REVIEW - JOYLAND

3 komentar

Mewakili Pakistan di Academy Awards 2023, Joyland membawa gugatan atas paham konservatif. Bukan pemabahasan baru, tapi Saim Sadiq selaku sutradara sekaligus penulis naskah (bersama Maggie Briggs) tidak berhenti di satu pokok persoalan. Dipaparkannya efek domino, di mana kekolotan pikir yang telah mengakar, menciptakan kegetiran demi kegetiran yang berkulminasi pada tragedi. 

Peran gender. Semua berawal dari situ. Haider (Ali Junejo) berasal dari keluarga kelas menengah. Rumahnya diisi oleh sembilan orang. Sang istri, Mumtaz (Rasti Farooq), bekerja di salon sementara Haider tinggal di rumah, bertugas merawat empat puteri kakaknya, walau ia sendiri belum memiliki momongan. 

Fakta bahwa Haider menganggur, pun tak jua memberikan cucu, membuat sang ayah, Rana (Salmaan Peerzada), kerap memandangnya rendah. Sewaktu Haider tak mampu menyembelih seekor kambing, yang akhirnya dilakukan Mumtaz, ayahnya mengeluh, "Kalau begini apa gunanya punya anak laki-laki?". Di mata konservatif penganut patriarki, Haider tentu gagal sebagai laki-laki. 

Walau Mumtaz tak mempermasalahkan situasi tersebut, bahkan nampak bahagia karena ia berpeluang menapaki karir, Haider merasa tersudut. Sampai ia mendapat kesempatan menjadi penari latar di sebuah teater erotis. Meski dibayar cukup tinggi, pekerjaan tersebut tidak bisa disebut "membanggakan". Karenanya Haider mengaku memperoleh posisi manajer pertunjukan. 

Dari sini kita tahu bahwa Haider sejatinya kurang nyaman akan persepsi atas maskulinitas, namun begitu mengakarnya paham pola pikir tersebut membuatnya mengamini, menganggapnya sebagai kebenaran absolut. Sampai ia bertemu dengan Biba (Alina Khan), penari yang bakal ia iringi penampilannya. Biba bukan bintang utama di teater. Jatahnya tampil hanya saat intermission karena dia seorang transgender. Biba dianggap wanita palsu. Tapi Haider mencintai Biba.

Selama sekitar 126 menit, naskahnya menghadirkan paparan yang penuh kompleksitas sebab-akibat. Karena kekolotan ayahnya, Haider mesti mencari kerja. Karena Haider selaku suami bekerja, Mumtaz selaku istri wajib mengalah untuk tinggal di rumah. Karena dipaksa berhenti dari pekerjaan, kondisi psikis Mumtaz perlahan tergerus. Di sisi lain, paham konservatif perihal maskulinitas membuat Haider tak berkesempatan memahami orientasi seksualnya. Andai kondisinya berbeda, takkan ada luka-luka di rumah tangganya.

Sekali lagi masalahnya kompleks, dan Joyland menghadirkan perspektif yang adil. Filmnya enggan menggampangkan dengan memposisikan Haider, Mumtaz, dan Biba, sama-sama sebagai korban kekolotan. Haider menyayangi Mumtaz, tapi interaksi keduanya lebih nampak bak sepasang sahabat ketimbang pasutri. Sahabat yang saling peduli dan mengerti. Sebuah adegan di atap rumah yang dikemas secara manis nan intim oleh Saim Sadiq, membawa dua karakternya dalam obrolan. Segala curahan hati tertuang tanpa ditutup-tutupi. Haider jujur, hanya saja di titik itu ia belum memahami jati dirinya. 

Sedangkan hubungannya dengan Biba adalah wujud kejujuran pasca Haider memulai proses memahami. Interaksi mereka merekonstruksi dinamika gender konservatif. Sewaktu berduaan di atas vespa, Biba duduk di depan, sementara Haider memeluknya erat dari belakang. Kompleksitas bertambah kala suatu momen menyoroti aktivitas seksual keduanya. Saya tidak akan membocorkannya, tapi ketika menonton, kalian akan langsung tahu momen yang dimaksud. Di situlah Joyland memaparkan perbedaan identitas gender dengan orientasi seksual, yang kerapa dipukul rata oleh para intoleran.

Terselip lubang kecil di naskah, sewaktu melempar subplot mengenai Rana dan Fayyaz (Sania Saeed), wanita yang juga tetangganya. Subplot itu menyentil bagaimana Rana yang senantiasa berkoar tentang menjaga kehormatan keluarga malah gagal melakukannya. Pertannyaannya, apakah konservatif intoleran harus bermuka dua untuk bisa digugat pola pikirnya?

Sekali lagi kelemahan di atas cuma lubang kecil bila dibanding pencapaian besar Joyland secara menyeluruh. Progresi emosinya luar biasa. Berangkat dari situasi-situasi sederhana yang tak jarang menggelitik, seiring waktu kisahnya makin mencekik. Klimaksnya, yang menampar sikap diam tatkala menyaksikan individu sedang terluka, tersaji emosional. Ali Junejo tampil dengan kegundahan meyakinkan, senyum simpul Alina Khan di kereta begitu memorable, transformasi bertahap Rasti Farooq amat menusuk, namun klimaks itu jadi panggung Sarwat Gilani yang memerankan Nucchi, kakak ipar Haider. Ledakan emosi Nucchi tidak cuma ditujukan bagi tokoh lain, pula penonton.

Menyusul tak lama kemudian adalah flashback sebelum ending yang makin melengkapi efektivitas filmnya mengaduk-aduk perasaan. Kita diajak berandai-andai, bagaimana jadinya kalau konservatisme tak mengisi hidup karakternya. Judul Joyland diambil dari nama wahana yang dikunjungi Mumtaz dan Nucchi. "Joyland" alias "tanah kegembiraan" bukan merujuk ke tempat karakternya tinggal, melainkan tempat impian mereka, yang berakhir sebagai bunga tidur belaka di tengah jerat kekolotan yang menidurkan harapan. 

(JAFF 2022)

3 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

LGBTQ alternatif fim di dunia hiburan dan kegelisahan suatu emansipasi

Alvi mengatakan...

Satu lagi film propaganda lgbt keknya.

Anonim mengatakan...

Kata psikolog, manusia selalu takut pada sesuatu yg diam2 ada pada mereka dan tutupi jauh di dasar hatinya