REVIEW - 200 POUNDS BEAUTY

21 komentar

Masalah utama 200 Pounds Beauty bukan karena ia tak sejalan dengan pola pikir modern. Bahkan sebaliknya, remake ini mampu menghapus banyak elemen problematik milik film aslinya. Masalah utama 200 Pounds Beauty adalah, serupa sang protagonis, ia terlalu berusaha merampingkan diri, sehingga melahirkan kopian yang kalah berisi. 

Juwita (Syifa Hadju) punya tubuh gemuk yang membuatnya selalu dipandang remeh. Tapi tidak ada yang meragukan talenta suaranya, baik sebagai penyedia jasa telepon seks maupun ghost singer bagi Eva Primadona (Alyssa Daguise). Dia mendambakan cinta Andre (Baskara Mahendra) si produser rekaman, meski sang sahabat, Yara (Zsa Zsa Utari), ragu bahwa pria setampan dan sepopuler itu bersedia membalas cinta Juwita. 

Ketika Juwita memilih menjalani operasi plastik di klinik dokter Erik (Kiki Narendra), lalu bertransformasi menjadi Angel yang lebih kurus, apakah  200 Pounds Beauty secara tak langsung mendukung standar kecantikan yang diskriminatif terutama di industri hiburan? Kurang lebih, tapi setidaknya naskah buatan Upi mampu memodifikasi versi aslinya (product of its time), dengan menyertakan perspektif bahwa setiap orang punya hak atas tubuhnya. 

Keputusan membuat ulang 200 Pounds Beauty patut dipertanyakan, tapi Upi sudah berusaha semaksimal mungkin membungkus naskahnya agar bisa lebih diterima publik modern. 

Penyesuaian bukan cuma terkait fisik karakter. Misal bagaimana karakter Andre dikemas. Berbeda dengan Sang-joon, Andre bukan pria berengsek yang kesalahan fatalnya terhapus begitu saja, bahkan diubah jadi pahlawan. Andre "hanya" satu dari banyak masyarakat kita yang masih menganut standar kecantikan, tanpa menyadari betapa kejamnya hal tersebut. Keputusan menghapus subplot yang mengesankan justifikasi terhadap penguntit pun sangat saya apresiasi. 

Tapi sekali lagi, masalah utama 200 Pounds Beauty bukan tentang elemen problematik. Upi seolah mencurahkan seluruh daya upayanya untuk mengurus modernisasi, sampai lalai memperhatikan sesuatu yang lebih mendasar: penceritaan. 

Memangkas 120 menit durasi versi Korea yang terlalu panjang menjadi 95 menit sesungguhnya keputusan tepat, tapi alih-alih memadat, alurnya malah menipis dan terkesan buru-buru. Ketimbang "membuat ulang", Upi bak mengopi naskah aslinya, kemudian sekadar menghapus poin-poin yang dirasa kurang esensial tanpa melakukan penyesuaian. Departemen penyutradaraan pun tak membantu, sebab Ody C. Harahap terjebak kekurangan serupa. Pengadeganannya serba buru-buru, sehingga luput memunculkan dampak emosi. 

Deretan pemain juga tidak selalu hadir selaku penyelamat. Kiki Narendra kembali mencuri perhatian melalui talenta komediknya, Zsa Zsa Utari semakin menegaskan status sebagai salah satu aktris Indonesia paling underrated saat ini, tapi Baskara Mahendra kekurangan karisma yang diperlukan agar figur Andre "si pujaan wanita" nampak meyakinkan. Syifa Hadju sesungguhnya tidak buruk. Sewaktu memerankan Juwita, ia bisa sesekali memancing tawa. Tapi sebagai Angel, ia tak punya sisi "gadis cantik yang aneh nan jenaka" sebagaimana Kim A-joong.  

Klimaks remake ini bergulir datar, di saat versi Korea amat menyentuh berkat satu kata: gwenchana (it's okay). Kata itu bukan ungkapan penghiburan biasa. Tersimpan makna lebih mendalam bila menaruhnya dalam konteks industri hiburan Korea Selatan, selaku kata yang kerap terucap sebagai bentuk kepedulian penggemar kepada idola mereka. Menggantinya dengan kata lain, bahkan dengan makna sama sekalipun, takkan memberi efek yang sama kuatnya. Karena sekali lagi, beramai-ramai mengucapkan "it's okay" pada momen emosional di tengah pertunjukan merupakan aktivitas yang "sangat Korea". Artinya? Memang remake ini tidak perlu ada. 

(Prime Video)

21 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

ok, skip

Anonim mengatakan...

bosen, korea melulu...ada adaptasi lainnya

Anonim mengatakan...

gue mau nonton karena ada Kiki Narendra, talenta superstar indonesia

Anonim mengatakan...

Bapak lu korea mulu?? Itu why do you love me adaptasi film Belgia, perfect stranger adaptasi film Barat mana gitu

Abdi Khaliq mengatakan...

Dari segi judul juga harusnya bisa disesuai dengan Indonesia, misalnys SI CANTIK 100 KG, secara BB di Indo gak pake pounds tapi kilo. 🤣🤣🤣

Anonim mengatakan...

komedi absurd again, wow please banget

Anonim mengatakan...

cuma buang buang cuan aja

film bagus no cuan

Anonim mengatakan...

maaf, nggak dulu, mending nonton film kolor horror

Anonim mengatakan...

bagussss bangetttttt iniiiii filmmmm nya

Anonim mengatakan...

thanks mas rasyid atas analis nya

Anonim mengatakan...

Ni kolom komentar bakal dipenuhin buzzer kek review film bromo sebelah ga ya😂

Anonim mengatakan...

Maaf nanti aja tunggu di netflix

Anonim mengatakan...

laksana film horror mentah yang kentang banget

Anonim mengatakan...

film gajebo

Anonim mengatakan...

seksualitas ciri khas yang fenomena belakangan ini dalam film

Anonim mengatakan...

terimakasih mas rasyid

iambayuanggoro mengatakan...

Ada yg ngeh jg wkwk, mana buzzee nya ngata2in review nya lagi lol

Anonim mengatakan...

Si buzzer goblok masuk netflix gimana ini bukan film bioskop pea org ini tayang di Prime Video

Anonim mengatakan...

ngabisin kuota aja ini film, ndak deh

Anonim mengatakan...

thanks mr.rasyid

Anonim mengatakan...

😍😍😍