REVIEW - HEART OF STONE
Sekuen pembuka Heart of Stone cukup melambungkan ekspektasi. Jajaran pemain membuktikan kompetensi mereka melakoni laga, beberapa twist khas cerita spionase langsung menampakkan diri, aksi megah selaku perkenalan terhadap kecerdasan buatan canggih bernama The Heart, hingga pertemuan Gal Gadot dan Alia Bhatt.
Gal Gadot memerankan agen MI6 bernama Rachel Stone, Alia Bhatt menjadi Keya Dhawan si peretas misterius. Keduanya bersinggungan jalan di tengah upaya beberapa pihak menguasai The Heart. Lalu semakin jauh konflik bergulir, ekspektasi tinggi tadi pun tergerus, saat semakin kentara bahwa karya penyutradaraan Tom Harper (The Woman in Black: Angel of Death, The Aeronauts) ini sekadar satu lagi film kelas B ala Netflix.
Heart of Stone dan "kawan-kawannya" memang tak ubahnya suguhan straight-to-DVD, yang satu dekade bakal tak tersentuh di rak hingga berdebu. Bedanya, berkat gelontoran dana Netflix, bintang besar di puncak karir mereka direkrut alih-alih nama tua yang menanti hari pensiun, pengambilan gambar dilakukan di berbagai negara, pun para sineas memperoleh akses memakai CGI sebanyak mungkin. Masalahnya upgrade tersebut cuma berlaku di kulit luar, sementara naskah dibiarkan tak berkembang.
Pasca memperkenalkan The Heart dengan segala keunikannya termasuk kemampuan mengalkulasikan tingkat kesuksesan misi, naskah buatan Greg Rucka dan Allison Schroeder segera kembali ke "setelan pabrik". The Heart tidak lebih dari MacGuffin klise berupa alat yang sanggup meretas apa saja.
Protagonisnya dihadapkan pada dilema: Haruskah ia menurut pada The Heart dengan segala angka-angkanya, atau mengikuti kata hati (the heart)? Naskahnya membawakan konflik itu dengan dangkal, bahkan besar kemungkinan penonton bakal melupakan eksistensinya, sebelum secara mendadak dipaksa mengingatnya lagi di penghujung durasi. Ibarat penelitian yang selepas kata pengantar langsung melompat ke kesimpulan.
Kalimat yang keluar dari mulut karakternya, entah sebatas selorohan maupun eksposisi mengenai plot, tidak kalah klise. Seolah Rucka dan Schroeder meminta bantuan AI untuk menulis dialognya, dengan menggabungkan segala kalimat klise yang pernah muncul dalam film. Sayang, AI yang mereka pakai belum secanggih The Heart.
Minimal Heart of Stone masih menghadirkan apa yang ia janjikan, yakni aksi solid. Pengarahan Harper tidak muluk-muluk. Tanpa tata kamera atau koreografi rumit, namun setidaknya, ia menolak terlampau bergantung pada penyuntingan yang terkesan choppy. Harper hanya mengincar bare minimum, dan berhasil mencapai tujuannya. Sang sutradara pun tak keteteran kala dihadapkan pada set piece raksasa eksplosif yang sarat CGI. Tengok momen ledakan di ReykjavÃk yang bombastis.
Gal Gadot dituntut melakoni baku hantam yang lebih raw, lebih "kasar", dan ia terbukti bisa diandalkan sebagai jagoan laga. Sebaliknya, kualitas Alia Bhatt cenderung tak dimaksimalkan. Bukan masalah performa. Naskahnya lah yang menyia-nyiakan bakat sang aktris.
(Netflix)
21 komentar :
Comment Page:Emak Gal Gadot Emang Keren
Tom Harper aja penyuka netflix dengan karya megah biaya cuan fantastis
Netflix lagi Netflix lagi
ini better sih daripada the gray man apalagi red notice dengan budget yang sebesar itu sutradara nya seakan gatau gimana ngerekam set piece aksi yang solid, heart of stone minimal bisa nge deliver aksi yg thrilling dan explosion yg terlihat masif buat ngehibur
Skip Netflix
Belum ada film action original Netflix yg bagus kutonton sejauh ini
SKIP
maaf, gue nonton cuma ada gal adoy gadot aja
Menu Junk Food
lumayan daripada manyun
bumbu sampah
sulit sekali beropini objektif jika yang main tante gal gadot
gal gadot itu sebenarnya cewek atau cowok
kegagalan Netflix
nggak dulu
bagus sinetron netflix nya
puas banget deh film bagus
film jelek ini seru banget
Hearth Of Stone 2 : WTF
khas dunia pelangi again
agen mossad berak si
Posting Komentar