REVIEW - MAD GOD

1 komentar

Is God a sadist? Entahlah, tapi jika Tuhan eksis dalam dunia rekaan Phil Tippett ini, maka jawabannya "Ya". Mulai dibuat lebih dari 30 tahun lalu, tepatnya pasca Tippett selesai menjalankan tugas di Robocop 2 (1990), seperti judulnya, Mad God adalah semesta gila tempat para pencipta dan penguasa berperilaku layaknya maniak kejam yang menikmati sadisme. 

Mad God tampil tanpa dialog maupun konteks. Kita langsung diajak menemui sosok tinggi besar dengan wajah tertutup masker gas. Sosok yang dipanggil "The Assassin" itu tengah menjalankan sebuah misi. Apa misinya? Ke mana destinasinya? Kita tidak tahu pasti. 

The Assassin memasuki (atau tepatnya menuruni) dunia bak neraka yang terdiri atas beberapa tingkat. Setiap tingkat menampilkan makhluk-makhluk berbeda, yang mendapat siksaan berbeda pula. Di sebuah ruangan mirip laboratorium, The Assassin menemukan seekor kera terikat di meja operasi. Kera itu meminta tolong, tapi The Assassin berlalu pergi. 

Peristiwa serupa terulang kala ia mencapai tingkat berisi sosok-sosok tak berwajah yang jadi korban kerja paksa. Mereka terlindas kereta, dibunuh oleh deretan monster yang lebih kuat, tapi tak ada yang peduli. Semua seperti rutinitas belaka. Salah satu dari mereka mengharapkan bantuan untuk bisa kabur, namun sekali lagi, The Assassin berlalu pergi. Walau kali ini sempat meragu.  

The Assassin menyadari kekejian di sana, tapi memilih menomorsatukan misi. Sikapnya bak masyarakat kita, yang dengan alasan "bukan urusan saya", menolak bertindak saat mendapati ketidakadilan. Semakin jauh The Assassin menuruni dunia tersebut, semakin peta yang dibawanya mengecil. Mungkin setelah menyaksikan pemandangan-pemandangan mengerikan tadi, ia mulai meragukan tujuannya. Tapi apa guna keraguan tanpa tindakan?

Tidak butuh waktu lama untuk menyadari kesempurnaan medium animasi bagi Mad God. Animasi mewadahi keliaran imajinasi Tippett, yang meski tidak perlu diragukan, mengingat dialah orang di balik animasi serta efek spesial dalam Robocop, Jurassic Park, Starship Troopers, juga trilogi orisinal Star Wars (lupakan keterlibatannya di empat judul Twilight), tetap mengagumkan. Mad God tampil layaknya proses katarsis seseorang yang jengah, karena merasa Tuhan membiarkan dunia ciptaannya menggila. 

Penggunaan stop motion pun memfasilitasi hadirnya dunia immersive, berkat segala detail teksturnya. Menariknya, film ini turut menyertakan teknik live action. Salah satunya ketika kita bertemu Last Man (Alex Cox), dalam sekuen yang memberi titik terang soal latar belakang The Assassin. Sayang, visual live action-nya tidak sekuat animasi, dengan tampilan tak ubahnya b-movie yang berusaha keras tampak stylish.  

Walau visual disturbing-nya memukau, ada fase di mana kekejaman tanpa ujung yang Mad God sajikan mulai terasa melelahkan, terutama akibat ketiadaan ikatan emosional. Ibarat diharuskan memakan hidangan favorit tiga kali sehari, setiap hari, selama sebulan penuh.  Kenikmatannya pelan-pelan berkurang. 

Alurnya menyimpan sebuah pola berulang, di mana mereka yang kuat menindas yang lemah. Bayangkan rantai makanan, tapi ketimbang proses makan-memakan, yang terjadi adalah penyiksaan keji. Para penguasa di sini digambarkan tanpa nurani, menikmati kematian dan siksaan. Mereka menciptakan, tapi enggan melestarikan, membiarkan ciptaannya itu kembali menemui kehancuran, atau malah berkontribusi pada kehancuran tersebut. 

(Shudder)

1 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Sekilas bacanya Mad Dog😂