REVIEW - WAKTU MAGHRIB

5 komentar

Waktu Maghrib adalah suguhan horor solid. Berisikan trik formulaik, tapi sentuhan Sidharta Tata (Quarantine Tales) di kursi sutradara mampu menawarkan intensitas di berbagai titik. Soal cara "menangani" tokoh anak pun, dibanding mayoritas horor kita, ia bersedia mendorong batas ke tingkat yang cukup ekstrim. 

Ya, sekali lagi, filmnya solid. Masalahnya, Waktu Maghrib menyimpan potensi jauh lebih banyak lagi. Sebagai horor lokal, ia bisa menjadi produk langka yang tak mengesampingkan penceritaan. Sayang, serupa karakter-karakternya, potensi cerita tersebut ikut tersesat di tengah kegelapan maghrib. 

Latarnya mengambil tahun 2002. Mungkin demi mengesampingkan elemen teknologi, walau menilik lokasi (desa terpencil), karakter (anak kecil), serta arah kisahnya bergulir, latar kontemporer pun takkan jadi masalah. Protagonisnya adalah dua siswa SD, Adi (Ali Fikry) dan Saman (Bima Sena). Saman kerap dianggap bocah bermasalah. Sang kakak, Samiun (Kevin Abani) memukulinya jika lupa mengantarkan madu dagangan, sedangkan Bu Woro (Aulia Sarah) selaku wali kelas berkali-kali menghukum Saman karena sering terlambat. 

Teror mistis mulai hadir sejak Saman dan Adi nekat melanggar anjuran untuk tidak keluar rumah kala maghrib. Mayat berjatuhan, yang kemungkinan punya kaitan dengan peristiwa tragis puluhan tahun lalu yang menimpa Karta (Andri Mashadi), pria misterius yang hidup terasing di pinggiran hutan. 

Satu elemen yang langsung terasa menonjol adalah penggunaan Bahasa Jawa. Bukan seperti deretan film Jakarta-sentris yang karakternya cuma sekelebat memakai Bahasa Jawa lalu sepenuhnya berpindah ke Bahasa Indonesia. Di sini, Bahasa Jawa dominan, pun dengan pelafalan yang memadai dari para pemain. Tidak terkecuali dua aktor ciliknya. Semakin teror menyelimuti desa, semakin luas pula jangakauan akting Bima Sena dan Ali Fikry. 

Seperti telah saya singgung, Waktu Maghrib tidak ragu menempatkan karakter anaknya dalam situasi brutal. Entah mereka membunuh atau terbunuh, bermandikan darah, kehilangan jari, dan lain-lain. Bukan pemandangan yang nyaman bagi sebagian orang, namun urusan mencapai tujuan untuk tampil shocking dengan mendobrak norma, filmnya telah berhasil. 

Terkait teror yang lebih "jinak" alias tanpa darah, Sidharta cukup kompeten membangun antisipasi. Buildup-nya intens. Misal sewaktu Saman berusaha memahami ekspresi ketakutan neneknya. Penonton pun ikut dibuat bertanya-tanya, "Apa arti ketakutan itu? Dari mana sumber terornya? Seperti apa wujudnya?". 

Sayang, hampir semua buildup berakhir mentah akibat payoff lemah berupa jumpscare generik. Ketika darah tak ditumpahkan, para hantu sebatas "setor muka", pula dengan cara minim kreativitas. Mungkin penyutradaraan Sidharta bakal lebih efektif di horor atmosferik bertempo lambat yang tak mengedepankan penampakan. 

Persoalan "buildup kuat, payoff lemah" turut terjadi dalam naskah. Di paruh awal, Waktu Maghrib bakal memenuhi kepala kita dengan ragam pertanyaan. Teori-teori pun bisa jadi berseliweran. Siapa si hantu penebar teror sebenarnya? Sebatas setan yang mengganggu manusia? Arwah penasaran? Apakah si hantu bergerak sendiri, atau dikontrol oleh salah seorang karakternya? Beberapa kejutan, ditambah kehadiran guru baru bernama Ningsih (Taskya Namya) yang memancing kecurigaan, makin menambah rasa penasaran.

Sampai film akhirnya tiba di fase konklusi, kemudian menawarkan jawaban seklise mungkin. Alurnya ibarat politikus yang menawarkan segudang terobosan serta janji-janji inovatif di masa kampanye, hanya untuk bermain aman setelah terpilih. Paruh awal dan akhir bak ditulis oleh orang berbeda. Mungkin saja kenyataannya demikian, mengingat film ini punya empat penulis: Sidharta Tata, duet Agasyah Karim-Khalid Kashogi (Madame X, Badoet, Sunyi), dan Bayu Kurnia. 

Tapi tiada yang lebih mengecewakan dibanding bagaimana Waktu Maghrib luput mengeksplorasi mitos maghrib itu sendiri, yang sebatas berhenti di "jangan keluar saat maghrib, nanti diculik setan". Padahal Jawa menyimpan setumpuk mitos menarik seputar maghrib yang bisa dijamah. Bukannya tidak ada ruang, sebab di banyak titik, alurnya kerap mengalami kekosongan, membosankan, cuma bergerak dari jumpscare satu ke lainnya. Sekali lagi, Waktu Maghrib adalah horor yang solid. Tapi ia seharusnya bisa melangkah lebih jauh dari sekadar "solid".

5 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

gebrakan tahun 2023 benar benar terjadi dengan berdatangan film film horror made in indonesia di layar bioskop tanpa ampun, jelek bagus relatif demi memenuhi keinginan penonton indonesia yang mau tidak mau faktanya suka film horror, termasuk film waktu maghrib ini 30 menit pertama keren banget namun babak akhir belepotan

acungkan jempol dengan pemain anak anak sebagai tokoh utama dalam film ini, penerus generasi film di masa akan datang

Kol Medan mengatakan...

Sidharta tata masih enakan series horrornya

Anonim mengatakan...

film drama anak anak ini melawan film antman Part 3...film indonesia emang keren

Anonim mengatakan...

Waktu Maghrib Jadi Film Indonesia Rilisan 2023 Pertama yang Tembus 1 Juta Penonton!

Anonim mengatakan...

Film jelek dan membosankan gak jelas alur ceritanya, apa yang mau di tonjolkan dari cerita juga gak jelas