bantu terciptanya pertumpahan darah (yes, this is a pretty bloody movie), dari boneka, botol minuman, sampai seekor ular. 

Di banyak film aksi Hollywood, seluas apa pun latar tempat yang dipakai, kerap muncul batasan-batasan yang dibuat sendiri akibat minimnya keterampilan sineas. Penyuntingan cepat yang manipulatif sering jadi jalan mengakali lemahnya penyutradaraan. Leitch sebaliknya. Latar boleh sempit, tapi kemampuannya amat luas. Setiap baku hantam di Bullet Train terlihat jelas, koreografi yang disusun sedemikian rupa jadi tak sia-sia. Ketika akhirnya Leitch berkesempatan menghilangkan batasan-batasan tadi dalam set piece besar di akhir durasi, ia pun menggila, lalu membawa filmnya "keluar jalur". 

2 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

film yang menghibur...jangan cepat cepat keluar ruangan bioskop, tunggu dulu...tunggu karena ada tambahan aksi plot twist yang keren banget

Bosimetal mengatakan...

Great Post! Thanks for sharing such beautiful information with us. Please keep sharing.