REVIEW - MELUKIS LUKA
Beberapa seniman melakukan aktivitas "mencipta" bukan dengan tujuan berkarya. Beberapa hanya ingin mengekspresikan isi hati, ada pula yang berkatarsis sebagai cara menangani luka batin. Tapi dari kejujuran itulah dapat lahir "karya sesungguhnya", yang tak jarang juga mengandung kebenaran hakiki.
Melukis Luka yang merupakan debut penyutradaraan Prisia Nasution, membahas bagaimana karya seni dijadikan medium menyampaikan kebenaran (truth) di tengah era post-truth. Karya seni yang dimaksud adalah lukisan kontemporer buatan Henry (Bio One), seorang petugas kebersihan kelenteng yang bekerja di bawah arahan Ah Boen (David Santoso).
Melukis adalah cara Henry menghadapi trauma masa kecilnya, tatkala ia kehilangan seluruh keluarganya sewaktu tragedi 98 pecah. Tapi Henry tak merasa dirinya pelukis. Tidak ingin pula lukisan-lukisan buatannya ia pamerkan. Alhasil saat Alisa (Rachel Amanda), seorang kurator, datang dengan iming-iming popularitas dan gelimang harta, Henry tetap menolak memberikan lukisannya.
Naskah hasil tulisan Deliesza Tamara memposisikan film ini sebagai perjalanan mempelajari kebenaran. Tidak perlulah bermuluk-muluk membahas kebenaran tentang negara. Di satu titik, Ah Boen menolak permintaan Alisa untuk memberitahukan alamat rumah Henry. "Saya nggak akan bilang kalau dapatnya dari Ko Ah Boen kok", ucap Alisa, yang hanya direspon dengan senyum simpul. Kejujuran Ko Ah Boen juga termasuk perwujudan kebenaran.
Kebenaran lain yang kita pelajari adalah kebenaran di ranah personal. Melukis Luka bukan cuma kisah tentang Henry dan lukanya, tapi juga proses Alisa mengenali luka yang menghantui (baca: kebenaran dalam diri) Henry.
Nantinya kita bakal mengunjungi rumah Henry yang jauh dari kesan mewah, namun temboknya banyak dihiasi lukisan indah (pujian patut diberikan bagi departemen artistik). Ketika pertama kali masuk, Alisa tidak bisa berhenti tersenyum sambil memfoto. Apa yang bagi Henry merupakan ekspresi rasa sakit, di mata Alisa hanyalah komoditas untuk dipamerkan.
Melukis Luka berusaha menekankan betapa keras kepalanya Alisa, juga susahnya Henry lepas dari trauma, melalui pengulangan peristiwa di babak kedua (Alisa memaksa datang ke rumah Henry, kemudian terjadi pertengkaran). Intensinya dapat dipahami, tapi hasilnya terlampau repetitif untuk bisa menghasilkan observasi yang menarik diikuti.
Andai bukan karena keberhasilan Bio One melukiskan luka Henry secara meyakinkan lewat aktingnya, paruh tengah film ini bakal semakin terasa melelahkan. Untunglah filmnya menguat lagi jelang akhir, berkat pilihan narasinya yang menghindari simplifikasi klise mengenai mengobati trauma.
Trauma menahun yang mengganggu jiwa Henry tidak lenyap secara ajaib, tidak pula dipakai sebagai alat untuk menghadirkan titik balik emosional sebelum klimaks. Bukan peristiwa menggugah soal "kesembuhan" yang coba ditampilkan di sini, melainkan proses mengenali luka, baik oleh sang penderita maupun orang di sekitarnya. Sebuah proses memahami kebenaran.
(Klik Film)
21 komentar :
Comment Page:film alternatif
Naskah hasil tulisan Deliesza Tamara biasa saja namun nge hook keras terkait pluralisme,,,keren
identitas terus menerus dijadikan alat politik
cocok untuk kampanye politik dan kemanusiaan
film edan...bagus banget
berhenti untuk tidak melupakan
alur story para bocil baru mengetahui dunia itu kejam
melankolis komedi
horror nya film ter horror
nangis kejer gue
bio one so horny daddy macho sugar man
pelangi itu indah dan menyesatkan
bagong ini film njir so good
nonton malam hari lebih syahdu
posternya nggak seindah cabikannya
musiknya bagaikan mencakar pikiran
no komen : bagus
skor film : 7/10
karakter yang lemah mengharu biru
good review
film horror
Posting Komentar