REVIEW - INSHALLAH A BOY
Di Inshallah a Boy kita melihat bagaimana perempuan kehilangan segala miliknya setelah ditinggal mati sang suami, dan melahirkan anak laki-laki adalah satu-satunya cara untuk "membatalkan" kehilangan tersebut. Bisa diartikan, perempuan takkan memiliki apa pun tanpa laki-laki. Tentu itu bukan dunia yang ideal untuk ditinggali, dan perwakilan Yordania di Academy Awards 2024 ini mengkritik konstruksi sosial gender tersebut.
Pasca meninggalnya sang suami secara mendadak, Nawal (Mouna Hawa) harus seorang diri menghidupi puterinya, Nora (Seleena Rababah), dengan bekerja sebagai perawat di rumah keluarga kaya. Belum usai Nawal berduka, datang masalah baru. Kakak iparnya, Rifqi (Haitham Alomari), menagih utang beserta warisan berupa rumah yang ditinggali Nawal dan Nora.
Semasa hidupnya, sang suami tidak benar-benar membahagiakan Nawal. Setelah tiada pun ia meninggalkan setumpuk masalah. Ahmad (Mohammed Al Jizawi), kakak Nawal, cenderung bersikap pasif daripada melindungi adiknya dari tuntutan Rifqi. Ditambah catcalling oleh para pemuda yang kerap ia terima di sepanjang jalan pulang, seolah seluruh laki-laki bersatu menyudutkan Nawal.
Sampai tercetus solusi tak terduga. Nawal bisa menghalangi Rifqi memperoleh hak waris andaikan ia memiliki anak laki-laki. Dia pun mulai menimbang-nimbang untuk berpura-pura hamil. Tapi berbohong, yang di konteks ini tak hanya melanggar aturan agama tapi juga hukum negara, bukan perkara gampang bagi sosok alim seperti Nawal.
Delphine Agut dan Rula Nasser, yang menulis naskahnya berdasarkan cerita buatan sang sutradara, Amjad Al Rasheed, mempertanyakan perihal "ketaatan". Bisakah menyalahi aturan demi kebaikan dijustifikasi? Apakah Tuhan bersedia memaklumi dosa manusia?
Inshallah a Boy mengajak kita untuk jangan gampang menghakimi, mengingat manusia tak punya hak serta kuasa guna memberi cap "dosa" pada suatu tindakan. Apalagi Tuhan kerap bergerak secara misterius. Mengapa Nawal tak kunjung hamil walau amat menginginkan anak (lagi)? Sebaliknya, Lauren (Yumna Marwan), puteri keluarga tempat Nawal bekerja justru tengah mengandung meski menolak kehadiran buah hati.
Terjalin dinamika menarik antara Nawal dengan Lauren. Jika Nawal adalah penganut Islam yang taat dengan pola pikir konservatif miliknya termasuk bersikap pro-life, maka Lauren merupakan pemeluk Kristen yang progresif dan mengutamakan kebebasan sebagai seorang pro-choice. Tapi harmoni malah tercipta dalam hubungan mereka. Di film ini, hanya Nawal dan Lauren yang setia melempar dukungan tanpa mengharap pamrih.
Di tengah sistem sosial (khususnya keharusan untuk menikah) yang cenderung menyudutkan bahkan menghapus kemerdekaan perempuan, Nawal dan Lauren memang harus saling mengulurkan tangan. Tidak ada yang baru dalam pola tutur Inshallah a Boy, namun bukan berarti sebagai kisah empowerment ia tidak menggigit.
Satu lagi masalah yang mengganggu Nawal adalah kemunculan tikus di dapurnya. Secara kebetulan tikus itu selalu menampakkan diri setiap Rifqi datang berkunjung. Apakah dua makhluk hidup ini serupa? Tentu tidak. Meski merasa takut, Nawal sejatinya tak pernah dirugikan oleh keberadaan si tikus. Tidak satu pun barangnya dicuri, dan akhirnya tikus itu mati dengan sendirinya. Rifqi sebaliknya. Bukankah artinya manusia bisa lebih buruk ketimbang tikus?
21 komentar :
Comment Page:problematika gender
film festival moh nggak ah
film hiburan, jangan berat...udah berat hidup ini
ngantuk
di cari film serem yang ada ketan nya
too much drakor
film horror
saya suka film biasa aja, nggak terlalu over drama
alur twist kehidupan
anak jadi korban
nafsu sex tahta
tragedi simalakama
lucunya kehidupan album family
perempuan perempuan tangguh
fatalnya cinta
streaming free
buasnya laki laki
harusnya filmnya hitam putih
berat berasa jalan ke langit
best ever movie
sadness movie
Posting Komentar