REVIEW - PHANTOM
Phantom tampil layaknya saudara jauh The Handmaiden (2016). Sama-sama penuh intrik spionase berupa penyamaran karakter wanita pada masa pendudukan Jepang di Korea, sama-sama "melokalkan" novel asing (Phantom mengadaptasi Sound of the Wind karya Mai Jia), pula sama-sama memancarkan aura queer, meski untuk yang satu ini, Phantom jauh lebih subtil.
Semakin jauh cerita bergulir, komparasinya semakin kentara. Lee Hae-young seperti merujuk pada textbook pembuatan film seorang Park Chan-wook dalam mengarahkan Phantom. Kisahnya dibuka melalui perkenalan terhadap organisasi anti-Jepang bernama Phantom. Misi utama mereka adalah berniat residen-jenderal yang baru. Berbagai info didapat lewat peran Park Cha-kyung (Lee Hanee), mata-mata yang ditanam dalam departemen komunikasi.
Sebagaimana suguhan spionase kebanyakan, butuh waktu untuk bisa menyesuaikan diri dengan gaya tutur Phantom di paruh awal. Kompleks, penuh karakter yang tak dijelaskan identitasnya, pula informasi yang dibagikan secara setengah-setengah. Ada kalanya, Lee Hae-young yang turut menulis naskah, terlampau pelit membagi eksposisi sehingga menambah kebingungan yang tak diperlukan.
Memasuki second act, barulah Phantom menemukan pijakannya, kala ia beralih menjadi whodunit. Selepas gagalnya percobaan pembunuhan, Kaito (Park Hae-soo) selaku perwakilan militer Jepang, mengumpulkan lima orang yang dicurigai merupakan anggota Phantom, mengurung kelimanya di hotel terpencil, dan memberi mereka waktu 24 jam guna menemukan identitas si mata-mata.
Kelima orang itu adalah: Park Cha-kyung; Junji Murayama (Sol Kyung-gu), mantan anggota kepolisian Jepang berdarah Korea yang terlibat konflik dengan Kaito; Yuriko (Park So-dam), sekretaris residen-jenderal; Cheong Gye-jang (Seo Hyun-woo) si ahli pemecah kode; dan Baek-Ho (Kim Dong-hee), karyawan muda di departemen komunikasi.
Tapi bukankah kita sudah tahu bahwa Cha-kyung merupakan mata-mata? Di situ letak keunikan filmnya. Formula kisah whodunit dibalik. Karakternya berkumpul setelah kasus terjadi, bukan secara kebetulan, identitas pelaku pun sudah diungkap ke penonton. Secara cerdik, naskahnya menyulut pertanyaan-pertanyaan lain di kepala penonton. Salah satunya, "Apakah hanya Cha-kyung seorang mata-mata di tubuh pemerintahan?".
Alhasil, interaksi yang dibangun pun menjauh dari pola whodunit. Tidak ada aksi saling tuduh, tidak ada upaya mengumpulkan petunjuk, dan terpenting, tidak ada figur detektif yang memimpin penyelidikan. Tiap karakter membawa kepentingan masing-masing, sampai satu demi satu rahasia terungkap dengan sendirinya.
Pada paruh inilah DNA Park Chan-wook mulai terasa lewat permainan tempo yang penuh kesabaran, serta bagaimana di pengarahannya, Lee Hae-young mengedepankan penceritaan visual. Di tangannya, Phantom jadi whodunit elegan nan berkelas. Ada kalanya terasa puitis, apalagi karena hampir tiap shot didesain agar menampilkan kesan "kemegahan misterius". Pemilihan warna juga diperhatikan betul, baik di tata artistik, kostum, hingga pencahayaan yang didominasi kombinasi merah dan hijau.
Pencapaian visual itu terus dipertahankan, bahkan setelah filmnya kembali berubah bentuk, kali ini menjadi aksi spionase bertempo tinggi. Aksinya memang masih dijangkiti penyakit soal buruknya kemampuan membidik para penjahat (konflik utama filmnya sendiri dipicu kegagalan menembak, meski bukan oleh antagonis), tapi itu tidak mengurangi fakta bahwa sang sutradara begitu piawai "berganti wajah". Entah aliran pelan whodunit maupun baku tembak seru sama-sama berhasil ditangani.
Visi estetika Lee Hae-young pun tidak tenggelam di tengah selongsong peluru yang terus menumpuk. Tengok pertarungan puncaknya yang secara cerdik dan cantik, mengambil tempat di antara tirai panggung, yang sekali lagi mengawinkan warna hijau dan merah, seolah ingin menciptakan komparasi antara kebaikan dengan keburukan (sebelum Piala Dunia 2002, merah punya konotasi negatif bagi warga Korea Selatan).
Hae-young juga paham, komposisi shot seperti apa yang diperlukan agar protagonisnya terlihat keren. Lee Hanee dan Park So-dam merasakan dampak terbesar dari kelihaian sang sutradara tersebut. Mereka adalah duet maut yang penuh karisma kala mengangkat senjata, pula nampak tangguh saat beradu fisik.
Jajaran penampil lain tak kalah apik. Park Hae-soo senantiasa sempurna menghidupkan figur otoriter, Sol Kyung-gyu terus memancing rasa penasaran mengenai keberpihakan karakternya, sedangkan kehadiran dua cameo (satu aktris yang sudah sangat familiar dan satu musisi yang sedang naik daun) juga mencuri perhatian. Bersama-sama, ensemble cast ini membawa Phantom menjadi "the first great South Korean movie in 2023".
2 komentar :
Comment Page:film keren mengenai arti perjuangan dari bangsa korea hadapi jepang, terbagi dalam 4 babak :
•
babak 1 : prolog, cafe dan teater
•
babak 2 : penginapan di atas tepi laut
•
babak 3 : tragedi dan pengungkapan
•
babak 4 : menuju klimaks
•
film Aksi Detektif SlowBurn Petjah dari sudut pandang mata LGBT dan Hero
sayang babak pertamanya terlalu banyak cakap shg menimbulkan ambigu bahkan ngantuks
Posting Komentar