REVIEW - GITA CINTA DARI SMA

9 komentar

Gita Cinta dari SMA, selaku remake film berjudul sama tahun 1979 yang mengabadikan pasangan Rano Karno dan Yessy Gusman, membicarakan tentang perjuangan. Berjuang secara pintar alih-alih kecerobohan membabi-buta. Juga soal mengorbankan pertarungan demi merebut kemenangan di peperangan. Konteksnya adalah cinta. Tepatnya cinta yang tak direstui. 

Ratna (Prilly Latuconsina) mengagumi sosok Rara Mendut selepas membaca buku pemberian Galih (Yesaya Abraham). Di mata Ratna, keberanian Roro Mendut berdiri mempertahankan prinsipnya begitu mengagumkan. Tapi romansa Rara Mendut dan Pranacitra merupakan kisah tragedi. Bukankah lebih baik memperjuangkan akhir bahagia meski harus melewati penantian sekian lama?

Begitulah gagasan naskah buatan Alim Sudio, yang mengadaptasi novel karya Eddy D. Iskandar. Galih si rakyat jelata, si penjual buku bekas dan rekaman penggalan sang ayah, dipandang rendah oleh ayah Ratna (Dwi Sasono). Jika di versi 1979 perbedaan suku (Jawa dan Sunda) menjadi penghalang, kali ini sekat kelas sosial memunculkan rintangan. Lebih relevan bagi masa sekarang, di mana materi semakin didewakan, termasuk perihal mencari pasangan.

Bukan sebatas itu modifikasinya. Modernisasi Gita Cinta dari SMA juga nampak pada caranya memperlakukan karakter perempuan. Ibu Ratna (Unique Priscilla) dan Ayu (Putri Ayudya), adik ayah Ratna, semua hidup di bawah kediktatoran. Ayah Ratna, si laki-laki, si kepala keluarga, mengontrol segalanya tanpa toleransi, tanpa memberi kesempatan membela diri. Tiga karakter perempuannya cuma punya satu sama lain. 

Ratna paling muda, sekaligus paling meledak-ledak. Prilly menghidupkan figur yang sebagaimana remaja kebanyakan, cenderung berapi-api, menolak berpangku tangan kala mendapati ketidakadilan. Tapi apakah ledakan itu jalan keluar terbaik? Di situlah Ayu berperan. Bertahun-tahun ditekan sikap otoriter kakaknya, Ayu lebih cerdik mengambil sikap. Setelah menghabiskan 2022 dalam beberapa horor buruk, Putri Ayudya mengingatkan kembali bahwa ia salah satu aktris Indonesia paling underrated. 

Titik puncak emosinya terjadi dalam sebuah pertengkaran besar di babak kedua, sewaktu ibu Ratna mengambil tindakan, setelah sepanjang film terkesan pasif dan menuruti segala keinginan sang suami. Pasif bukan berarti pasrah lalu terus berdiam diri. Sang ibu paham kalau ia mesti mengedepankan logika ketimbang membiarkan emosi impulsif berkuasa. Dia bak tameng bagi puterinya. Pun sewaktu karakter yang cenderung pasif akhirnya "bergerak", dibarengi performa kuat Unique Priscilla, dampak yang muncul berlipat ganda. 

Di lingkup percintaan, pengarahan Monty Tiwa sanggup memfasilitasi percikan chemistry dua pelakon utamanya. Bagaimana Galih dan Ratna saling pandang, melempar senyum tanpa perlu bertegur sapa adalah bentuk gestur yang romantis. Mereka memahami isi hati masing-masing walau tidak mengutarakannya secara gamblang. Barisan musik yang Monty gunakan pun menguatkan romantisme itu. Apatis milik Benny Soebardja bakal meninggalkan kesan terdalam, sedangkan saat lagu Galih dan Ratna akhirnya terdengar, dan filmnya sejenak menyenggol ranah musikal, Monty berhasil memancarkan rasa manis ketika dua sejoli menjalin cinta. 

Poin menarik lain dalam romansanya adalah mengenai karakter Anton (Fadi Alaydrus) yang juga menyukai Ratna. Jika Galih cuma bermodal sepeda, Anton mengendarai motor. Tapi Anton bukan lawan cinta Galih. Anton bukan figur yang patut dipertimbangkan. Bukan siswa berprestasi, hanya punya segelintir teman, seksis, tanpa cinta pula. Di mata naskah film ini, sosok seperti Anton cuma pecundang yang tak ubahnya angin lalu belaka, dan saya menyukai keputusan itu. 

Mengambil latar tahun 1980-an, Gita Cinta dari SMA cukup mumpuni menghidupkan kembali masa tersebut. Kostumnya, tata artistiknya, dan setelah sekian lama akhirnya kata "spada" (siapa ada) terdengar lagi di layar lebar. Jajaran pemainnya pun bisa menuturkan kalimat baku tanpa terdengar kaku. Beberapa inkonsistensi masih muncul, terutama dari mulut Dwi Sasono, namun dampaknya tak seberapa mengganggu.

Gita Cinta dari SMA merupakan kejutan. Sebuah produk langka di mana modernisasi dan kesetiaan akan materi asli yang berasal dari masa lalu dapat dipersatukan. Di awal tulisan saya membahas bagaimana Galih dan Ratna terpaksa mengorbankan pertarungan demi memenangkan peperangan. Hasil peperangan itu bakal kita temui di Puspa Indah Taman Hati yang juga rilis tahun ini, semoga dengan kualitas sama baiknya.

9 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Menurut mas Rasyid lbih bagus ini apa Galih dan Ratna versi Lucky Kuswandy?

Anonim mengatakan...

Puspa Indah Taman Hati sekuelnya kah? Belum nonton film ini jadi nggak tau

Anonim mengatakan...

iya sekuelnya...galih ketemu kembaran ratna tp meninggal terus balikan lg sm ratna

Anonim mengatakan...

Review Dear David Netflix ga Bang Rasyid ?

Anonim mengatakan...

gita cinta dari sma, puspa indah taman hati dan galih ratna membuat kita kembali ke masa silam, menarik...

Anonim mengatakan...

Komentator lagi ngobrol dg alter egonya

Anonim mengatakan...

trilogy film masa lampau yang ciamikπŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘πŸ‘

Anonim mengatakan...

Ga meninggal, kok. Ceweknya mundur setelah tau kalo Galih ketemuan lagi sama Ratna

Weka mengatakan...

Jelek film nya