REVIEW - EXPEND4BLES

26 komentar

Pintu gereja terbuka, dan di bawah cahaya menyilaukan tampak siluet badan kekar Arnold Schwarzenegger. Lalu terjadilah banter singkat yang mewujudkan mimpi basah para pecinta aksi old-school 80-an. Dua tahun berselang mimpi basah itu mengalir makin deras tatkala Chuck Norris melempar meme tentang dirinya, sementara Bruce Willis berujar, "I'll be back". 

Menonton Expend4bles memunculkan kerinduan akan memori tersebut. Bukan karena ia bagus (walau mengalami sedikit peningkatan dibanding film ketiga). Justru sebaliknya. Karya terbaru sutradara Scott Waugh (Act of Valor, Need for Speed) ini berjalan terlalu jauh meninggalkan esensi franchise-nya, yakni mengumpulkan para jagoan aksi masa lalu.  

Naskah buatan Kurt Wimmer, Tad Daggerhart, dan Max Adams memang masih "sangat 80-an", menyusun aksi dengan plot generik mengenai antagonis yang mencuri "sesuatu" dari "seseorang" guna melancarkan "suatu" rencana jahat, dan para protagonis mesti merebut "sesuatu" dan menggagalkan "suatu" rencana si penjahat. "Sesuatu" atau "seseorang" tadi bisa diisi apa saja. Tidak penting. Ledakan bombastis, berondongan peluru, pistol berukuran besar jadi fokus utama. 

Expend4bles punya semua hal yang mendefinisikan "old-school action" di atas. Lupakan alur klise dengan twist bodoh miliknya. Tetek bengek filmis bukan perkara yang perlu dikeluhkan. Lain soal ketika ia bukan lagi tentang menciptakan tim super yang terdiri atas jagoan gaek. "Melupakan identitas". Itulah dosa terbesar Expend4bles. 

Alih-alih menambah amunisi nama lawas, filmnya menyertakan wajah-wajah yang lebih modern. Keberadaan Iko Uwais dan Tony Jaa memang berpotensi mengatrol kualitas sebuah film aksi, namun keduanya eksis di era berbeda dengan jurus-jurus bela diri mereka. Menempatkan Iko dan Tony dalam aksi bergaya 80-an ibarat mengendarai mobil balap tercepat di jalanan perkotaan yang macet. Mubazir. 

Iko sebagai Suarto Rahmat si teroris disia-siakan talentanya. Pasca sekuen pembuka, praktis ia cuma melontarkan sepatah dua patah kata ancaman, sebelum terlibat baku hantam dengan Lee Christmas (Jason Statham) yang berakhir prematur, sebagaimana kolaborasi unik Decha (Tony Jaa) dan Lash (Levy Tran) yang berjalan terlampau singkat. 

Barney Ross (Sylvester Stallone dalam penampilan terakhir di franchise ini) pun muncul dengan peran terbatas, meski naskahnya berhasil menekan porsi Barney tanpa harus terkesan "tidak hormat" dengan menyisihkannya. Sorotan terhadap Gunnar Jensen (Dolph Lundgren) pun makin berkurang. Padahal menyaksikan para jagoan gaek bersatu adalah daya pikat terbesar seri The Expendables, yang membuat penonton bisa melupakan aksi generik berhiaskan CGI berkualitas buruk. 

Film keempat ini lebih seperti "Jason Statham flick" ketimbang.....well, The Expendables. Di satu adegan, Christmas memukuli seorang influencer yang dianggapnya tak menghormati perempuan. "Respect the ladies", ujarnya. Melihat bagaimana maskulinitas masih mendominasi sepanjang durasi, dan Megan Fox yang sebatas dijadikan eye candy, ketimbang kepedulian tulus akan isu gender, momen tersebut membuat filmnya nampak bak dinosaurus yang memaksakan diri agar terkesan modern. Sekali lagi, franchise ini telah kehilangan identitas.  

26 komentar :

Comment Page:
Givary Pradimulia Lubis mengatakan...

Belum ada satupun film Hollywood yang bagus dari Iko Uwais. Sangat disayangkan bakat dia tersia sia untuk film action generik kek gini. Susah untuk Iko berkembang di dunia akting kalau bisanya main film action gini mulu. Maaf Iko, you deserve better than this 😥

Anonim mengatakan...

WTF, Iko Uwais sebagai Suarto Rahmat benar benar keren 85% main full di film ini di bandingkan slyvester stallone cuma 5 menit aja

keren keren keren

Anonim mengatakan...

simpan otak pintar di rumah, masuk bioskop nonton film aksi recehan, nikmati aja jangan banyak protes,,,enjoy it dan have fun

Anonim mengatakan...

Suarto Rahmat bayi imut yang badass, mantap

Anonim mengatakan...

wow film keren full aksi luar biasa

Anonim mengatakan...

saya sudah nonton, terhibur dengan film ini ibarat era 80-an

wajib nonton

Anonim mengatakan...

Scott Waugh bagus meresonansikan penjabaran ke arah terbuka lanjutan film ini bukan semata manula.. ini trilogi baru, bukan manula lagi, yessss keren cuy

Anonim mengatakan...

ketika tim para homo menaklukan dunia sebagai jagoan candy

Anonim mengatakan...

Megan Fox itu alasan gue nonton ini film, cewek binal liar ganas mantap jiwa, nanti bikin group tim cewek jagoan lanjut bagian ke-5

Anonim mengatakan...

PUAS GUE NONTON IKO UWAIS

Syaeful Basri mengatakan...

Iko pantas mendapatkan film yang lebih baik di hollywood

Anonim mengatakan...

WOW SPESIAL SEKALI UNTUK IKO UWAIS BERMAIN DALAM FILM INI HAMPIR 85%, BADASS BADBOY

Anonim mengatakan...

IKO UWAIS WHO

Anonim mengatakan...

Lee Christmas (Jason Statham) adalah pelanjut slyvester stallone, om ini emang macho

Anonim mengatakan...

salah casting Iko Uwais, seharusnya Reza Rahardian

Anonim mengatakan...

nonton nggak pakai otak, ya film ini, kerennnnnnn parahhhhhh

Anonim mengatakan...

askah buatan Kurt Wimmer, Tad Daggerhart, dan Max Adams emang segitu bagusnya, sampai gue nonton 5 kali ini film

Anonim mengatakan...

film banci, SKIP

Dillidur Bosimetal mengatakan...

IKO UWAIS ketemu lawan main ABG (angkatan babe gue) haha....

Anonim mengatakan...

males beuh nonton film kumpulan para lgbtq+

Anonim mengatakan...

film keren iko uwais mana ada yang beri dia peran full main film internasional selain film ini

Alvi mengatakan...

Yg paling bagus Mile 22, bukan filmnya ya, tapi dari segi bagaimana mengoptimalkan akting Iko dalam film.

Anonim mengatakan...

Hadeeee salah milih sutradara ini Scott Waugh, jejak rekamnya film anjlok semua kemarin nonton Hidden Strike dibintangi Jackie Chen/John Cena aj bikin geleng kepala, udah ketebak ancur. Iko Uwais tetep gokil bangga banget

Anonim mengatakan...

peltu main sebentar slyvester cape, iko uwais keren

Anonim mengatakan...

number uno iko uwais

Givary Pradimulia Lubis mengatakan...

Alah, Mile 22 juga sama aja jeleknya. Ceritanya amburadul, teknisnya kacau balau (punya Iko Uwais tapi apa susahnya sih kasih dia shot yang wide lebar untuk berantem? Kenapa harus kebanyakan close up, shaky cam dan quick cut editing yang menyia nyiakan bakat dia??)