REVIEW - DITTO
Jujur saya sudah melupakan banyak detail Ditto (2000). Memori terkuat justru soal bagaimana Hanya Untukmu (2008) garapan Rizal Mantovani sempat menjiplak posternya, sebelum berganti judul menjadi Ada Kamu, Aku Ada lengkap dengan poster baru. Tapi generasi sekarang pun pasti hanya segelintir yang mengenalnya (kata "Ditto" cenderung mereka asosiasikan dengan lagu NewJeans), sehingga remake buatan sutradara Seo Eun-young ini merupakan bentuk perkenalan ulang yang pas.
Kisahnya mengambil dua latar. Di tahun 2022, Kim Mu-nee (Choi Yi-hyun), seorang mahasiswi sosiologi yang tengah mengerjakan tugas untuk mewawancarai orang asing. Mu-nee mencari narasumber melalui radio amatir miliknya, dan malah terhubung dengan Kim Yong (Yeo Jin-goo), mahasiswa teknik dari tahun 1999 yang sedang mempelajari radio amatir demi mendapatkan hati juniornya, Seo Han-sol (Kim Hye-yoon).
Memindahkan latar masa lalu dari tahun 1979 ke 1999 turut mengubah dinamika kehidupan karakternya. Dampak pasca konflik DMZ berganti menjadi hantaman krisis IMF. Para mahasiswa termasuk Kim Yong, kebingungan menentukan arah masa depan, sedangkan Han-sol, serupa banyak orang saat itu, terhimpit kesulitan ekonomi setelah pabrik sang ayah bangkrut. Bagi keduanya, cinta ibarat suaka, bentuk eskapisme dari pahitnya realita.
Yeo Jin-goo dan Kim Hye-yoon membuat kita ikut merasakan indah dan hangatnya romansa masa muda itu, lewat interaksi manis sekaligus menggemaskan. Kim Hye-yoon patut mendapat pujian khusus, sebab peran sebagai Han-sol membuktikan jangkauan luas aktingnya, yang berlawanan dibanding wanita tangguh di The Girl on a Bulldozer (2022) dan sosok menyebalkan di serial Snowdrop (2021-2022).
Di latar kontemporer, Choi Yi-hyun kembali unjuk gigi sebagai salah satu aktris muda Korea paling menjanjikan, di mana kali ini dia berduet dengan Na In-woo yang memerankan Oh Young-ji, sahabat sekaligus love interest Mu-nee. Walau harus diakui, latar 2022 menyimpan lebih banyak lubang penceritaan. Kebingungan Mu-nee mencari narasumber di era media sosial terasa kurang masuk akal. Naskahnya juga luput menampilkan tahapan berpikir Mu-nee sebelum ia menyimpulkan bahwa radio miliknya bekerja bak mesin waktu. Penerimaan Mu-nee terkesan tiba-tiba dan terlalu mudah untuk suatu perkara di luar nalar.
Setidaknya melalui naskahnya, Seo Eun-young mampu memaksimalkan gagasan utama mengenai "komunikasi beda zaman". Keunikan Ditto, baik versi asli maupun remake, terletak pada dua karakter utamanya yang bukan berstatus pasangan romantis (wajar, mengingat selisih 20 tahun bakal membuatnya canggung, berbeda dengan Il Mare misal, dengan linimasa yang cuma berjarak dua tahun). Kim Yong dan Mu-nee justru saling membantu, bertukar saran demi melancarkan kehidupan asmara masing-masing.
Kecuali kejutan di epilog yang sesungguhnya tidak perlu dan malah memancing beberapa pertanyaan tambahan, Ditto memperlakukan elemen perjalanan waktunya dengan sederhana. Seo Eun-young mengolah kesederhanaan tersebut dengan tepat, untuk melahirkan momen-momen lintas waktu yang efektif memancing senyum, misal ketika Mu-nee membaca pesan yang Kim Yong tuliskan di bilik telepon 20 tahun sebelumnya. Beberapa ha seperti kenangan akan cinta pertama serta gejolak masa muda memang takkan lekang oleh waktu.
(Viu)
1 komentar :
Comment Page:film romantis ala timeline
Posting Komentar