REVIEW - FURIOSA: A MAD MAX SAGA

21 komentar

Bagaimana cara mengungguli dua jam kejar-kejaran mobil epik berlatar padang tandus dengan jagoan perempuan tangguh serta barisan karakter unik bernama Mad Max: Fury Road (2015)? Jawabannya "tidak ada". Furiosa: A Mad Max Saga yang bertindak selaku prekuel bukanlah mahakarya serupa pendahulunya, namun tetap suguhan aksi bertenaga, yang membuktikan bahwa bagi sang sutradara usia hanyalah sebuah angka. 

Tatkala banyak sineas blockbuster muda zaman sekarang terlampau bergantung pada manipulasi komputer, George Miller yang sewaktu memasuki masa produksi sudah menginjak 77 tahun menunjukkan bagaimana adegan aksi semestinya diarahkan dengan segenap jiwa dan raga. 

Fury Road bak taktik Miller memanfaatkan embel-embel "Mad Max" agar bisa dengan mudah membuat film dengan jagoan utama perempuan. Hasilnya luar biasa. Furiosa kini dicintai penonton modern layaknya Max di mata masyarakat 80-an. Di sini kita bakal melihat proses yang dilalui si jagoan sebelum menyandang gelar "Imperator".

Furiosa kecil (Alyla Browne) terpisah dari sang ibu (Charlee Fraser) setelah diculik oleh Dementus (Chris Hemsworth) beserta pasukan geng motor liarnya. Kehidupan berat di tanah tandus menggembleng Furiosa, membuatnya tumbuh menjadi perempuan dewasa yang kuat (Anya Taylor-Joy), dan bekerja untuk Immortan Joe (Lachy Hulme). Walau demikian Furiosa bukanlah budak siapa pun. Dia hanya ingin bebas, untuk kemudian pulang seperti janjinya kepada sang ibu.  

Furiosa punya cara bercerita yang lebih konvensional dibanding Fury Road. Ketimbang mengembangkan cerita seiring aksi kebut-kebutan, kini naskah yang ditulis Miller bersama Nico Lathouris sesekali menghentikan pacuan gas guna menyediakan ruang bagi cerita untuk berkembang. 

Keunikan cara tutur mungkin tak lagi dipunyai film ini, tapi setidaknya Furiosa berhasil memunculkan keserasian dengan Fury Road. Timbul kesan bahwa keduanya memang kesatuan yang tidak bisa dipisahkan. Sebuah cerita besar mengenai perjalanan panjang protagonisnya mencari jalan pulang. 

Kesan tersebut makin menguat sebab Miller dan Lathouris tidak luput melengkapi detail semesta Mad Max. Tempat-tempat yang sebelumnya cuma terdengar namanya seperti Bullet Farm dan Gas Town akhirnya berkesempatan kita kunjungi, meski sayangnya, secara desain artistik tak ada yang benar-benar membedakan keduanya. Sebatas lokasi industrial usang di tengah padang gersang. 

Selama 148 menit durasi, filmnya melempar berbagai macam penderitaan ke arah Furiosa, baik yang bersifat fisik maupun psikis, sebagai penegas betapa mematikan kehidupan di Wasteland. Berat, namun mereka yang berhasil bertahan bakal menjadi individu tangguh. Furiosa termasuk salah satunya, yang dihidupkan oleh persona sarat karisma milik Anya Taylor-Joy, sementara Chris Hemsworth nampak bersenang-senang memerankan antagonis sinting yang membantai manusia hanya untuk merasakan pacuan adrenalin. 

Miller boleh saja tidak menginjak pedal gas sesering di Fury Road, tapi penyutradaraannya yang jeli mengatur timing (kapan seseorang jatuh menghantam tanah, kapan senjata tajam membelah tubuh korban, kapan lesatan peluru menembus area vital, dll.) benar-benar memberi energi tingkat tinggi bagi Furiosa. Belum lagi ditambah raungan musik buatan Tom Holkenborg.  

Entah mengapa kualitas CGI-nya agak menurun, namun itu tak begitu berdampak berkat pengarahan Miller. Satu lagi keunggulan sang sineas senior adalah keengganan bergantung pada manipulasi penyuntingan. Acap kali kita diajak melihat proses utuh dari sebuah serangan (bisa tembakan, tusukan, pecutan, hingga ledakan) yang karakternya terima. Hasilnya dinamis, hard-hitting, bertenaga, dan tentunya, sebagaimana tajuk franchise-nya, "gila". 

21 komentar :

Comment Page:
Anonim mengatakan...

Scene terbaik ketika Anya forger lawan Motor terbang keren..

Anonim mengatakan...

biasa aja, film B

Indra mengatakan...

Oot, bang apakah ada wadah/perkumpulan sesam kritikus film Indonesiakah?

Anonim mengatakan...

film bocil baru nonton film

Anonim mengatakan...

nggak laku di layar bioskop

Anonim mengatakan...

Mediocre!

Anonim mengatakan...

Dulu ada IDFC, nggak tau sekarang apa masih jalan

Anonim mengatakan...

film sampah

Anonim mengatakan...

bagus film Vina

Anonim mengatakan...

masa depan yang absurd

Anonim mengatakan...

lesbian berjaya dan unggul dalam cinematic

Anonim mengatakan...

Anya Sayang Badass

Anonim mengatakan...

gila ini movie, keren

Anonim mengatakan...

kendaraan rakitan ndak masuk akal

Anonim mengatakan...

ayo nonton sebelum turun layar bioskop

Anonim mengatakan...

nggak bagus, pusing kepala

Anonim mengatakan...

bobo siang di bioskop

Anonim mengatakan...

berasa cuci mata di gurun sahara

Anonim mengatakan...

libur panjang bawa bocil nonton film dewasa itu mirip ajak ke kebon animals kingdom

Anonim mengatakan...

bukan film khusus dewasa

Anonim mengatakan...

Ngebayangin WHAT IF furiosa sudah jadi nenek nenek 90 tahun...