REVIEW - SPIDER-MAN: ACROSS THE SPIDER-VERSE

21 komentar

Hampir tiap minggu film bagus bermunculan. Kemudian tiap beberapa bulan, rilis film yang disebut "spesial" dan menjadi calon unggulan di musim penghargaan. Tapi film seperti Spider-Man: Across the Spider-Verse hanya muncul beberapa tahun sekali. Film seperti apa? Masterpiece.

Into the Spider-Verse (2018) mengingatkan adanya potensi tanpa batas, baik dalam animasi sebagai medium, maupun multiverse sebagai pondasi cerita. Across the Spider-Verse mengeksplorasi kebebasan ruang gerak itu secara lebih jauh. Alhasil ia pun memiliki segalanya. Visual indah, cerita emosional, hingga fan service selaku pemanis yang tak mendistraksi.

Kali ini kita memulai perjalanan dari semesta Gwen Stacy (Hailee Steinfeld) untuk mempelajari luka si Spider-Woman, yang selepas kematian Peter Parker, justru jadi target buruan sang ayah dari pihak kepolisian. Sebagaimana disampaikan Peter B. Parker (Jake Johnson), hampir seluruh varian manusia laba-laba dikenal jenaka. Tapi benang merah di antara mereka malah berwujud duka. Selalu ada kehilangan. 

Biarpun masih dihiasi ragam visual warna-warni, tone milik Across the Spider-Verse memang cenderung melankolis, lebih kelam dibanding film pertama. Tidak banyak yang dapat memahami pergulatan batin para manusia laba-laba dengan identitas ganda mereka, apalagi saat kehilangan orang tercinta senantiasa mengikuti. 

Karena itulah hubungan Gwen dan Miles Morales (Shameik Moore) punya bobot emosi. Bukan pertemanan atau romantika biasa, melainkan proses menemukan sosok yang dapat mengangkat masing-masing individu dari kesepian. Keduanya bertemu lagi saat Gwen mengemban misi rahasia untuk memburu The Spot (Jason Schwartzman), supervillain dengan kemampuan membuka portal melalui noda hitam di tubuhnya, yang kebetulan juga tengah Miles hadapi. 

Miles dan Gwen berayun melintasi kota, kemudian duduk berdua di puncak gedung dalam posisi terbalik, sembari mengucapkan kata-kata hangat dari naskah buatan Phil Lord, Christopher Miller, dan David Callaham. Momen tersebut di-animasi-kan dengan cantik, namun "rasa" sesungguhnya berasal dari subteks yang tersimpan. Dua manusia yang menolak terikat gravitasi bumi, justru terikat kuat oleh hati masing-masing. 

Oh, tapi bagaimana Gwen bisa mengunjungi semesta Miles? Semua berkat grup bernama Spider-Society ciptaan Miguel O'Hara (Oscar Isaac) yang mengemban misi melindungi multiverse. O'Hara membuat gelang yang memungkinkan anggotanya melintas antar semesta dengan bebas. Tapi mengapa si penyandang nama Spider-Man 2099 nampak begitu membenci Miles? Jawabannya hadir dalam satu dari beberapa twist yang filmnya siapkan. 

Across the Spider-Verse memang menyimpan banyak kejutan di balik alur ambisiusnya. Seberapa ambisius? Meski bukan patokan utama, durasi 140 menit miliknya (animasi Hollywood terpanjang sampai saat ini) bisa memberi sedikit gambaran. Elemen multiverse bukan sekadar hiasan atau modus melempar easter eggs (walau tetap ada ruang bagi beberapa fan service yang ampuh memancing sorakan penonton), tapi dijadikan alat bercerita perihal berbagai hal, salah satunya takdir manusia. Akankah kita tunduk begitu saja pada "suratan", ataukah ada jalan yang bisa kita ciptakan? 

Bukan protagonisnya saja yang berproses. The Spot mengawali karir kriminalnya sebagai lelucon. Miles menganggapnya "villain of the week" yang dapat dikalahkan di kala senggang. Kekuatannya pun nampak konyol. Tapi seiring waktu, ia pantas disebut sebagai salah satu villain paling mengerikan dalam film Spider-Man, baik animasi atau live-action. 

Cantik luar-dalam. Demikianlah Across the Spider-Verse. Visualnya yang sarat variasi bahkan sampai ke hitungan frame (banyak pernak-pernik bersifat "blink-and-you'll-miss-it") turut membawa detail informasi. Misal terkait penokohan, yang salah satunya nampak dari bagaimana Spider-Punk (Daniel Kaluuya) dihidupkan memakai gaya ala visual art subkultur punk.

Begitu pula emosi. Visualnya ikut menyampaikan emosi. Sapuan cat air di semesta Gwen yang nuansanya mengikuti dinamika batin karakter adalah favorit saya. Trio sutradaranya, Joaquim Dos Santos, Kemp Powers, dan Justin K. Thompson, paham betul betapa goresan warna di medium animasi bukan sebatas pamer gaya, namun wujud ekspresi rasa. 

Lalu musik gubahan Daniel Pemberton datang untuk menyempurnakan Across the Spider-Verse sebagai sajian audiovisual yang lengkap. Ada momen di babak ketiganya yang tampil mencekam berkat ketepatan isian musik. Karena sama seperti rekan-rekannya di departemen visual, Pemberton menolak terpaku pada satu bentuk. Dibiarkannya nada-nada bergerak mengikuti ke mana rasa berjalan. 

Bisakah Beyond the Spider-Verse tahun depan menandingi pencapaian "kakaknya"? Butuh perjuangan ekstra serta hasil luar biasa agar bisa melakukannya. Tapi sekali lagi, seri Spider-Verse adalah soal ketiadaan batasan. Ketika rasa-rasa tadi kembali melebur, mungkin saja Miles bakal terbang lebih tinggi lagi.  

21 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Yeesss terbaikkkk..

Anonim mengatakan...

Setuju sekali,adegan gwen duduk terbalik dan miles mengikuti diatas gedung indah sekali,dan style animasi di dunia gwen benar2 bagus dan indah,saya sampai berkali2 mengucap "wow" dalam hati ketika dibioskop.Saya tdk menyesal menghabiskan 2 jam berkendara dr rumah kebioskop untuk film ini,setelah sblmnya saya lama tidak minat kebioskop setelah agak kecewa dgn Doctor Strage: MoM.

Anonim mengatakan...

Mantap min, makasih ya

Anonim mengatakan...

Njir kaget gw baca tulisan LUAR BIASA

Anonim mengatakan...

Tinggalnya di mana kak ampe 2 jam ke bioskop

Anonim mengatakan...

wajibb bgt menang oscar, or it will be a riot

Anonim mengatakan...

oh my god, sony membuktikan digdaya dalam hal kartun di bandingkan disney...dan itu berhasil : HEBAT !!!

film kartun sony selalu bisa lebih mengexplor daripada live action gagalnya tiap film garapan sony live action dunia marvel MCU beredar di bioskop...lagi lagi spiderman trilogy ini membuktikannya

kita tunggu apakah film live action black spiderman miles morales [tahun 2028] lebih digjaya daripada film kartun ini....

Anonim mengatakan...

ini baru film berasa horror...keren

Anonim mengatakan...

Dikalimanntan barat,saya didekat mempawah,bioskop cuma ada di kota pontianak dan singkawang,22nya perlu 2 jam perjalanan dr rumah saya.

Pink Princess mengatakan...

Setuju banget, film ini pantas masuk kategori Luar Biasa. Visual, lagu, plot, hampir gaada celah buat flaw sedikitpun. Endingnya yang nanggung pun jadi ga kerasa karena udh disajiin roller coaster emosi di awal. Top lah

Anonim mengatakan...

semoga sih kalo beneran mau dibuat live action, universenya dibedain (original story pls)🙏🏻🙏🏻. i mean, world-building, story-telling, etc, di universe miles sekarang udah top notch bgt dan cuma bisa di-deliver lewat medium animasi bakal berubah esensinya kalo ditranslate lewat live action.

Anonim mengatakan...

hati hati menonton film ini jika kondisi tidak memungkinkan karena banyak adegan "flash light" yang sensitif, mohon untuk di perhatikan

Anonim mengatakan...

skor film ini : 9/10

Anonim mengatakan...

penonton yang sensitif akan cahaya kelap-kelip atau Photosensitive sebaiknya jangan menonton film spiderman across spider verse, hati hati ya...

Anonim mengatakan...

Selanjutnya trilogy spiderman spider verse : Beyond the Spider-Verse di rilis pada 29 Maret 2024, cant wait...

Anonim mengatakan...

Review SISU mas rasyid hehehe pengen tau komentarnya

Anonim mengatakan...

ternyata para bocil menyukai trilogy pertama spiderman verse into spider verse daripada trilogy kedua spiderman across spider verse : pencahayaan & visualnya bikin pusing & terlalu cepat, semoga trilogy ketiga beyond spider verse ramah bagi semua kalangan, usia & kesehatan

Anonim mengatakan...

Ini yg komen koq banyak akun anonim?

Anonim mengatakan...

wow SONY, MCU & DC terhubung dengan Transformers Universe Cinematic

Anonim mengatakan...

film keren 98 spider people dan 200 spider kumpul di film ini

Anonim mengatakan...

Memang tidak terasa 2 jam berlalu begitu saja , good movie