REVIEW - GUARDIANS OF THE GALAXY VOL. 3

15 komentar

"Sekuel". Sebuah kata yang kerap punya konotasi negatif. Beberapa menganggapnya sebagai wujud kemiskinan kreativitas. Cara malas untuk mengeruk pundi-pundi uang. Tapi benarkah sekuel tak membawa dampak positif perihal kualitas karya? Jawabannya "ada", dan melalui trilogi Guardians of the Galaxy, James Gunn membuktikan itu. 

Keberadaan sekuel memungkinkan pembuat film menghantarkan proses panjang nan berkelanjutan. Karakter dapat tumbuh dan berkembang, sementara penonton dibuat mengenal kemudian memedulikan mereka. Guardians of the Galaxy Vol. 3 adalah fase di mana suatu proses mencapai ujungnya, kemudian membuahkan hasil. 

Secara garis besar, Guardians of the Galaxy Vol. 3 adalah filmnya Rocket (Bradley Cooper). Melalui beberapa flashback, Gunn mengajak penonton menyambangi masa lalu traumatik Rocket saat ia dijadikan kelinci percobaan oleh High Evolutionary (Chukwudi iwuji). Flashback-nya bukan sekadar numpang lewat. Guardians of the Galaxy Vol. 3 merupakan film MCU yang paling banyak memanfaatkan flashback guna menyusun penceritaan. Hasilnya efektif. Kecintaan pada Rocket mampu dibangun, demikian pula kebencian terhadap High Evolutionary.  

High Revolutionary bukan tipikal villain seperti Loki, Thanos, Killmonger, atau Baron Zemo yang membawa ambiguitas moral dalam motivasi mereka. Dia murni sosok bengis yang hadir untuk dibenci, dan itu membuatnya lebih memorable dibanding jajaran villain generik dengan ambisi menguasai dunia. 

Rocket memang jantung film ini, namun bukan berarti Guardians lain dikesampingkan. Peter Quill (Chris Pratt) masih kesulitan melupakan cintanya pada Gamora (Zoe Saldana). Pun pikirannya terus dihantui fakta bahwa orang-orang terdekatnya selalu berujung kehilangan nyawa. Nebula (Karen Gillan) ada di kutub berlawanan. Kegelapannya memudar. Puteri Thanos yang jahat telah digantikan oleh figur pelindung yang dapat diandalkan dan menyimpan kepedulian besar kepada orang lain. Ada kehangatan melihat "Nebula yang baru" karena kita mengikuti transformasinya secara bertahap. Sekali lagi, semua berkat proses. 

Nama-nama lain seperti Drax (Dave Bautista), Mantis (Pom Klementieff), Groot (Vin Diesel), bahkan Kraglin (Sean Gunn) dan Cosmo (Maria Bakalova) pun mampu mengisi hati penonton. Seluruh anggota Guardians diberi kesempatan bersinar, yang senada dengan pesan filmnya mengenai kesetaraan. Istilah "higher life form" tidak berlaku. Semua setara dan seimbang. 

Keseimbangan terkait tone juga berhasil Gunn capai. Guardians of the Galaxy Vol. 3 tetap efektif memancing tawa, namun lebih kelam (ditegaskan sejak lagu Creep terdengar di sekuen pembuka) sekaligus lebih dramatis bila dibanding dua pendahulunya. Kita dibuat tersentuh sewaktu ada karakter yang membuka sisi personalnya, lalu bersorak saat mereka memamerkan aksi kepahlawanan. Selain karena eksekusi mumpuni, dampak emosi muncul karena ikatan emosi antara penonton dengan karakter yang telah terbangun sedari dulu. Sekali lagi, semua berkat proses. 

Gunn juga mendorong batasan rating PG-13 sejauh mungkin (untuk standar MCU), yang nampak dari bertambahnya tingkat kekerasan di beberapa aksi. Tapi tanpa kekerasan pun kualitas aksinya sudah ada di atas rata-rata film MCU. Baku hantam pembuka yang jadi perkenalan bagi Adam Warlock (Will Poulter), hingga sekuen (semacam) one take tatkala masing-masing Guardians secara bergantian diberi sorotan, jadi bukti upaya Gunn menyuguhkan aksi dinamis yang tak cuma bergantung pada gelontoran CGI. 

Seperti telah disinggung sebelumnya, banyolan khas Gunn masih memancing tawa. Tapi apa yang membedakan film-film Guardians of the Galaxy dengan judul-judul macam Thor: Love and Thunder dan Ant-Man and the Wasp: Quantumania yang dikritik akibat komedinya? Sederhana saja. Gunn membangun komedi tanpa melupakan penokohan. Kita takkan mendengar Drax melempar komentar sarkas layaknya Rocket. Semua memiliki kekhasan yang membentuk karakter masing-masing. Tidak kalah penting, komedi dalam trilogi Guardians of the Galaxy turut berfungsi menggambarkan kedekatan antar protagonis. Semakin dekat ikatan batinnya, semakin sering pula mereka berkelakar. Sekali lagi, semua berkat proses.

15 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Semua.penonton adalah gen z..dan tidak ada yg ngeh ketika Quill.mengenalkan diri dengan nama Patrick Swayze..keknya yg tua cuma saya..

Anonim mengatakan...

Saya gen z tapi cuma saya yg ngakak di studio :)

Ahmad fachriza mengatakan...
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
Ahmad fachriza mengatakan...

Kraglin bisa menggunakan yaka arrow jadi momen emosional bnget selain flashbacknya rocket

Anonim mengatakan...

momen lgbt+ fun service banget

KEDAI_SEHAT mengatakan...

adam warlock lumayan dinerf

Dewa mengatakan...

Adegan terakhir gomora sama quill berasa banget perihnya...

Anonim mengatakan...

Berapa credits scene

Anonim mengatakan...

cukup nonton sekali saja, biasakanlah nonton di layar bioskop berasa beda jika hanya andalkan review saja apalagi sudah masuk bajakan illegal atau streaming legal

Anonim mengatakan...

Lagu lagunya keren,ikutan nyanyi juga di bioskop jaidnya

Anonim mengatakan...

suka film ini karena dari volume 1, 2 dan 3 plus spin off selalu menampilkan "berbagai macam kelakuan rupa genre jenis tipe kelamin dan seksual"

film hiburan untuk family

Anonim mengatakan...

Saya tau patrick swayze tapi saya juga ga ketawa pas joke itu, berarti memang reference humor itu bukan buat semua orang. Sebagian besar jokes nya deadpool adalah reference humor dan saya tau, tapi
sepanjang film hampir ga pernah ketawa cuma senyum senyum kecut doang

Anonim mengatakan...

adam warlock multihybridseksual lgbt+ top abis

Harllie mengatakan...

Yang jadi pertanyaan, setelah ini Star Lord bergabung kemana kawan2?

Anonim mengatakan...

di layar bioskop, guardians of galaxy vol.3 enak banget ditonton kacamata 3D lebih nikmat