REVIEW - HANTU BARU
Dua minggu selepas Perjanjian Gaib, Hantu Baru kembali membuktikan: 1) Membuat horor itu sulit; 2) Membuat komedi itu sulit; 3) Membuat horor komedi jauh lebih sulit. Saking sulitnya, jajaran cast kelas satu pun tak kuasa memberi pertolongan kala naskahnya lebih banyak memancing kesan canggung ketimbang lucu.
"Hantu baru" yang dimaksud di judulnya adalah Sasa (Acha Septriasa), yang jadi korban pembunuhan salah sasaran oleh anak buah pebisnis korup (Donny Damara) yang merupakan pesaing Hadi (Rezky Adhitya), tunangan Sasa. Sasa pun meninggalkan tiga adiknya (Calvin Jeremy, Electra Leslie, M. Adhiyat), menjadi kuntilanak dan.....tidak tahu harus melakukan apa.
Lebih tepatnya, naskah buatan Erwin Wu (Sabar Ini Ujian) dan Hilman Mutasi (5cm, Benyamin Biang Kerok) yang tidak tahu mesti bagaimana memperlakukan status Sasa sebagai hantu baru. Umumnya cerita di atas bakal berujung pada upaya balas dendam si hantu, namun opsi itu tidak digunakan, mungkin demi menjaga tone-nya tetap ringan. Agak "lucu" sebab Sasa mati dibunuh, alias sejak awal filmnya sudah tidak seringan itu. Pun tahun lalu, Mumun yang juga dibintangi Acha, membuktikan kalau elemen balas dendam tetap dapat diterapkan di horor komedi (Praise Lord KKD!).
Sebagai hantu baru, Sasa harus melewati beberapa penyesuaian. Untungnya dia tidak sendiri. Di rumahnya sudah lebih dulu tinggal dua hantu senior, yaitu Bowo (Totos Rasiti) dan Borjong (Arief Didu). Mereka sempat "membimbing" Sasa dengan mengajarinya cara menakut-nakuti manusia. Sebuah situasi yang menyimpan segudang potensi komedik, namun berlangsung sekejap tanpa meninggalkan kesan berarti. Alhasil karakter Sasa pun semakin tidak punya arah.
Acha sendiri nampak kebingungan menghidupkan karakter yang sudah mati. Tidak pernah jelas, apakah ia harus terus-terusan datar, atau boleh menampakkan emosi. Inkonsisten. Nama-nama lain seperti Donny Damara dan Sujiwo Tejo sebagai dukun berusaha membangun identitas pada karakter masing-masing, tetapi penokohan dangkal naskahnya menghalangi tercapainya tujuan tersebut.
Karakter paling menarik justru Nana (Ruth Marini) si ART. Keseimbangan Ruth Marini menangani drama dan komedi merupakan elemen terbaik film ini, meski saya masih berharap sang aktris bisa segera beranjak dari typecast "orang susah". Cukup menyegarkan pula melihat karakter ART mengambil sentral penceritaan alih-alih sebatas muncul sesekali saat penulis naskah ingin mengeksploitasi kenorakannya.
Tapi bagaimana dengan kualitas komedi Hantu Baru sendiri? Beberapa humornya cukup menggelitik, walau lebih banyak yang meleset. Masalahnya, saat gagal mengenai sasaran, daripada sekadar "tidak lucu", kesan cringey yang begitu besar acap kali mengiringi. Saya pun gagal memahami alasan Adink Liwutang (The Underdogs, Sesuai Aplikasi) selaku sutradara memakai efek suara murahan yang telah ketinggalan zaman untuk mengiringi lawakannya.
Cringey, second-hand embarrassment, film ini punya semuanya. Tidak hanya di momen komedik, juga dramatik. Contohnya ketika di bandara, secara tiba-tiba Sasa berlari memeluk Hadi dalam balutan gerak lambat. Peristiwa tersebut makin "mencengangkan" akibat penyuntingan buruk (kerap terasa di sepanjang durasi) yang turut ambil bagian. Naskah buruk, penyutradaraan buruk, penyuntingan buruk. Ya, ini film yang buruk.
3 komentar :
Comment Page:skrip buatan Erwin Wu dan Hilman Mutasi emang goodjob, absurd dan lucu
fakta : menjual film kolor horor lebih laku daripada menjual film bagus tapi nggak laku di bioskop
Hantu Baru kembali membuktikan: 1) Membuat horor itu cuan; 2) Membuat komedi itu nggak cuan; 3) Membuat horor komedi jauh lebih cuan cuan cuan
Posting Komentar