REVIEW - BEFORE, NOW & THEN

13 komentar

Bersama kakaknya, Ningsih (Rieke Diah Pitaloka), Nana (Happy Salma) membawa bayinya kabur untuk lari dari kejaran para "gerombolan". Tidak dijabarkan secara pasti identitasnya, tapi mengingat latar 40-an yang dipakai, kemungkinan mereka adalah gerilyawan. Pemimpin "gerombolan" ingin menikahi Nana, kemudian membunuh ayah Nana saat mendapat penolakan. Sang suami (Ibnu Jamil) menghilang dan diyakini telah tiada. 

Mengadaptasi bab pertama dari novel Jais Darga Namaku karya Ahda Imran, Before, Now & Then menjabarkan bahwa sekalipun penjajah bangsa sudah tumbang, penjajahan terhadap perempuan belum juga hilang. Kamila Andini kembali menyuarakan kegelisahan serta perlawanan. Bukan melalui teriakan, melainkan perenungan.

Peristiwa di paragraf pertama merupakan bagian "before", sedangkan "now" mengajak kita melompat ke 15 tahun pasca pelarian protagonisnya. Nana menikahi Lurah Darga (Arswendy Bening Swara) yang jauh lebih tua, dikaruniai beberapa anak, hidup makmur secara finansial. Walau demikian, kebahagiaan tak nampak di wajahnya. Ada gejolak yang ia pilih untuk pendam. Sewaktu puterinya, Dais (Chempa Puteri), bertanya mengapa perempuan yang sudah menikah menyanggul rambut panjang mereka, Nana menjawab, karena istri harus menyimpan rahasia di balik konde. Sampai kapan rahasia bisa disembunyikan? Haruskah menunggu hingga jadi borok? 

Begitu kukuh Nana memegang prinsip itu, satu-satunya tempat di mana ia bisa jujur adalah mimpinya. Nana bermimpi soal kematian sang ayah, penculikan suami pertama, masuknya seekor sapi ke dalam rumah, juga kedatangan sosok gadis muda misterius (Arawinda Kirana), yang jati dirinya baru diungkap di babak "then". Masa lalu yang belum tuntas terus menghantui Nana, sedangkan masa depan masih sulit ia raba. 

Nana menghadapi beragam hal, termasuk komentar pedas dari ibu-ibu sekitar mengenai latar belakangnya. Inilah keunggulan Kamila dalam menyampaikan isu empowerment. Dia melawan sembari berpijak pada realita. Di Yuni ia membuka mata atas realita hidup perempuan desa (satu hal yang kerap dikritik aktivis kota yang melupakan privilege mereka), sementara di sini, Kamila tak menutup mata soal fakta kalau perempuan juga bisa menghalangi jalan kemerdekaan perempuan lain.

Tapi masalah yang paling menusuk hati Nana adalah ketika mengetahui suaminya berselingkuh dengan Ino (Laura Basuki), seorang penjual daging di pasar. Di sinilah Kamila menampilkan kejeliannya mengolah kisah empowerment. Ketimbang langsung mengonfrontasi Ino, Nana sekali lagi memilih memendam sakit hati. Seiring keduanya saling mengenal, justru tumbuh pertemanan di antara mereka.

Before, Now & Then bukan cerita dua perempuan berebut pasangan, sebab Nana dan Ino lebih membutuhkan kehadiran sesama perempuan dibanding laki-laki. Nana yang tadinya memproses kegelisahan seorang diri dengan hanya ditemani sebatang rokok, sekarang membagi rokok itu, sebagaimana ia membagi kegelisahannya. 

Dua momen secara bergantian menangkap hubungan Nana-Ino. Pertama kala Ino turut serta saat Nana sekeluarga bertamasya. Ino membuka mata Nana akan kebebasan dalam sebuah momen uplifting yang melibatkan sungai. Menyusul kemudian adalah momen dengan suasana berbeda. Lebih kontemplatif. Nana dan Ino merokok berdua, saling berbagi rasa di malam yang sunyi. 

Pengarahan Kamila kali ini, khususnya di fase konklusi, mungkin tak sesukses Yuni dalam hal "mempercantik emosi", namun bisa dilupakan berkat keberadaan dua momen di atas. Ditambah lagi kombinasi mumpuni Happy Salma dan Laura Basuki. Happy Salma dengan "kekuatan dalam diam" yang penuh kehormatan, sementara Laura Basuki (menyabet penghargaan Silver Bear untuk penampil pendukung terbaik di Festival Film Internasional Berlin) mendefinisikan arti kata "supporting". Dia bersinar tanpa mencuri sorotan penampil utama. Karakternya benar-benar jadi pendukung proses yang protagonisnya lalui. 

Before, Now & Then juga jadi presentasi artistik memukau. Pemakaian lagu Sabda Alam memang terlalu gamblang, tapi scoring buatan Ricky Lionardi tak hanya cantik, pula sempurna mewakili sisi elegan karakter utamanya. Bukan cuma pemakaian musik, Kamila juga menyelipkan beberapa bentuk kesenian lain, yang berfungsi menciptakan potret sebuah era. 

Peleburan scoring dan visualnya (gerak lambat, desain properti cantik, mise-en-scène estetis) bakal memunculkan komparasi dengan karya-karya Wong Kar-wai, dan biarpun tidak keliru, saya lebih suka menyebutnya "Bahasa Kamila Andini". Sebuah bahasa cantik yang menegaskan bahwa diam bukan berarti menyerah, bahwa bisikan dapat terdengar lebih lantang ketimbang teriakan.

(Prime Video)

13 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Kalau harus dibandingkan Bang Rasyid lebih suka Yuni atau ini?

Anonim mengatakan...

Berharap si nana ama ino ciuman gitu hhh

Anonim mengatakan...

Ini bakalan tayang dibioskop kan bung

Rasyidharry mengatakan...

Masih Yuni. 2nd best lah ini

Rasyidharry mengatakan...

Nggak, soalnya udah rilis eksklusif di prime video buat launching kerja sama di Indonesia

Anonim mengatakan...

Kandidat kuat Piala Citra bang?

Rasyidharry mengatakan...

Bisa nominasi film terbaik, sutradara, aktris, aktris pendukung, musik, tata kamera, skenario adaptasi, tata artistik

Anonim mengatakan...

Ditunggu gan, review pengabdi setan 2,siap siap bakalan rame dikolom komentar kyk reviews pengabdi setan 1 dulu hehe

Anonim mengatakan...

Masih ada aja ya, komen gak lucu yg Out of Topic (nyuruh2 review ini itu) saat Rasyid lagi membahas sebuah film

Anonim mengatakan...

Visualnya cantik sekali untuk film ini, hanya part yang terasa 'kurang' akting Happy Salma merokok, masih terlihat ia bukan perokok. Mungkin sepele tapi jadi kurang grrr.

Anonim mengatakan...

Laura Basuki ..geulis dan syantik paripurna,makin
ngepans euy sama doi

Rasyidharry mengatakan...

Nah, masalahnya belakangan ini banyak juga "social smoker" yang ngerokoknya juga gitu. Tapi nggak salah, emang bisa lebih oke lagi soal ngerokok itu

Anonim mengatakan...

Gw nonton yg gak ada teks bahasa Indonesia-nya... Jadinya meraba-raba cerita... 😂