REVIEW - BAD BOYS: RIDE OR DIE
Memasuki film keempat dengan usia franchise yang mendekati kepala tiga, Bad Boys memutuskan untuk mengambil ilmu seri Fast & Furious terkait metode memperpanjang usia. Gelaran aksi semakin kental inovasi, pernyataan "one last ride" di judul sebelumnya dikoreksi, sedangkan kisah serta karakter masa lalu dikunjungi kembali guna mengembangkan (baca: memanjangkan) ceritanya. Oh, dan tentunya keluarga dijadikan aspek terpenting.
Belum ada karakter yang hidup kembali di sini. Setidaknya bukan secara harfiah, karena Kapten Conrad Howard (Joe Pantoliano) yang tewas di Bad Boys for Life (2020) tidak dibiarkan tenang di kuburnya, tatkala muncul bukti bahwa ia terlibat tindak korupsi yang menghubungkannya dengan sebuah kartel. Tentu dua jagoan kita, Mike (Will Smith) dan Marcus (Martin Lawrence) menolak tinggal diam.
Seiring upaya keduanya membersihkan nama mendiang sang kapten, peristiwa-peristiwa lama dikupas lagi untuk dipertanyakan kebenarannya, sementara Armando (Jacob Scipio), putera Mike yang menjadi antagonis di film ketiga, kini berbalik ada di pihak sang ayah sebagai bahan baku bagi kisah seputar keluarga. Chris Bremner dan Will Beall bak menulis naskahnya selepas berdiskusi dengan Chris Morgan.
Hasilnya adalah pembaruan tanpa harus berubah terlalu radikal sampai mengalienasi para penggemar. Bad Boys: Ride or Die tampil segar sekaligus familiar. Mike dan Marcus masih terus beradu argumen, biarpun sekarang kepribadian mereka bak tertukar.
Pasca nyaris tewas akibat serangan jantung Marcus bertransformasi menjadi individu yang tidak takut pada maut. Sebaliknya, didorong kekhawatiran akan keselamatan orang-orang terdekatnya, Mike yang dikenal sinting justru mengalami gangguan kecemasan.
Bagaimana elemen tersebut ditangani (kemudian diberi konklusi) oleh naskahnya mungkin tak menghasilkan penelusuran psikis mendalam, namun daya hiburnya harus diakui cukup efektif. Apalagi ditunjang chemistry kuat dua aktornya dalam melakoni banter, materi humor yang sebenarnya tidak selalu tepat sasaran pun minimal selalu memancing senyum berkat kehebatan mereka (terutama Lawrence) dalam menangani komedi.
Tapi jika nantinya Ride or Die terbukti memperpanjang napas Bad Boys, tidak ada yang lebih berjasa dibanding duo Adil El Arbi dan Bilall Fallah di kursi sutradara. Inovasi yang mereka bawa bersama sang penata kamera, Robrecht Heyvaert, sungguh luar biasa. Hampir tidak ada adegan aksi yang digarap ala kadarnya.
Pertarungan di atas pesawat yang mengudara, hingga sekuen penyerbuan di babak puncak, tampil layaknya ruang pameran bagi ragam bentuk inovasi gerak kamera sarat kreativitas. Liar, dinamis, seru. Film ini jelas memilih "ride" daripada "die". Bukan sekadar berkendara santai, namun melaju sekencang mungkin.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar