REVIEW - KINGDOM OF THE PLANET OF THE APES

25 komentar

Apalagi yang bisa dicapai seri Planet of the Apes pasca trilogi reboot yang ditutup dengan sempurna tujuh tahun lalu? Apakah Kingdom of the Planet of the Apes sebatas upaya mengeruk keuntungan yang memaksakan arah penceritaan? Rupanya bukan. Bahkan secara ambisius ia coba membawa kisahnya ke ranah yang makin kompleks, di mana definisi bagi istilah "perlawanan" dikaburkan.

Berlatar 300 tahun setelah War for the Planet of the Apes (2017), kondisi dunia sudah sama sekali berbeda. Kera berkuasa, sedangkan manusia, akibat terinfeksi flu simian yang bermutasi, kembali menjadi makhluk primitif. Di masa itulah hidup Noa (Owen Teague), simpanse muda dari "klan elang". Disebut demikian karena mereka menjadikan elang sebagai peliharaan yang membantu menuntaskan berbagai aktivitas sehari-hari.

Pertama kali kita bertemu Noa, ia sedang mencari telur elang untuk upacara yang menandai kedewasaannya. Wes Ball (trilogi Maze Runner) yang mengisi posisi sutradara membungkus fase perkenalan itu dengan luar biasa, seolah ingin segera memamerkan segala amunisi yang ia punya. Efek visual yang membuat para kera nampak benar-benar hidup sehingga penonton memedulikan nasib mereka, hingga adegan aksi menegangkan yang tak terkesan artifisial adalah beberapa di antaranya.

Semakin jauh kita mengamati kehidupan Noa, semakin terasa bahwa film ini memiliki bangunan dunia yang cukup solid (tengok bagaimana klan elang kaya akan sentuhan kultural), walaupun nantinya muncul sebuah tanda tanya. Apa yang membuat klan elang hidup begitu terasing hingga masyarakatnya melupakan eksistensi Caesar beserta ajaran-ajarannya? Mungkin sekuelnya kelak bakal memberi jawaban.

Alih-alih hidup dalam damai sebagaimana Caesar perjuangkan, generasi kera ini dibayangi ketakutan akibat tangan besi Proximus Caesar (Kevin Durand), yang memakai nama sang pahlawan untuk berkuasa secara semena-mena. Klan elang pun hancur akibat serangan pasukannya yang sedang mencari keberadaan seorang anak manusia bernama Mae (Freya Allan). 

Ditemani Mae yang terus mengikutinya karena kelaparan, juga Raka (Peter Macon) si orang utan bijak yang ingin meluruskan ajaran Caesar, Noa pun melakukan perjalanan mencari tempat Proximus Caesar menawan seluruh anggota klannya. Perjalanan yang meski dilatari lanskap post-apocalyptic megah berhiaskan bangkai kapal tanker dan reruntuhan bandara, di luar dugaan tampil intim, dengan tempo lambat pula berskala kecil (didominasi obrolan dua kera). Langkah berani untuk blockbuster dengan biaya 165 juta dollar. 

Bukan berarti Ball tak piawai menangani spektakel. Sebaliknya, ia begitu lihai mengombinasikan gerak kamera dinamis dengan ketepatan pemakaian CGI untuk melahirkan sederet aksi intens. Di situlah letak keunikan Kingdom. Ada kalanya ia terasa sebagai drama yang "kecil", namun saat beralih ke aksi, tanpa terkesan janggal, filmnya bertransformasi menjadi sesuatu yang jauh lebih masif. 

Satu yang patut disayangkan adalah kurangnya eksplorasi terhadap tema "nabi palsu" yang diwakili oleh Proximus Caesar. Padahal poin ini merupakan cara cerdik untuk mengaitkan Kingdom selaku sekuel yang berdiri sendiri dengan trilogi reboot-nya, sekaligus pengembangan natural dari kisah sebelumnya. Fokus naskahnya terbagi dengan keharusan memaparkan proses perkenalan Noa dengan dunia luar. Proximus pun berakhir sebagai antagonis pengincar kuasa biasa. 

Beruntung, seiring bergulirnya waktu, tema utamanya, yakni pertanyaan soal "Dapatkan manusia dan kera hidup berdampingan?" turut mengalami peningkatan dalam kadar eksplorasinya. Semakin kompleks, karena yang bergesekan adalah dua pihak dengan alasan kuat. Manusia dengan ambisi mengklaim kembali dunia yang mereka bangun, melawan kera yang enggan mengalami kemunduran demi memenuhi hasrat berkuasa pihak lain yang bahkan tak memedulikan mereka.

Konklusi Kingdom of the Planet of the Apes menutup konflik tersebut dengan cantik, sembari menyiratkan bahwa mungkin saja, apa yang baru kita saksikan selama 145 menit (berlalu tanpa terasa) adalah proses lahirnya dua figur yang kelak bakal memimpin spesies masing-masing memperjuangkan kemerdekaan mereka. 

25 komentar :

Comment Page:
Udin mengatakan...

Gila, merinding pas scene pembukanya yang singkat itu. Endingnya lumayan bikin melongo dan bertanya-tanya. jarang sekali film empat kali beruntun hasilnya bagus semua..

Anonim mengatakan...

Proximus Not Yet Dead, Bangkit Kembali....

Anonim mengatakan...

BABAK PERTAMA DARI TIGA BABAK BAGIAN KE~2 "CAESAR CINEMATIC UNIVERSE

🔥

Anonim mengatakan...

nonton monyet naik kuda

Anonim mengatakan...

evolusi monkeys & humans

Anonim mengatakan...

Monyet nya gagah ganteng

Anonim mengatakan...

pengen peluk monyet cute

Anonim mengatakan...

slowburn plot twist bersambung

Anonim mengatakan...

tragedi buah apel

Anonim mengatakan...

koneksi ke pesawat antariksa scene babak pertama film planet of the apes 1968

Anonim mengatakan...

ngantuk

Anonim mengatakan...

opa monyet

Anonim mengatakan...

sugar daddy proximus caesar

Anonim mengatakan...

para kera nya gagah jantan macho banget

Anonim mengatakan...

streaming aja

Anonim mengatakan...

Sashya Subono Halse sebagai facial animator Wētā FX selaku studio yang mengerjakan animasi film Hollywood kingdom of the ape emang keren

Anonim mengatakan...

film cipung

Anonim mengatakan...

nangis gue lihat film ini

Anonim mengatakan...

bayangin monyet di rumah gue nanti jadi apa

Anonim mengatakan...

good movie bad scenario

Anonim mengatakan...

wow keren cinematic universe benang merah monyet

Ayam kecil mengatakan...

Menurut bang Rasyhid apakah ada kesengajaan pendekatan karakter Noa sengaja struktur muka dibikin mirip Caesar,dan dia juga memiliki warna mata yang sama dengan Caesar. Karena difilm keempat ini saya seolah2 berharap caesar masih hidup,karena dia punya karisma pemimpin yang jadi daya tarik franchise ini

Anonim mengatakan...

kalah sama Vina penguasa bioskop

Anonim mengatakan...

bagus nonton di IMAX 4DX

Anonim mengatakan...

no bawa bocil ke bioskop, please