REVIEW - LOSMEN MELATI

4 komentar

Menonton Losmen Melati seperti meminum air keran setelah berlari berkilo-kilo saat siang bolong di tengah musim kemarau. Kita sadar airnya tidak higienis, tapi tetap terasa menyegarkan akibat kehausan dan panas terik matahari. 

Ditinjau dari berbagai sisi, Losmen Melati dipenuhi kekurangan. Tapi di tengah meningkatnya kuantitas horor lokal di bioskop, yang sayangnya tanpa dibarengi peningkatan varian, produksi orisinal pertama Catchplay+ ini harus diakui menawarkan alternatif unik. 

Kisahnya berlatar di Losmen Melati, yang menurut desas-desus adalah tempat terkutuk. Pemiliknya bernama Madam Melati (Alexandra Gottardo), yang cuma dibantu seorang karyawan, Golok (Samuel Panjaitan), dalam mengelola losmen. Sepanjang 98 menit durasinya, kita diajak melihat beberapa orang yang menginjakkan kaki di sana atas berbagai alasan.

Dara (Putri Ayudya) bersama sang suami, Karim (Totos Rasiti), serta puteranya, Gemi (Abirama Putra), menginap semalam selepas nyekar ke makam sang ibu. Maya (Sarah Felicia) dan Rizal (Alexander Wulan) adalah sepasang kekasih yang mencari tempat untuk berhubungan seks. Datang pula dua pencuri (Haydar Salishz dan Ridwan Roull Rohaz) yang berniat merampas barang berharga di losmen. Melalui beragam cara, orang-orang ini bakal dihadapkan pada misteri yang disimpan Losmen Melati. 

Penceritaannya sedikit menyerempet ke format antologi, yang mana wajar, sebab awalnya proyek ini hendak dirilis sebagai serial 10 episode. Transformasi formatnya berjalan tak terlalu mulus. Bukannya tidak ada upaya. Penyuntingan ulang untuk versi baru ini nampak sudah berusaha maksimal, tapi pada dasarnya serial dan film panjang memang jauh berbeda, sehingga penuturannya tetap berantakan.

Dugaan saya ada 4-5 episode yang dipaksa melebur, termasuk flashback terkait latar belakang Melati, yang membawa kita mundur ke tahun 1887,1900, dan 1917. Perjalanan ke masa lalu itu dipecah menjadi beberapa fragmen kecil yang terkadang mengganggu aliran cerita. Dampak serupa pun dapat ditemui di babak ketiga, kala konflik Melati melawan para pencuri dan cerita Maya-Rizal saling tumpang tindih. 

Satu elemen lagi yang kurang berhasil dialihkan ke layar lebar adalah tata suara. Di banyak titik voice over Melati sukar didengar akibat tertutup iringan musik. Ada dua kemungkinan. Pertama, karena mixing yang kurang sesuai, atau kedua, karena voice over tersebut diselipkan belakangan untuk menambal adegan yang mesti dipangkas guna meringkas durasi. 

Saya tetap meyakini Losmen Melati bakal jauh lebih baik sebagai serial. Kesan tanpa arah akibat format episodiknya, penceritaan pun akan lebih rapi tanpa harus berhenti di tengah jalan (Losmen Melati dibagi jadi dua bagian, di mana puncak keseruan masih disimpan untuk sekuelnya). 

Tapi bukan berarti keputusan mengubah format tak bisa dijustifikasi. Layar bioskop adalah tempat sempurna untuk memamerkan departemen visual Losmen Melati, yang juga jadi pembeda utama dengan deretan horor lokal lain. Digawangi oleh duo sutradara Mike Wiluan (Buffalo Boys) dan Billy Christian (The Sacred Riana, Mereka yang Tak Terlihat) yang cenderung mengedepankan prinsip style over substance, film ini memang sedap dipandang.

Terornya tak seberapa mengerikan, dengan masih mengandalkan jump scare generik serta dibumbui segelintir gore, namun setiap kemunculan hantu merupakan panggung pembuktian bagi tim artistik. Desain unik yang mempertemukan mistis khas Indonesia dengan fantasi gelap negara barat mampu dihidupkan oleh efek praktikal mumpuni, juga CGI yang cukup solid. 

Tendensi Mike Wiluan melempar referensi ke film-film Hollywood pun memegang peranan penting. Losmen Melati yang nampak bak Bates Motel dari Psycho (1960), sebuah jump scare yang bak penghormatan bagi momen ikonik chestburster di Alien (1979), hingga tampilan Madam Melati yang seperti kombinasi Eva Green di Miss Peregrine's Home for Peculiar Children (2016) dan Morticia Addams dari seri The Addams Family, semua menghadirkan nuansa yang sejenak membawa kita menjauh dari pemandangan klenik khas horor lokal. 

Di jajaran pemain, Alexandra Gottardo tak ubahnya magnet yang terus menarik atensi penonton; Putri Ayudya tampil kuat mengolah dilema batin karakternya; Ridwan Roull Rohaz nampak intimidatif; Bima Sena kembali menunjukkan potensi selaku aktor cilik berbakat; sedangkan Kiki Narendra sebagai Kusno si dokter sinting adalah...well, Kiki Narendra, yang apa pun perannya senantiasa memikat. Ya, seperti air keran di tengah panas terik, Losmen Melati akan terasa mengganjal saat dinikmati, tetapi biar bagaimanapun, tetap ada kenikmatan yang menyegarkan di dalamnya. 

4 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

OTW bioskop... Kota Cinema Mall Jatiasih...

Anonim mengatakan...

film kolor horror ibarat makan popcorn, kita nggak tahu kenapa tiap makan popcorn selalu minta jatah lagi karena popcorn sebesar apapun medianya tetap habis di makan, banjir film horror indonesia tiap minggu, tidak menyurutkan pemilik cuan untuk terus memproduksi nya : buruk atau cult atau bagus, nggak lagi di lihat kualitas apalagi cerita, yang penting pasti cuan, popcorn cuan....sebagus apapun film nggak akan di lirik penonton masuk bioskop, se jelek apapun film pasti penonton datang
-
udah nonton film ini, skor : 7.5/10

lalalala mengatakan...

suka banget baca ulasan rasyid, selalu mendetail baik dari penceritaan sampai teknis, jadi ada insight baru.

Anonim mengatakan...

ini baru namanya film horror thriller, badass keren