REVIEW - SEJARAH KISAH-KISAH YANG MUSNAH
Sejarah kerap (kalau bukan "selalu") terdistorsi. Konon para pemenanglah yang menuliskannya. Kalau yang tercatat saja belum tentu mengandung kebenaran, apa jadinya dengan kisah-kisah yang telah musnah? Apakah terlupakan begitu saja bersama waktu?
Karya terbaru B.W. Purba Negara ini punya judul internasional History of Untellable Tales. Sejarah kisah-kisah yang tak dapat dikisahkan. Tapi toh B.W. tetap coba menyampaikan kisah yang musnah tersebut. Kebanyakan dengan rasa, bukan kata. Karena seperti salah satu monolog di dalamnya, kata melipatgandakan tanda tanya.
Kata-kata memang rancu, terlalu "menggiring", sehingga di film ini, kita dibiarkan merangkai sendiri tuturannya. Menerjemahkan sesuai imajinasi serta pengalaman pribadi. Latarnya di tengah hutan yang terpisahkan danau dengan pusat peradaban. Hanya ada dua manusia. Seorang bocah 3 tahun (Mahakila) dan neneknya (Ayu Laksmi). Si nenek tinggal di hutan sebagai pertapa, sedangkan si cucu menolak pulang ke kota. Sudah seminggu ia di sana.
Hutan tersebut menyediakan segalanya. Nanas, jeruk, hingga cokelat siap dikonsumsi. Di sela-sela semadinya, si nenek mengajari si bocah cara hidup di hutan. Semua bebas dieksplorasi, kecuali satu lokasi keramat yang konon jadi tempat moksa figur dari kerajaan masa lampau. Sesekali kita pun diperdengarkan narasi mengenai pujangga wanita yang dahulu kala menghilang. Satu versi cerita menyebutnya telah moksa, versi cerita lain mengatakan sang pujanggan dibunuh oleh prajurit kerajaan yang menganggap ilmu pengetahuannya mengancam.
Sampai suatu ketika si bocah tergoda memasuki area terlarang, kemudian tersesat. Selepas pencarian yang tak membuahkan hasil, sang nenek lanjut bersemadi. Perspektif logika mungkin bakal mempertanyakan, "Kenapa bukannya mencari pertolongan ke kota dan malah bermeditasi?". Tapi B.W. memang tidak tertarik bermain logika. Naskah buatannya mengolah elemen spiritualisme.
Sejarah Kisah-Kisah yang Musnah menggunakan konsep moksa untuk membicarakan perihal "diri". Bahwa diri manusia terpecah menjadi dua, yaitu raga dan spiritual. Sewaktu tugas di dunia telah usai, manusia dan semesta yang tadinya terpisah secara raga pun menyatu. Menjadi satu bagian yang tak lagi mengenal batasan fisik, ruang, maupun waktu. Lewat konsep tersebut kita pun dapat memahami peristiwa-peristiwa di luar nalar dalam perjalanan si bocah menyusuri hutan.
Paruh keduanya didominasi rutinitas si bocah bertahan hidup di hutan, menerapkan segala hal yang neneknya pernah ajarkan. B.W. pernah mengarahkan mendiang Ponco Sutiyem yang tatkala proses produksi Ziarah (2016) telah menginjak 95 tahun, dan kali ini ia mampu membuat Mahakila yang belum genap empat tahun tampil senatural mungkin. Sang sutradara memang identik dengan versatilitas. Tengok saja empat film panjangnya yang sudah rilis sejauh ini.
Sayangnya kali ini pengarahan B.W. belum sepenuhnya solid. Minimnya upaya eksplorasi estetika membuat perjalanan protagonisnya terasa melelahkan setelah beberapa waktu. Mundane. Repetitif. Terus bergulir jauh setelah menyampaikan poinnya. Mungkin medium film pendek bakal lebih cocok. Penggunaan ambient berlebih yang nyaris tanpa jeda pun berujung mengurangi kesakralan natural dalam atmosfernya.
Film ini jelas bukan konsumsi semua kalangan. Saya suka bagaimana B.W. menganalogikan filmografinya. Ziarah adalah kopi pahit, Doremi & You (2019) adalah es krim, Romantik Problematik (2022) adalah kapucino, sedangkan Sejarah Kisah-Kisah yang Musnah adalah jamu. Sebuah jamu tradisional yang memandang mistisisme tidak dengan kacamata teror, melainkan bagian dari semesta sebagaimana kita para manusia.
(JAFF 2022)
3 komentar :
Comment Page:Waw mantap memang semua analoginya beliau masuk. Dan kebetulan yg dua aku suka memang jenis minuman yg aku suka di real life 😅
Dan kopi pahit yg terbaik,, kebetulan sesuai seleraku
bocah & nenek, alternatif film bagi pecinta film
Posting Komentar