REVIEW - NO BEARS
Pada 11 Juli 2022, sekitar dua bulan selepas No Bears menyelesaikan fase produksi, juga dua bulan sebelum filmnya diputar secara perdana di Venice International Film Festival, sang sutradara, Jafar Panahi, ditangkap lalu dijatuhi hukuman enam tahun penjara. Bukan kali pertama ia mengalami itu. Masih teringat jelas ketika This Is Not a Film (2011) disembunyikan dalam kue ulang tahun agar bisa diputar di Cannes Film Festival.
No Bears masih meninggalkan jejak-jejak khas Panahi. Sentilan terhadap pemegang otoritas, hingga pembauran fiksi dengan realita. Tapi jika biasanya Panahi masih mencari cahaya harapan, No Bears berbeda. Kita melihat sang maestro yang lebih sesak, lebih jengah, lebih marah, juga lebih tidak berdaya. Panahi seperti berada di ambang kesabaran, namun meyakini bahwa perlawanan apa pun yang ia beri takkan membawa hasil.
Panahi memerankan versi fiktif dirinya, yakni sutradara yang mendapat larangan membuat film di Iran. Dia tak kehilangan akal. Panahi menyewa rumah di desa dekat perbatasan, memonitor produksi lewat panggilan video, sementara krunya melakukan pengambilan gambar di Turki. Bukan perkara mudah akibat sulitnya sinyal internet di sana. Panahi bisa saja tetap tinggal di Tehran, tapi mungkin begitulah konflik psikis sang sineas. Begitu ingin ia pergi demi kebebasan berkarya, namun kekangan pihak berwenang, sekaligus kecintaan pada tanah air menahannya.
Tapi toh intinya proses tetap berjalan. Bahkan Panahi sempat meminta pemilik rumah yang ia sewa untuk merekam video di sekeliling desa. Sejak gesekan dengan pemerintah yang berujung pada berbagai larangan serta penahanan, Panahi telah membuat lima film (termasuk No Bears). Tidak ada yang dapat menghentikannya berkarya. Semua orang membantu Panahi merekam.
Film yang Panahi buat adalah soal pasangan suami istri yang menanti paspor palsu agar bisa pindah ke Prancis. Lambat laun batasan antara realita dengan fiksi di film itu mulai memudar, seiring dengan makin derasnya kritik yang Pahani lempar.
Seperti biasa, Panahi membawa penonton menuju perjalanan yang mengalun pelan, terkesan remeh di awal, sebelum akhirnya menampakkan taring tanpa kita sadari, kemudian mencengkeram lewat tuturannya. Timbul masalah di desa. Para warga menuduh Panahi mengambil sebuah foto yang wajib ia serahkan. Panahi menyangkal, tapi tuduhan menolak berhenti. Seorang pemuka desa berkata bahwa ia menghargai Panahi, meyakini keberadaan sang sutradara membantu kemakmuran desa, dan sama sekali tak berniat mengganggu apalagi mengusirnya. Tapi kenapa ia terus menekan dan mengantagonisasi Panahi?
Tidak sulit menebak bahwa desa tersebut merupakan cerminan wajah pemerintah Iran. Fakta bahwa Panahi memerankan diri sendiri membuat No Bears tampil bak katarsis. Inilah ledakan unek-unek penuh kekesalan Panahi. Metaforis, namun blak-blakan. Betapa para pemegang otoritas nampak sangat bodoh kala menegakkan hukum yang tak kalah konyol jadi salah satu yang diluapkan.
Mencapai konklusi, Panahi makin tak menahan diri, menyuguhkan tragedi menyesakkan yang mendorong kemarahan sang sutradara (dan penonton) mencapai puncak. Lalu saya teringat sebuah adegan saat Panahi bertemu seorang warga yang bercerita mengenai keberadaan seekor beruang yang meneror seisi desa di malam hari. Sebagaimana telah diperlihatkan judul filmnya, beruang itu sesungguhnya tidak ada. "Our fears empower other", kata si warga. Sewaktu last shot-nya memperlihatkan Panahi menarik rem tangan mobil secara spontan, di situlah Panahi melontarkan keengganan dikontrol oleh ketakutan.
(JAFF 2022)
1 komentar :
Comment Page:dimensi antara sebuah karya dan rezim politik
Posting Komentar