REVIEW - YANG PATAH TUMBUH, YANG HILANG BERGANTI

3 komentar

Bukan karakternya saja yang jago menari, sebagai film, Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti pun menari-nari di perbatasan. Batas antara sinema komersil dan alternatif. Tarian itu sayangnya dilakukan sambil malu-malu dengan gerakan penuh rasa ragu.

Berlatar sebuah hotel tradisional di Solo, kita berkenalan dengan sang pemilik, Yasmin (Clara Bernadeth), yang mewarisi tempat itu dari mendiang ibunya. Pamannya, Darto (Donny Damara), setia membantu meski belakangan kondisi fisiknya menurun. Darto ibarat figur ayah bagi Yasmin. 

Lalu kejutan datang. Hardiman (Indro Warkop), ayah Yasmin yang telah bertahun-tahun pergi tanpa kabar, mendadak pulang. Kondisinya tidak baik-baik saja akibat gejala alzheimer yang merenggut ingatan Hardiman. Seorang dokter berkunjung untuk memeriksa, kemudian menjelaskan seputar alzheimer. Dia sebutkan bahwa down syndrome merupakan salah satu penyebab. Apa perlunya informasi itu di saat Hardiman jelas bukan pemilik down syndrome? Mungkin naskahnya menyalin hasil pencarian Google apa adanya. 

Yasmin terjebak dilema. Di satu sisi ia memendam rindu, mengingat masa-masa diajari menari oleh Hardiman yang mantan pelakon wayang orang, namun sakit hati akibat ditinggalkan menghalanginya untuk mendekap sang ayah. Di bawah pengarahan Herwin Novianto (turut menulis naskah bersama Gunawan Raharja), pergolakan hati Yasmin dipaparkan tanpa harus diisi ledakan emosi berlebihan. Herwin berniat menghanyutkan penonton, bukan mengguncang. 

Tempo lambat diterapkan, beberapa bloking ala pertunjukan panggung pun sesekali digunakan agar performa tiap cast lebih menonjol. Sewaktu mengucapkan kalimat penting, karakternya akan berdiri, kemudian diberi "sorotan". Kalau di panggung yang menyoroti adalah lampu, di sini kamera (terutama close-up) yang berperan. 

Jajaran pemainnya mampu menangani gaya pengadeganan tersebut. Donny Damara dengan sorot mata yang menyimpan luka terselubung, Indro makin memantapkan transformasinya sebagai aktor dramatik di beberapa waktu terakhir, tapi jiwa film ini jelas Clara Bernadeth. Air matanya mengiris perasaan, bukan bentuk tangis picisan. Salah satu aktris Indonesia yang patut diberi pengakuan lebih. 

Sayangnya, walau diberkahi cast yang dapat mewakili visinya, justru Herwin sendiri yang bak kurang percaya diri pada visi tersebut. Seolah takut penonton kebosanan gara-gara temponya, Herwin mendesain film ini layaknya video klip. Musik nyaris tak pernah berhenti. Sejatinya nada-nada garapan Egi Demas Narawangsa mampu membuai telinga, tapi ketika dipakai terus menerus, kesyahduan yang coba filmnya bangun pun lenyap.

Semestinya yang diberi perhatian ekstra demi menambah dinamika adalah naskah. Sebuah tempo lambat takkan membosankan bila disokong naskah mumpuni. Sebaliknya, bakal membosankan jika naskahnya kosong. Itulah yang terjadi. Andai memiliki tempo cepat pun, Yang Patah Tumbuh, Yang Hilang Berganti tetap akan memelahkan karena penceritaannya memaksa sebuah kisah tipis agar berjalan lebih panjang dari seharusnya melalui momen-momen repetitif.

Ironisnya, fase konklusinya malah tergesa-gesa. Tiba-tiba kisah diakhiri, tiba-tiba twist dilempar, tanpa memberi kesempatan penonton untuk menyerap emosinya. Sangat buru-buru, besar kemungkinan banyak penonton sulit mencerna twist tersebut. Filmnya keliru mengartikan "tidak utuh" sebagai "subtil". 

(JAFF 2022)

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

gila, ndro...

Anonim mengatakan...

Gila Lu Ndro!

Anonim mengatakan...

Ora kuat aku nonton iki. Stop di 20 menit aja.. trlalu bertele tele kelamaan.. membosankan