REVIEW - SHE SAID
She Said adalah film jurnalistik dengan sumber materi teramat penting. Bagaimana tidak? Investigasi dua wartawan The New York Times (yang kemudian diangkat jadi buku nonfiksi) inilah pemantik pergerakan Me Too. Salah satu pergerakan terbesar sekaligus paling berpengaruh dalam beberapa waktu terakhir. Berkatnya, banyak wanita korban pelecehan menemukan ruang bicara.
Mayoritas kursi bioskop pastilah diisi oleh penonton yang "melek film", sehingga paham betul detail kasusnya, kemudian datang sambil berharap disuguhi detail-detail baru. Sayangnya itu takkan ditemukan. She Said sebatas rekap dari sumber adaptasinya, yang bahkan lalai menambahkan nilai sinematik.
Sedangkan bagi para minoritas, alias penonton yang "buta" terhadap kasusnya atau bahkan industri film secara general, bakal melewatkan signifikansi kisahnya. Karena mereka tidak tahu siapa Harvey Weinstein, dan seberapa kuat dia menancapkan kendali di industri Hollywood. Apalagi naskah buatan Rebecca Lenkiewicz (Ida, Disobedience) berhati-hati dalam mempresentasikan status Weinstein, termasuk dengan tidak menampilkan wajahnya. Bisa dipahami. She Said enggan terkesan "membesarkan" si predator.
Dikisahkan, Jodi Kantor (Zoe Kazan) dan Megan Twohey (Carey Mulligan) memulai penyelidikan mereka atas dugaan pelecehan seksual oleh Harvey Weinstein yang telah berlangsung sejak 90-an. Baik pegawai Miramax (rumah produksi bentukan Weinstein) hingga jajaran aktris jadi korban. Gwyneth Paltrow menyumbangkan suaranya, sedangkan Ashley Judd bersedia tampil di depan kamera memerankan dirinya. Sungguh langkah berani.
Pengumpulan data yang Kantor dan Twohey lakukan dipenuhi rintangan. Bukti sulit terkumpul akibat beberapa faktor. Beberapa korban dipaksa menandatangani kesepakatan untuk tak membicarakan pelecehan yang dialami, pun mereka dihantui ketakutan atas risiko intimidasi oleh pihak Weinstein. Apalagi The New York Times tak bisa menyediakan dukungan legal atau perlindungan dalam bentuk apa pun. Sederhananya, mereka sendirian.
Segala amunisi untuk melahirkan tontonan kelas wahid dipunyai film ini. Entah sebagai investigasi jurnalistik intens, atau cerita heartbreaking sekaligus empowering perihal isu gender. Di satu kesempatan, Twohey mendatangi kediaman salah satu korban. Mengetahui maksud kedatangan Twohey, wanita itu menangis, berkata bahwa ia telah menunggu momen itu selama 25 tahun. Banyak materi luar biasa tersimpan dalam filmnya.
Tapi sekali lagi, kita sudah mengetahui hal-hal tersebut. Baik artikel maupun bukunya sudah mencakup segalanya yang perlu diketahui. Eksistensi She Said dapat dijustifikasi selama ia mampu menambahkan nilai sinematik. Sebab sebaik apa pun kualitasnya, karya tulis tetap memiliki batasan. Di sinilah film, selaku medium audiovisual semestinya berperan meruntuhkan batasan tersebut. Peran itulah yang gagal She Said mainkan.
Penyutradaraan Maria Schrader (I'm Your Man) begitu monoton. Jika ada korban memberi penuturan lewat telepon, maka cuma itu yang penonton lihat. Orang berbicara di satu ruangan, orang berbicara melalui panggilan telepon, orang berjalan, orang menyetir, dan deretan aktivitas mundane lain. Schrader hanya menerjemahkan tulisan seadanya, menggunakan pilihan shot generik, yang tak menambah nilai estetika atau dinamika rasa.
Kazan tampil baik, tapi Mulligan adalah motor penggerak yang membantu She Said menemukan pijakan di tengah kurang matangnya pengarahan Schrader. Sebagai Twohey, Mulligan membawa kompleksitas. Seorang jurnalis berdedikasi yang mesti bergulat secara psikis, terjebak dilema antara profesi dan kehidupan pribadi. Gestur serta ekpsresinya adalah wujud kekuatan sejati. Bukan berarti tanpa kerapuhan, namun ia terlalu kokoh untuk dapat dihancurkan olehnya. Dia pantas mendapat film yang lebih baik. Kisah ini, pergerakannya, suara-suara para penyintas, pantas disampaikan secara lebih baik.
2 komentar :
Comment Page:alur film narasi jurnalistik, film keren yang nggak bikin ngantuk
Banyak yg jagoin film ini untuk Oscar 2023, tp di sini cuman dapat 2,5 bintang :D
Posting Komentar