REVIEW - MONISME

Tidak ada komentar

Apa jadinya jika kamu mengetahui suatu fakta penting dengan urgensi tinggi untuk disampaikan, namun akibat kuasa suatu pihak, menunjukkan dan mewartakan realita itu secara apa adanya menjadi hal yang mustahil? Kalau pertanyaan tersebut dilontarkan kepada Riar Rizaldi selaku sutradara Monisme, mungkin ia bakal menjawab, "Ciptakan saja realita versimu sendiri". 

Begitulah kekuatan sinema. Dia menyediakan wahana untuk menciptakan apa pun sebebas mungkin. Itu pula yang Riar Rizaldi lakukan kala menuturkan berbagai kisah seputar manusia-manusia di sekeliling Gunung Merapi. Naskah yang memberi kredit pada "orang-orang yang hidup di kaki Gunung Merapi" bercerita dengan semaunya, mengalir tanpa memedulikan garis yang membatasi fiksi dan realita. 

Ada beberapa cerita yang disampaikan, dari rutinitas dua ahli vulkanologi (Rendra Bagus Pamungkas dan Kidung Paramadita), jurnalis (Kidung Paramadita) yang mewawancarai penambang pasir (Rendra Bagus Pamungkas) guna mengungkap praktik korupsi, hingga seorang warga (Rendra Bagus Pamungkas) dengan segala pemujaannya terhadap Merapi. Ya, satu aktor memerankan lebih dari satu peran, bak mewakili ragam perspektif (sains, spiritual, ekonomi) yang disatukan oleh Merapi selaku figur "absolut". 

Di tiap kisah, sekelompok ormas (dipimpin Whani Darmawan) selalu memamerkan kuasa, melakukan persekusi kepada mereka yang coba mengungkap kebenaran, menggambarkan cengkeraman premanisme yang mengakar kuat di Yogyakarta. 

Kondisi di atas, termasuk korupsi di proyek tambang, merupakan realita yang akan sulit diberitakan secara apa adanya (sebagai dokumenter misal). Bayangkan ancaman yang berpotensi diterima dari para pemegang kepentingan. Itulah mengapa Riar Rizaldi membangun dunianya sendiri. Diciptakannya fiksi yang membaurkan batasan realita. Fiksi yang menelanjangi realita. 

Penceritaannya mungkin perlu dipadatkan (durasi 115 menit menghasilkan beberapa momen draggy), pun sebagai film yang ingin mengaburkan batas antara fiksi dan dokumenter, batas itu tidak seberapa kabur (mudah memilah adegan mana yang "direkayasa", mana yang "nyata"), namun pesona Monisme lewat narasinya yang misterius layaknya perjalanan menelusuri tubuh Merapi memang begitu menghipnotis. 

(Bioskop Online)

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - BANGSAL ISOLASI

Tidak ada komentar

Di luar durasi yang cuma 76 menit, Bangsal Isolasi memang film yang bergerak cepat. Begitu cepat, alih-alih seru ia lebih terasa buru-buru. Intensitas dan misteri pun jadi tumbal. Padahal karya penyutradaraan Adhe Dharmastriya (#Modus, Nikah Yuk, Iblis dalam Kandungan) ini punya potensi mengeksplorasi subgenre women in prison yang masih sangat jarang di sinema Indonesia modern. 

Weni (Kimberly Ryder) baru saja dijebloskan ke dalam penjara akibat kasus narkoba. Bukan penjara biasa, melainkan kurungan bak neraka dunia di mana Herman (Piet Pagau) si kepala sipir memimpin dengan tangan besi, sedangkan Bella (Wulan Guritno) jadi tahanan yang paling ditakuti karena tak ragu menghabisi siapa pun yang melawannya. 

Misteri yang ditanam di awal sejatinya cukup menarik. Seperti judulnya, muncul tanda tanya di benak Weni mengenai bangsal isolasi, selaku sumber suara misterius yang kerap terdengar di malam hari. Benarkah gosip mengenai teror makhluk halus di ruang hukuman tersebut? 

Jawabannya "tidak". Bangsal Isolasi masih dihantui kewajiban untuk menyelipkan jump scare berisi penampakan-penampakan demi memenuhi selera mayoritas penonton Indonesia, namun tak ada gangguan gaib di sini. Lalu bagaimana wujud rahasia bangsal isolasi sesungguhnya? Dari situlah ketertarikan penonton coba (dan sempat berhasil) dibangun.

Sayangnya ketertarikan terhadap misteri tersebut takkan berlangsung lama, karena seperti sudah disinggung sebelumnya, Bangsal Isolasi bergerak secepat kilat. Pertanyaan dan jawaban datang silih berganti dalam hitungan menit, tanpa menyisakan ruang bagi rasa penasaran dan ketegangan untuk tumbuh. Naskah buatan J.P. Mulyadi an Oscar Haviv Sebastian seperti rangkuman dari sebuah draft yang justru lebih utuh dibanding versi final. 

Padahal Bangsal Isolasi memiliki modal memadai guna melahirkan film women in prison yang memperkaya variasi sinema tanah air. Tata artistik miliknya cukup apik dalam menciptakan sebuah penjara kumuh (walau sebagian besar telah disediakan oleh interior Benteng Van der Wijck yang jadi lokasi pengambilan gambar), sedangkan isian musik Ganden Bramanto yang membentang dari rock blues hingga heavy metal mampu membangun suasana unik ala film era 60-an dan 70-an. 

Di jajaran cast, nama-nama seperti Kimberly Ryder dan Wulan Guritno menghadirkan penampilan "aman" sesuai kebutuhan. Niniek Arum sebagai Imah, seorang tahanan dengan gangguan jiwa malah jadi pelakon yang paling menonjol. Sementara Ibrahim Risyad sebagai Adit si sipir berada di kutub berlawanan, tatkala mendadak mengeluarkan teriakan luar biasa kaku yang mampu memecah keheningan studio lewat tawa penonton.

Tentu sulit mengharapkan kadar eksploitasi setingkat film-film women in prison pada umumnya, baik dalam bentuk kekerasan atau seksualitas, mengingat ketatnya sensor di Indonesia, namun setidaknya Bangsal Isolasi masih berusaha menyelipkan beberapa baku hantam berdarah. Andai saja ia tahu kalau pedal gas tidak harus selalu dipacu.

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - DEADPOOL & WOLVERINE

9 komentar

Ada anggapan bahwa belakangan ini MCU terlalu bergantung pada cameo. Mungkin benar, tapi Deadpool & Wolverine mampu memanfaatkan deretan penampilan spesial miliknya untuk sesuatu yang lebih esensial. Setiap kemunculan merupakan jawaban bagi harapan, baik harapan para penggemar maupun sang bintang, Ryan Reynolds. Deadpool & Wolverine bukan sebatas dibumbui cameo, namun menjadikannya bahan baku utama.

Kecintaan Reynolds terhadap superhero nampak jelas di sini, terutama jagoan-jagoan yang mendominasi layar lebar di era 2000-an tatkala genrenya mulai bertumbuh. Banyak di antaranya dimiliki 20th Century Fox (Fantastic Four, X-Men, Daredevil), dan Deadpool & Wolverine ibarat wujud ketidakrelaan Reynolds, jika pasca akuisisi Disney, tokoh-tokoh idolanya tersebut dibuang begitu saja, dibiarkan terlupakan di ruang hampa. 

Sulit membahas alur film ini tanpa membocorkan bagian-bagian yang sebaiknya dibiarkan menjadi rahasia. Tapi sederhananya, para penulis naskahnya (Ryan Reynolds, Rhett Reese, Paul Wernick, Zeb Wells, Shawn Levy) menerjemahkan kondisi dunia nyata, di mana tanpa akusisi Disney sekalipun, semesta superhero milik Fox bakal sulit mempertahankan eksistensi setelah kematian "sang jangkar", yakni Wolverine (Hugh Jackman) di Logan (2017). Sebuah kecerdikan bertutur yang kemungkinan bakal kurang diapresiasi. 

Singkat cerita, pertemuan antara Deadpool / Wade Wilson (Ryan Reynolds) dan agen TVA bernama Mr. Paradox (Matthew Macfadyen) membawa "Merc with a Mouth" bersinggungan jalan dengan Wolverine. Konon ia adalah variant Wolverine terburuk yang telah mengecewakan semestanya. 

Seolah bertindak selaku penyeimbang bagi keliaran mulut Reynolds yang enggan berhenti melempar lelucon, Hugh Jackman menghadirkan salah satu penampilan paling menyakitkan dari semua jagoan MCU. Kedua aktor saling mengisi, sebagaimana kedua karakternya mendapati satu sama lain bak partner yang memfasilitasi tendensi kekerasan masing-masing. Terciptalah hubungan bromance yang menjadikan aksi saling tusuk sebagai ungkapan kasih sayang.

Beberapa pihak mungkin bakal mengeluhkan alurnya yang cenderung tipis maupun konklusi yang terkesan menyederhanakan terkait konflik dengan Cassandra Nova (Emma Corrin menciptakan antagonis yang menarik), namun semuanya terbayar lunas saat di kursi sutradara, Shawn Levy (Real Steel, Free Guy, The Adam Project) berhasil melahirkan salah satu aksi paling stylish (dan tentunya paling brutal) sepanjang sejarah MCU, dibantu tata kamera garapan George Richmond yang menolak hanya diam di tempat saat menangkap darah yang terus muncrat. 

Tanpa cameo, Deadpool & Wolverine bakal tetap menyenangkan walau daya hiburnya tentu berkurang. Tapi itulah tujuan filmnya. Sekali lagi, ia memang menjadikan cameo sebagai bahan baku utama. Reynolds ingin mengabulkan sebanyak mungkin harapan penonton. Entah lewat kemunculan sosok-sosok tak terduga, atau penampakan benda-benda tertentu. Deadpool & Wolverine dibuat oleh penggemar untuk para penggemar. 

9 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HIJACK 1971

3 komentar

Pada 23 Januari 1971, pesawat penumpang yang tengah menuju Seoul dibajak oleh pria bersenjatakan granat, sebelum akhirnya mendarat darurat di pantai dekat area Sokcho. Ledakan granat di udara membunuh si pembajak dan seorang kru pesawat. Sebuah bahan baku sempurna yang hanya memerlukan taburan sedikit bumbu tambahan guna melahirkan tontonan emosional khas sinema Korea Selatan. 

Hijack 1971 bakal mengabulkan harapan penonton yang mencari banjir air mata, melalui perjuangan para kru pesawat yang menghadapi ancaman pembajak bernama Yong-dae (Yeo Jin-goo). Gyu-sik (Sung Dong-il) adalah kapten di penerbangan tersebut, sedangkan Tae-in (Ha Jung-woo) menjadi kopilot. Yong-dae menuntut agar pesawat berganti arah menuju Korea Utara. 

Sebelum lepas landas, kita menyaksikan bagaimana para penumpang berlarian dari pintu bandara guna berebut kursi. Di antara mereka nampak dua perempuan tua. Satu orang melepas alas kaki sewaktu memasuki pesawat, satu lagi membawa ayam ke kabin. Raut kekaguman merekah di wajah banyak orang melihat gedung-gedung yang makin mengecil setelah pesawat mengudara. 

Sungguh masa yang amat berbeda dibanding sekarang. Bayangkan betapa mencekamnya kala dalam hitungan menit, perasaan takjub itu berubah jadi ketakutan. Naskah buatan Kim Kyung-chan secara cerdik menjadikan kondisi tersebut sebagai pondasi bagi jalinan emosi kisahnya.

Perihal politis turut disentil di sini. Yong-dae ingin membelot karena ia kerap jadi korban persekusi aparat, diberi cap "komunis", gara-gara sang kakak kabur ke Korea Utara. Bagaimana bisa sebuah negara menuntut patriotisme, sementara warganya hidup menderita akibat ulah negara itu sendiri? 

Paruh keduanya agak tersendat oleh minimnya variasi konflik yang naskahnya beri. Bandingkan dengan bagaimana Emergency Declaration mengisi durasinya yang hampir menyentuh dua setengah jam dengan ragam permasalahan. Tapi rupanya Kim Kyung-chan menyimpan senjata rahasia bernama "third act".

Di babak akhir itulah segalanya dilepaskan: aksi aerial berbalut CGI solid yang membuktikan bahwa Kim Seong-han yang baru menjalani debut penyutradaraan menyimpan potensi besar, rentetan masalah teknis yang silih berganti menggerogoti pesawat, hingga penggambaran menggugah terkait tindakan kepahlawanan si tokoh utama yang niscaya bakal membuat mata banyak penonton sembap. 

Naskahnya yang dipenuhi kalimat-kalimat quotable dibawakan secara mumpuni oleh barisan pelakonnya. Selain Ha Jung-woo yang sukses menghidupkan sisi heroik karakternya (dibuat berdasarkan Park Wan-gyu, kopilot di kejadian aslinya) maupun Yeo Jin-goo yang akan mudah kita benci, nama-nama lain tampil tak kalah hebat meski dengan screen time minim, terutama Sung Dong-il dan Im Se-mi (memerankan Moon-young, istri Tae-in) yang mampu memicu dampak emosi besar berbekal satu-dua baris kalimat saja. 

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - LONGLEGS

4 komentar

Banyak film berusaha menjadi "psikologis", tapi jarang yang seperti Longlegs buatan Osgood Perkins (putera Anthony Perkins, pemeran Norman Bates di Psycho). Semua elemen artistiknya diciptakan supaya penonton memahami perasaan karakternya, sembari tanpa sadar tertular perasaan yang sama. Seolah setan sedang turun tangan menjangkiti umat manusia dengan menyebarkan segala jenis emosi negatif. 

Longlegs memang bakal sering mendapat cap "satanic". Bayangkan jika setan sendiri yang menulis sekaligus menyutradarai The Silence of the Lambs (1991) atau Seven (1995), sehingga membuat formula cerita yang sesungguhnya familiar terasa segar, dan tentunya, lebih kejam nan mencekam. 

Mengambil latar 90-an, kita dibawa mengikuti kinerja Lee Harker (Maika Monroe) yang baru direkrut sebagai agen FBI. Biarpun sama-sama pemula, Lee bukanlah Clarice Starling (Jodie Foster) yang kokoh serta dipenuhi kepercayaan diri. Jangankan mengejar pembunuh, berinteraksi dengan sesama manusia saja nampak berat bagi Lee yang senantiasa terlihat canggung. 

Padahal Lee memiliki modal besar sebagai agen. Intuisinya di atas rata-rata. Dia bisa mengetahui lokasi persembunyian kriminal tanpa satu pun petunjuk. Pihak FBI bahkan berasumsi bahwa anggota baru mereka ini adalah cenayang. Kemampuan spesial itu ia pakai untuk mengejar Longlegs (Nicolas Cage), pembunuh berantai yang telah beraksi selama beberapa dekade. 

Modus operandi Longlegs sungguh misterius. Tidak ada bukti ia pernah menginjakkan kaki di TKP, seolah mampu menggerakkan korban dari jauh supaya saling bunuh. Longlegs pun diyakini sebagai pemuja setan. Apakah rangkaian kasus ini memang melibatkan perihal supernatural, atau terdapat trik rumit yang belum terungkap? Naskah buatan Perkins menjadikan pertanyaan tersebut sebagai pondasi solid bagi misterinya yang dipresentasikan secara menarik. 

Sementara investigasi terjadi, kengerian rutin disebar di tiap sisi. Perkins enggan menerapkan teknik murahan dalam menakut-nakuti. Dibuatnya penonton mendengarkan musik atmosferik gubahan Zilgi (alias Elvis Perkins, adik sang sutradara), sembari menatap ke arah ruang kosong, kemudian sesekali melihat gambar-gambar aneh yang tiba-tiba terselip dalam adegan. 

Hal-hal di atas turut merepresentasikan konflik yang berkecamuk di batin protagonisnya. Kita diajak memahami itu, lalu tanpa sadar ikut merasakannya. Ibarat stimulus subliminal yang menerobos masuk ke dalam bawah sadar penonton guna menyuntikkan rasa takut. Bisa jadi banyak orang bakal tak menyadari mengapa jantung mereka mendadak berdetak lebih cepat, atau napas mereka makin berat kala menyaksikan beberapa adegan film ini. 

Kesan mencekam sekaligus tak berdaya juga dibangun oleh dinamika Lee Harker dan Longlegs. Nicolas Cage dengan kegilaan khasnya melahirkan sosok yang menjauhi tiap sisi kemanusiaan, dan sebaliknya, Maika Monroe mewakili kerapuhan yang amat humanis. Jika The Silence of the Lambs memberi penonton "pegangan" dalam sosok Clarice yang tangguh, maka Lee yang rapuh bakal membuat kita merasa sendirian mengarungi teror si pembunuh dengan riasan tebal. 

Walau tidak mendominasi durasi, Longlegs tetap mempersenjatai diri dengan sentuhan kekerasan, terutama pada babak ketiga. Di klimaks itu Perkins bukan ingin memamerkan kebrutalan semata, melainkan benar-benar memakainya untuk membangun kengerian dan ketegangan, selaku pengantar menuju konklusi kelam yang mengingatkan pada nihilisme Seven (keseluruhan alurnya didesain menyerupai karya David Fincher tersebut). Hail Satan! 

4 komentar :

Comment Page:

REVIEW - PROJECT SILENCE

Tidak ada komentar

Project Silence bakal selalu diingat sebagai salah satu film final Lee Sun-kyun (Land of Happiness yang rilis di Korea Selatan pada 14 Agustus jadi kemunculan terakhirnya di layar lebar) sebelum ia meninggal akhir tahun lalu. Sebuah kehilangan besar bagi sinema dunia, tapi setidaknya, karya penyutradaraan Kim Tae-gon ini adalah blockbuster seru yang secara cerdik mencampur elemen film bencana dengan natural horror. 

Lee Sun-kyun memerankan Cha Jung-won, ajudan dari Jung Hyun-baek (Kim Tae-woo), seorang capres yang paling dijagokan memenangkan pemilu. Bagaimana nantinya sang aktor menampilkan transformasi kepribadian karakternya bakal membuat penonton makin merindukan sosoknya. 

Jung-won cuma mementingkan kemenangan Hyun-baek hingga menelantarkan banyak hal, dari sisi kemanusiaan miliknya, juga sang puteri, Cha Kyung-min (Kim Su-an), yang hendak berangkat bersekolah ke luar negeri. Sewaktu Jung-won mengantar puterinya, terjadilah kecelakaan berantai di jembatan yang menghubungkan bandara dan pusat kota Seoul. Semua diawali oleh tindak tak bertanggung jawab seorang streamer yang menyiarkan aksinya memacu mobil di jalan raya. Tidak sulit menebak bagaimana opini trio penulis naskahnya, Kim Tae-gon, Kim Yong-hwa, dan Park Joo-suk, terhadap kultur media sosial modern. 

Doktor Yang (Kim Hee-won) termasuk salah satu yang terjebak kecelakaan. Bersama beberapa anggota militer, ia sedang mengantar kontainer berisi puluhan anjing yang dijadikan subjek eksperimen bernama "Project Silence" guna menciptakan senjata mematikan. Bisa ditebak, suatu kesalahan membuat anjing-anjing tersebut kabur dan mengancam nyawa semua orang yang berada di jembatan. 

Situasinya makin buruk di saat: 1) Jembatan nyaris runtuh, 2) Muncul kabut tebal yang membatasi jarak pandang. Sebuah latar sempurna bagi sebuah tontonan menegangkan. Bayangkan kombinasi antara The Mist (2007), Cujo (1983), dan barisan film-film bencana buatan Roland Emmerich. 

Ditunjang CGI kelas satu yang membuat berbagai ledakan serta serbuan para anjing terlihat cukup meyakinkan, Kim Tae-gon memamerkan kemampuannya menggerakkan blockbuster secara cepat, dinamis, sembari dengan apik menjaga intensitas. Apalagi naskahnya mampu menyediakan amunisi memadai supaya 96 menit durasinya tampil padat. 

Beberapa poin di ceritanya mungkin terkesan konyol (termasuk soal alasan mengapa para anjing menyerang), pun selain Cha Jung-won dan puterinya, karakter lain seperti Yoo-ra (Park Ju-hyun) si atlet golf ternama beserta sang manajer, Mi-ran (Park Hee-von), maupun Joe Park (Ju Ji-hoon) si sopir truk derek yang berfungsi sebagai comic relief, tak mendapat eksplorasi mumpuni. 

Tapi Project Silence adalah film Korea, yang tidak peduli sedangkal apa pun penokohannya, senantiasa piawai mengaduk-aduk emosi penonton. Di sini, momen emosional tersebut hadir kala salah satu karakternya berkorban bagi orang lain. Itu pula pesan utama yang film ini coba sampaikan. 

Seiring waktu kita menyaksikan bagaimana pihak pemerintah tidak ragu untuk berbohong, menyuap, sampai mengorbankan masyarakat demi menjaga reputasi dan kekuasaan. Sebaliknya, rakyat jelata bersedia mempertaruhkan nyawa demi orang-orang tercinta. Bahkan anjing buas pun rela mati demi anak mereka. Mungkin para pemegang kuasa itu memang lebih rendah dari anjing. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - TWISTERS

Tidak ada komentar

Twisters adalah usaha mengulangi keseruan Twister (1996), film bencana yang sedemikian populer hingga meningkatkan peminat jurusan meteorologi di Amerika Serikat sebanyak 10%, sembari menambal hal yang banyak dipercaya sebagai kekurangan dari karya Jan de Bont tersebut, yakni drama humanis. Walau status legendaris yang sama bakal sukar didapat, film arahan Lee Isaac Chung (Minari) ini berhasil menjustifikasi eksistensinya. 

Meski menyebut diri sebagai standalone sequel, menilik minimnya relasi dengan film pertama ditambah caranya bercerita, Twisters lebih cocok disebut remake. Keduanya sama-sama dibuka oleh gempuran mematikan tornado F5 yang menewaskan orang terdekat si tokoh utama sekaligus mendatangkan trauma baginya. Hanya saja, adegan milik Twisters lebih brutal, mengejutkan, pula menghasilkan luka yang lebih membekas. 

Kate (Daisy Edgar-Jones) adalah nama si tokoh utama. Beberapa tahun selepas tragedi yang membuatnya berhenti dari kegiatan mengejar tornado, reuni dengan si teman lama, Javi (Anthony Ramos), membawa Kate kembali ke dunia penuh bahaya tersebut. Dunia di mana perempuan muda sepertinya dipandang sebelah mata. 

Tapi bakat Kate memang mengungguli banyak orang di bidangnya. Jika protagonis film pertamanya menciptakan alat bernama Dorothy guna mengumpulkan data terkait tornado, sejalan dengan prinsip "the bigger the better" dalam sekuel, di sini Kate melangkah lebih jauh. Dia bermimpi menciptakan alat untuk "membunuh" tornado. 

Kate turut bersinggungan jalan dengan Tyler (Glen Powell), seorang pesohor YouTube yang dikenal luas berkat kenekatannya berburu tornado. Berkat chemistry solid Daisy Edgar-Jones sebagai figur perempuan tangguh dan Glen Powell yang karismatik, juga naskah buatan Mark L. Smith (The Revenant, The Midnight Sky) yang menjauhi kesan corny, jalinan romansa dua karakternya tidak terasa mengganggu.

Tyler terjun ke lapangan bersama timnya, yang berlawanan dengan Javi dkk. dengan penampilan rapi serta teknologi canggih milik mereka, terdiri atas individu-individu serampangan. 

Naskahnya dengan cerdik mengecoh penonton, memposisikan kelompok Tyler layaknya antagonis di paruh awal, sebelum banting setir dan melempar pesan mengenai pantangan menilai manusia dari tampilan luar belaka. Berangkat dari situ, Twisters juga menghantarkan benturan antara keserakahan korporasi dengan perjuangan akar rumput. 

Biarpun menggunakan kerangka alur yang serupa (penonton bisa membuat checklist panjang mengenai kemiripan poin plot kedua film), Twisters memang lebih banyak bercerita ketimbang pendahulunya. Hasilnya adalah pisau bermata dua. 

Di satu sisi, para pencari tontonan yang bergerak sekencang tornado F5 macam film pertamanya mungkin bakal terganggu oleh babak kedua yang dipenuhi titik perhentian. Tapi di sisi lain, perhentian-perhentian itu berguna menguatkan pondasi dramatis kisah humanisnya. 

Alhasil klimaksnya tidak lagi sebatas diisi perjuangan bertahan hidup dari terjangan tornado. Kali ini karakternya tidak hanya lari. Di hadapan putaran angin dahsyat yang dihidupkan oleh CGI mumpuni, sang protagonis melaju kencang ke pusat bencana didasari satu tujuan: menyelamatkan nyawa sesamanya. Twisters bukan sekadar menciptakan kehancuran demi hiburan, ia pun mengingatkan penonton akan pentingnya kemanusiaan. 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - JURNAL RISA BY RISA SARASWATI

Tidak ada komentar

Jurnal Risa by Risa Saraswati. Kenapa mesti ada repetisi kata "Risa" dalam judulnya? Jika ingin membedakan dengan serial Jurnal Risa (2023) buatan Awi Suryadi, bukankah cukup menambahkan "The Movie" di belakang? Mungkin orang-orang di balik film ini berambisi tampil beda, yang akhirnya malah memberi kesan berlebihan, di saat kesederhanaan klise semestinya sudah cukup. 

Bukan cuma judul, masalah serupa juga menggerogoti hasil akhir filmnya. Sebuah horor mokumenter yang berbuat terlalu banyak, baik terkait narasi maupun gaya presentasi. Padahal esensi subgenre itu terletak pada kesederhanaannya. Kelahirannya didasari upaya membawa suatu karya sedekat mungkin dengan realita. Jurnal Risa by Risa Saraswati amatlah jauh dari itu. 

Alurnya bercerita mengenai para pembuat film yang sedang menyusun dokumenter seputar budaya klenik Indonesia. Gagasan yang menarik, sampai mereka memutuskan untuk mengikuti Risa Saraswati dkk. memproduksi konten penelusuran, dan esensi dari eksistensi tim pembuat dokumenter itu pun lenyap. Tanpa mereka, film ini tetap bisa berjalan tanpa perubahan. 

Sekali lagi, naskah buatan Lele Laila berambisi tampil beda sekaligus lebih berbobot dibanding konten YouTube Risa (yang mana tidak perlu), namun berujung melahirkan sesuatu yang sama persis. Intinya, pasca Prinsa (sebagaimana semua pelakon lain di film ini, Prinsa Maandagie memerankan versi fiktif dirinya) selaku salah satu peserta uji nyali memanggil nama "Samex", peristiwa aneh mulai menghantui hidupnya. 

Konon Samex adalah hantu yang paling ditakuti oleh Risa. Nantinya usaha membebaskan Prinsa dari gangguan gaib membawa tim Jurnal Risa mengunjungi desa tempat kelahiran Samex. Jangan harap ada eksplorasi mitologi memadai di sana. Bahkan fakta mendasar seperti arti namanya ("Sawarga Malapetaka" bila mengacu pada novel Samex: Sawarga Malapetaka karya Risa Saraswati) pun luput dibahas. 

Naskahnya bahkan gagal menuturkan hal sederhana seputar kaitan antara kutukan yang melanda desa tempat Samex berasal dengan gangguan yang Prinsa alami dengan rapi serta mudah dipahami. Alhasil babak puncaknya melahirkan kekacauan, di tengah kegagalan Rizal Mantovani selaku sutradara mengkreasi teror. Sebagaimana deretan jumpscare medioker tak bertaring yang telah banyak muncul sebelumnya, klimaks film ini tersaji minim intensitas. 

Saya takkan mempermasalahkan kualitas kamera yang jernih. Realisme mokumenter tidak berbanding lurus dengan buruknya resolusi gambar. Tapi lain cerita dengan pemakaian musik serta efek suara yang terlampau riuh, atau keberadaan sudut kamera "gaib" yang entah berasal dari mana. Semuanya bermuara kembali pada satu poin: upaya berlebihan yang tidak perlu dilakukan. 

Jika ada yang semestinya ditambah, itu adalah kemunculan Risa Saraswati yang menghilang di mayoritas durasi termasuk klimaks. Orang yang namanya dua kali muncul di judul malah punya screen time paling sedikit. Sungguh film yang penuh dengan "kebalikan". 

Tidak ada komentar :

Comment Page:

REVIEW - ESCAPE

2 komentar

Escape mengambil formula film-film tentang upaya kabur dari penjara, lalu memberi twist menarik: Apa jadinya kalau penjara yang dimaksud bukan sebuah bangunan berterali besi melainkan sebuah negara, di mana kepercayaan terhadap "takdir" menumbuhkan tembok-tembok tebal tak kasat mata? 

Setelah 10 tahun menjalani wajib militer sebagai prajurit Korea Utara, Lim Gyu-nam (Le Je-hoon) akhirnya akan segera bebas. Tapi kebebasan itu tak terasa membebaskan akibat sistem ketat di Korea Utara yang mengatur masa depan warganya. Si miskin tetaplah miskin, si kaya semakin kaya. Gyu-nam yang enggan menyerah pada takdir pun memutuskan membelot ke Korea Selatan. 

Setiap malam selepas semua orang di markas terlelap, Gyu-nam mempersiapkan pelariannya. Jarak tempuh diukur, lokasi ranjau dekat garis perbatasan ditandai, peta pun dibuatnya. Tapi sebagaimana film-film bertema "prison break" lain, persiapan matang tersebut bakal diganggu oleh hal-hal di luar perkiraan. 

Naskah buatan Kwon Seong-hwi dan Kim Woo-geun cerdik menyediakan rintangan bagi sang protagonis, sehingga membuat Escape memiliki konflik yang padat selama 94 menit durasinya. Situasi bertambah rumit, skala cerita pun membesar hingga tak lagi cuma berkutat pada upaya Gyu-nam kabur dari markasnya yang terletak dekat perbatasan dua negara. 

Salah satu batu sandungan yang harus dilewati Gyu-nam adalah Mayor Lee Hyun-sang (Koo Kyo-hwan) yang bertugas untuk memburunya. Jika Lee Je-hoon mampu mewakili semangat manusia yang memperjuangkan kebebasan melalui aktingnya, maka Koo Kyo-hwan, seperti sudah sering ia lakukan, tampil layaknya magnet yang begitu kuat menarik atensi penonton. Sang aktor membawakan sosok Lee Hyun-sang secara eksentrik dan menarik, mengingatkan pada Christoph Waltz sebagai Hans Landa di Inglourious Basterds (2009). 

Dinamika Gyu-nam dan Hyun-sang menghadirkan gesekan dua kutub berlawanan. Gyu-nam mewakili sisi yang mendambakan kebebasan dan bersedia mengalami kegagalan selama melangkah di jalannya sendiri, sedangkan Hyun-sang percaya pada suratan takdir, meski itu memaksanya menanggalkan jati diri (di sinilah penampilan spesial dari Song Kang berperan). 

Narasi Escape tidak selalu sempurna. Pertemuan Gyu-nam dengan sekelompok nomad menjanjikan subplot penyelamatan seru yang tak pernah terealisasi, sehingga pertemuan itu seolah hanya dipakai untuk memfasilitasi kemunculan berbagai cameo (Esom, Lee Ho-jung, Hyun Ji Shin). Cukup disayangkan pula, setelah mengisi alur dengan berbagai adu taktik menarik, Escape beralih memakai "leap of faith" yang terkesan malas di babak puncak, tatkala mengharuskan Gyu-nam melintasi ladang ranjau. 

Untungnya pengarahan Lee Jong-pil (Born to Sing, Samjin Company English Class) sanggup menjaga intensitas yang memudahkan penonton memaafkan beberapa kelemahan di atas. Berjalan cepat, padat, akhirnya menutup penceritaan dengan lembut nan hangat, membuat Escape mampu berdiri tegak di tengah banyaknya suguhan bertema konflik Utara dan Selatan. 

2 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DADDIO

1 komentar

Pada era di mana individualisme makin diutamakan (yang mana tidak keliru), banyak individu lalai untuk saling terhubung. Terlibat dalam obrolan di dunia nyata, berbagi perasaan, atau bertukar opini. Sederhananya, berinteraksi. Daddio mengingatkan tentang indahnya saat manusia mampu membangun koneksi dengan sesamanya. 

New York nampak tiada beda dengan kota-kota lain di malam hari. Aktivitas mulai surut seiring waktu yang semakin larut. Di tengah kesunyian itu, seorang perempuan yang tidak kita tahu namanya (Dakota Johnson) menaiki taksi dari bandara JFK. Apartemen miliknya di Manhattan jadi destinasi. Kita panggil saja perempuan ini "Girlie" sesuai dengan yang tercantum di kredit. 

Sepanjang perjalanan, sesekali ia membaca pesan dari seorang pria yang bakal segera kita asumsikan sebagai kekasih Girlie. Pesan bernada mesum itu membuatnya tak nyaman. Dia malah menemukan kenyamanan berinteraksi dengan pria paruh baya yang menyopiri taksinya. Clark (Sean Penn) nama pria itu. 

Clark bagaikan spesies yang hampir punah. Seorang pria tua yang membenci aplikasi modern, sama seperti ketidaksukaannya terhadap penumpang yang membayar menggunakan kartu kredit karena mengurangi kemungkinan ia menerima tip. Sebaliknya, Girlie dengan usia muda serta profesi sebagai programmer bak personifikasi masa kini. 

Naskah buatan sang sutradara, Christy Hall, segera membenturkan dua manusia dalam taksi ini dalam pembicaraan yang menelanjangi ruang intim masing-masing. Girlie yang memancarkan aura "perempuan independen" nyatanya tak sekuat dan semandiri itu, Clark pun tidak sedingin kelihatannya. Kemacetan mendadak akibat sebuah kecelakaan makin memfasilitasi obrolan mereka yang menyentuh beragam topik dari cinta, seks, gender, hingga trauma. 

Satu hal yang segera terasa adalah, bahwa dinamika manusia tidak bisa disederhanakan memakai angka 0 dan 1 layaknya program komputer. Lebih kompleks. Interaksi langsung di dunia nyata berfungsi untuk menguraikan kompleksitas tersebut. Acapkali memancing pemikiran, bahkan sesekali terasa tidak nyaman. Begitulah obrolan antar manusia yang semestinya bukan kita hindari, melainkan pelajari. 

Girlie merasa jengah tatkala Clark mengutarakan pendapatnya yang bernada misoginis, namun tak serta merta menampiknya. Sebaliknya, ia berusaha menggali penyebab hadirnya perspektif tersebut, sekaligus alasan mengapa Clark merasa perlu menyampaikannya. Dari situlah si perempuan muda memulai proses berpikir dan merasakan. 

Tapi toh pada akhirnya era akan berubah, di mana hal-hal yang ketinggalan zaman bakal punah. Clark sesungguhnya menyadari itu. Dia menerima dengan senang hati kala Girlie membayar menggunakan kartu kredit. Zaman berubah, pola pikir berganti, namun manusia tetaplah manusia yang ingin dimanusiakan seharusnya saling memanusiakan.

Girlie dan Clark menunjukkan bagaimana cara memanusiakan orang lain dalam berinteraksi. Keduanya menaruh perhatian besar pada ucapan masing-masing, entah lewat gestur, kata-kata, atau sekadar tatapan mata. Akting Dakota Johnson dan Sean Penn pun sama-sama membuat saya yakin bahwa yang nampak di layar bukan sebatas dua karakter rekaan yang terlibat obrolan sesuai skenario, melainkan dua manusia sungguhan yang bertukar isi hati. 

Christy Hall seolah menggerakkan filmnya mengikuti arus keheningan malam. Tenang. Tidak ada ledakan emosi, bahkan saat hati karakternya bergejolak. Temponya dibuat bak taksi yang enggan menginjak pedal gas terlampau dalam, sebagai cara mengajak penonton berkontemplasi. Lalu perjalanan mencapai tujuan, obrolan tuntas, dan masing-masing manusia kembali menatap kesendiriannya sembari menunggu saat terlelap, merindukan esok hari di mana koneksi yang sama bakal terjalin kembali.

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SEKAWAN LIMO

1 komentar

Melalui Sekawan Limo, Bayu Skak berhasil mencapai apa yang gagal dicapai Raditya Dika beberapa tahun lalu, yakni mengentaskan diri dari citra pria lucu yang mengakrabi patah hati, dengan mengeksplorasi genre di luar komedi romantis. Didukung naskah kreatif hasil tulisan Nona Ica, Bayu telah menguasai "seni menertawai memedi". 

Berlatar Gunung Madyopuro, kita berkenalan dengan Bagas (Bayu Skak) dan Lenni (Nadya Arina) yang hendak memulai perjalanan menuju puncak. Bagas bersedia repot-repot menemani pendakian Lenni tidak lain karena ia menyukai teman sekampusnya tersebut. Sedangkan Lenni nampak menyimpan rahasia di balik kemurungan yang selalu menghiasi wajahnya. 

Tiga orang asing turut serta dalam pendakian: Dicky (Firza Valaza) si sombong yang menyebut diri sendiri sebagai ketua kelompok, Juna (Benidictus Siregar) yang baik hati walau bertampang "intimidatif", serta Andrew (Indra Pramujito) yang ditemukan pingsan di hutan. Seiring waktu, kelimanya justru mulai mendapati rangkaian peristiwa aneh, yang mengerucut pada kemungkinan bahwa salah satu di antara mereka sesungguhnya adalah hantu. 

Sekawan Limo mungkin bukan whodunit cerdas, tapi sekali lagi, penulisan solid Nona Ica melahirkan misteri ringan nan menyenangkan, ketika mampu memancing kecurigaan terhadap tiap karakter. Semua orang pantas dicurigai sebagai hantu, pun kelak terungkap bahwa mereka sama-sama menyimpan rahasia. 

Deretan rahasia itu, ditambah mitos Gunung Madyopuro berupa larangan bagi para pendaki untuk menengok ke belakang sepanjang perjalanan, dipakai sebagai pondasi elemen drama. Kilas balik pun nantinya dipakai secara efektif untuk memberi latar belakang bagi setiap pendaki. Sebagaimana presentasi whodunit tadi, naskahnya tak sampai memberi eksplorasi karakter yang luar biasa mendalam, tapi memadai.

Serupa film-film Bayu sebelumnya, Sekawan Limo masih berkutat pada upaya melupakan luka masa lalu. Bedanya, bukan manis-pahit cinta yang mesti dihadapi, melainkan barisan problematika yang jauh lebih kompleks sekaligus kelam. Gunung dengan segala misteri yang juga kerap dianggap selaku lokasi berkontemplasi merupakan panggung yang sempurna bagi kisahnya

Humor milik Sekawan Limo adalah apa yang saya sebut sebagai "komedi pinggir jurang". Dia mempersenjatai diri dengan berbagai banyolan khas tongkrongan yang cukup berisiko. Jika tidak mempermasalahkan tipikal komedi macam itu (mengolok-olok tampang "kurang ganteng" Juna misalnya), maka Sekawan Limo bakal memproduksi tawa tanpa henti. Apalagi ia ditunjang jajaran pemain yang piawai melucu. Tidak hanya para pemeran utama, karakter pendukung seperti si tukang bakso yang diperankan Cak Ukil pun sukses mencuri perhatian.

Terpenting, Sekawan Limo bisa mengajak penontonnya menertawakan para demit yang menampakkan diri, dari pocong, kuntilanak, hingga genderuwo, dengan cara yang tak jarang kreatif. Mungkin hantu-hantu berparas menyeramkan itu memang tidak sedemikian menyeramkan bila dibanding "hantu masa lalu" yang bahkan tak sanggup diusir oleh jimat sesakti apa pun. 

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - HANDSOME GUYS

1 komentar

Handsome Guys memberi contoh bagaimana remake semestinya dibuat. Bukan cuma salinan mentah untuk mengeruk keuntungan melimpah, tapi sebuah modifikasi yang menyesuaikan kondisi tempat karya baru tersebut lahir. Nyatanya Korea Selatan memang negeri yang sempurna untuk mengadaptasi Tucker & Dale vs. Evil (2010), horor komedi liar buatan Eli Craig yang mengajarkan supaya kita tidak menilai buku dari sampul belaka.

Korea Selatan dengan segala pemujaannya terhadap kesempurnaan fisik jelas bukan surga bagi Jae-pil (Lee Sung-Min) dan Sang-koo (Lee Hee-Jun), kakak beradik yang tak memenuhi standar kecantikan. Ditambah pekerjaan sebagai tukang kayu dengan beragam peralatan yang dibawa, mereka semakin nampak intimidatif di mata banyak orang. 

Ambil contoh kala di supermarket, keduanya bertemu Sung-bin (Jang Dong-Joo) si atlet golf ternama yang tengah berlibur bersama teman-temannya di area pedesaan. Rombongan orang kota itu langsung ketakutan walau Jae-pil dan Sang-koo hanya berdiri diam. "Mereka pasti penculik", ucap salah satu teman Sung-bin. 

Naskah buatan sang sutradara, Nam Dong-hyeob, menyentil arogansi manusia-manusia kota yang dibutakan oleh ego serta keyakinan atas superioritas mereka. Melihat dua orang desa berpenampilan "tidak menarik" seperti Jae-pil dan Sang-koo, deretan pemikiran negatif pun segera terlontar. 

Padahal dua protagonis kita hanya laki-laki polos nan baik. Terutama Sang-koo dengan kelembutan hatinya, yang bahkan nyaris menangis saat es krim miliknya terjatuh. Tapi toh mereka selalu memuji ketampanan satu sama lain. 

Sebagaimana Tucker & Dale vs. Evil, segala konflik berdarah bermula ketika Jae-pil dan Sang-koo menyelamatkan seorang perempuan cantik. Namanya Mi-na (Gong Seung-yeon), salah satu anggota rombongan Sung-bin, yang dianggap remeh serta mendapat cap "pecundang" karena ia tak bergelimang uang. Bahkan sewaktu kecantikan fisik telah dipunyai, selalu ada cara bagi masyarakat untuk memandang rendah individu lain. 

Meyakini bahwa Mi-na telah diculik, kawan-kawannya segera melangsungkan misi penyelamatan penuh kesalahpahaman, yang dengan cepat berubah jadi keseruan penuh darah. Tingkat sadisme dalam Handsome Guys memang sedikit ditekan bila dibanding film aslinya, namun pengarahan Nam Dong-hyeob berhasil mempertahankan semangat bersenang-senang yang sama. Liar, lucu, bertenaga, sarat kejutan. 

Ditambah lagi jajaran pemainnya, terutama trio Lee Sung-min, Lee Hee-jun, dan Gong Seung-yeun, begitu piawai "menggila" dalam berbagai situasi komedik gila yang naskahnya sediakan. Khusus bagi Lee Hee-jun, pujian besar patut diberikan terkait kemampuannya menghidupkan sisi lembut si laki-laki bertampang sangar. Adegan "tarian cuci piring" begitu efektif mendatangkan senyum.

Satu hal yang berhasil dibawakan secara lebih baik oleh Handsome Guys daripada Tucker & Dale vs. Evil adalah fakta bahwa hubungan antar karakternya tak pernah berkembang ke ranah romansa. Hasilnya adalah kehangatan yang lebih murni. Baik Jae-pil dan Sang-koo maupun Mi-na hanya memerlukan teman yang bersedia menerima mereka. 

Memasuki paruh kedua, Nam Dong-hyeob melakukan satu lagi modifikasi sebagai cara melokalkan kisahnya. Elemen mistis ditambahkan, yang meski di awal presentasinya cenderung generik, akhirnya memperoleh payoff memuaskan, di babak klimaks yang menyulut keseruan melalui keabsurdan. Berkatnya Handsome Guys memiliki warna khasnya sendiri. 

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - WINNIE-THE-POOH: BLOOD AND HONEY 2

1 komentar

Kalau film pertamanya adalah produk asal jadi buatan orang yang seolah tidak berusaha dan sebatas memedulikan gimmick mencengangkan soal mengubah karakter favorit anak-anak menjadi pembunuh haus darah, maka Winnie-the-Pooh: Blood and Honey 2, walau masih jauh dari kata "bagus" bahkan untuk ukuran slasher generik, setidaknya merupakan presentasi yang layak ditonton. 

Biaya produksinya membengkak dari 100 ribu dollar menjadi 500 ribu, dan sang sutradara, Rhys Frake-Waterfield, yang kali ini menyerahkan penulisan naskah kepada Matt Leslie, kentara ingin segera memamerkan uang yang ia miliki. Sebuah shot di paruh awal, kala Pooh (Ryan Olivia) membantai korbannya di hadapan ledakan bombastis, bak upaya pamer penuh kepercayaan diri dari sang sineas. 

Kisahnya melanjutkan konklusi film pertama, di mana Christopher Robin (diperankan Scott Chambers yang menggantikan Nikolai Leon) berhasil selamat dari teror Pooh dan kawan-kawan. Peristiwa berdarah itu kini dikenal dengan nama "Hundred Acre Massacre". Tapi tidak semua warga memercayai cerita Christopher. Bahkan tidak sedikit yang menuding dia sebagai pelaku pembantaian yang sesungguhnya. 

Selain wajah Christopher Robin, sosok Pooh dan Piglet (Eddy MacKenzie) pun mengalami modifikasi. Lebih menyeramkan, lebih hidup, tak lagi nampak seperti pria paruh baya dengan topeng karet menggelikan. Ditambah kemunculan Owl (Marcus Massey) dan Tigger (Lewis Santer), para monster ini benar-benar seperti berasal dari dunia dongeng kelam.

Deretan perbedaan itu terjadi karena Blood and Honey 2 me-retcon pendahulunya. Status Blood and Honey pertama sekarang adalah film yang dibuat berdasarkan pengalaman Christopher Robin, alias "film dalam film". Naskahnya turut mengubah asal muasal Pooh, sembari menjadikannya pondasi guna mengembangkan waralaba The Twisted Childhood Universe (TCU). 

Ketimbang Rhys Frake-Waterfield, Matt Leslie memang (sedikit) lebih paham cara bercerita. Biarpun tak seberapa mendalam, minimal sekuel ini tak lagi terasa kosong, hingga memaksa mengisi durasi dengan adegan perempuan berbikini sedang berendam sambil selfie selama beberapa menit

Sewaktu Pooh dkk. mulai melakukan pembantaian lagi, Christopher masih berusaha bangkit dari traumanya, dibantu oleh sang konselor, Mary Darling (Teresa Banham), yang akan kembali kita temui di Peter Pan's Neverland Nightmare akhir tahun nanti. Tidak ada akting maupun eksplorasi psikis mumpuni dalam proses konseling tersebut, tapi sebagai gantinya, ia bakal menghasilkan twist mengejutkan yang membawa semestanya ke arah yang lebih gelap sekaligus menarik. 

Hampir semua departemen melonjak drastis secara kualitas. Sayangnya penyutradaraan tidak bernasib sama. Pengarahan Frake-Waterfield masih tidak dibarengi "sense" yang tepat dalam segala hal, entha pacing, timing, hingga pengaturan intensitas. Meski sudah dibekali bujet lebih besar pun ia tetap kukuh mengemas kebanyakan adegan dalam kegelapan hingga sukar dinikmati. Bahkan mencuci piring di malam hari pun karakternya lakukan tanpa sorotan lampu. 

Belum lagi, Frake-Waterfield yang juga merangkap editor bersama Dan Allen, begitu gemar menerapkan penyuntingan chaotic yang makin melenyapkan detail tiap adegan, termasuk rangkaian pembantaian yang jadi jualan utama. Ada kalanya pendekatan kacau tersebut mengurangi dampak kesadisan para monster, biarpun setidaknya kebrutalan itu masih menyisakan kemampuan untuk menghibur penggemar berat slasher. 

1 komentar :

Comment Page:

REVIEW - DESPICABLE ME 4

3 komentar

Despicable Me 4 menunjukkan bagaimana jadinya saat sebuah waralaba sinema tidak lagi tahu mesti berbuat apa untuk melanjutkan kisahnya. Bukan cuma kehabisan ide, para pembuatnya seperti enggan meluangkan usaha. Ironisnya, itu terjadi hanya dua tahun selepas Minions: The Rise of Gru tampil cukup kreatif lewat penghormatannya terhadap era film eksploitasi. 

Gru dewasa (Steve Carell) kembali jadi sentral cerita, namun naskah buatan Mike White dan Ken Daurio nampak kebingungan mesti melangkah ke mana. Wajar saja, sebab kisah si mantan penjahat memang seharusnya telah tuntas. Kehidupan sebagai kriminal sudah ia tinggalkan untuk bergabung dengan AVL (Anti-Villain League) guna menjadi ayah dan suami yang baik. 

Maka dipaksakanlah alurnya memperkenalkan Maxime Le Mal (Will Ferrell), mantan teman sekelas Gru di sekolah penjahat, yang menaruh dendam terhadapnya. Di sebuah reuni, Maxime begitu dipuja, dielu-elukan sebagai penjahat terbaik. Kenapa kita tak pernah mendengar eksistensinya selama ini? Maxime mempunyai istri bernama Valentina, dan suaranya diisi oleh Sofia Vergara yang merupakan salah satu sisi paling terang di film ini. Seperti biasa Sofia tahu cara memancing tawa lewat ocehannya. 

Sayangnya Maxime bukan antagonis yang memorable. Sekali lagi, filmnya seperti enggan berusaha. Bagaimana mungkin seorang antagonis meninggalkan kesan bila sosoknya lenyap di mayoritas durasi? 

Alurnya tidak memiliki konflik yang mengikat, ketegangan, atau sekadar petualangan menyenangkan. Despicable Me 4 pun terkesan ketinggalan zaman dalam upayanya menghibur. Saya pikir menarik perhatian penggemar K-pop lewat cara malas seperti pemakaian lagu atau aksesoris sebuah grup secara acak sudah ditinggalkan beberapa tahun lalu. 

Demikian pula subplot mengenai pemberian kekuatan super kepada lima minions yang nantinya membentuk tim bernama Mega Minions. Draft awal film ini mulai ditulis tahun 2017 tatkala popularitas film pahlawan super mencapai puncaknya, sehingga saya bisa memahami jika subplot itu terasa ketinggalan zaman. 

Tapi seperti Maxime, Mega Minions yang sejatinya menarik pun lebih banyak absen dari cerita. Selepas beberapa sketsa, mereka menghilang dan baru kembali sekilas di pertempuran puncak yang berakhir instan. Minions tidak lagi menggemaskan. Lebih tepatnya, tidak ada usaha memadai dari pembuat filmnya untuk memaksimalkan potensi makhluk-makhluk kuning ini sebagai tokoh pendukung yang mencuri perhatian. Padahal itulah alasan film pertamanya begitu populer. 

3 komentar :

Comment Page:

REVIEW - LAAPATAA LADIES

5 komentar

"For centuries, women in this country have been duped. This con is known as 'a respectable girl.'". Pernyataan tegas tersebut melandasi penceritaan Laapata Ladies yang menandai kembalinya Kiran Rao di kursi sutradara sejak Dhobi Ghat 14 tahun lalu. Satu lagi bukti kehebatan sinema India dalam menghantarkan kisah-kisah menggugah mengenai perempuan. 

Judulnya punya arti "perempuan-perempuan yang hilang". Alurnya memang berpusat pada hilangnya dua pengantin perempuan. Lebih tepatnya, mereka tertukar. Phool (Nitanshi Goel) baru menikahi Deepak (Sparsh Shrivastav), lalu menempuh perjalanan menuju desa sang suami dengan menaiki kereta. Sesampainya di stasiun tujuan, Deepak justru membawa turun Jaya (Pratibha Ranta), istri dari Pradeep (Bhaskar Jha), akibat tidak bisa membedakan kedua perempuan yang sama-sama mengenakan ghoonghat. Sedangkan Phool yang tertidur akhirnya malah turun di desa tempat Pradeep tinggal. 

Sesampainya di rumah, Deepak disambut oleh arak-arakan musik serta suka cita keluarga. Nampaklah pemandangan yang menggelitik nurani. Deepak dielu-elukan. Ada kesan kalau yang dirayakan bukanlah pernikahannya, melainkan sebatas si pengantin laki-laki. Sementara si pengantin perempuan (yang saat itu belum diketahui telah tertukar)  dibiarkan berdiri di belakang. 

Apakah pernikahan hanya dianggap sebagai selebrasi maskulinitas laki-laki selepas sukses mengambil alih perempuan? Padahal sebelumnya kita mendengar bagaimana keluarga beberapa pengantin laki-laki membanggakan mas kawin melimpah yang didapat dari keluarga perempuan. 

Sewaktu akhirnya Deepak sadar ia salah membawa pulang pasangan, kehebohan pun pecah. Deepak menyinggung budaya memakai ghoonghat yang membuat semua perempuan terlihat sama. Kemudian saat Jaya hendak mengungkap identitas sang suami demi memudahkan pencarian, ia mendapat teguran, karena "istri yang baik semestinya tidak dengan gampang menyebut nama suami". Entah kenapa semua hal terkait adat dan adab dalam pernikahan terkesan menyulitkan perempuan. 

Bukan berarti film ini menentang pernikahan. Naskah karya Sneha Desai (dibuat berdasarkan cerita Two Brides milik Biplab Goswani yang ditemukan oleh sang produser, Aamir Khan, di sebuah kompetisi penulisan naskah) punya perspektif berimbang. Itulah mengapa narasinya dipecah menjadi dua. Cabang pertama menyoroti Jaya dengan cita-citanya meneruskan pendidikan, cabang kedua mengetengahkan Phool beserta cintanya terhadap Deepak. 

Karena Laapataa Ladies tak berusaha menyalahkan pilihan perempuan. Pilihan mana pun bukan masalah, selama individu tidak mengambilnya secara terpaksa, dan yang terpenting, menyadari adanya opsi lain di luar sana. Berangkat dari prinsip tersebut, Laapataa Ladies menyampaikan kisah mengenai "get lost and get found", baik secara literal maupun metaforis. 

Phool yang tersesat dalam pemikiran bahwa setelah menikah perempuan cuma bertugas melayani suami akhirnya menemukan sudut pandang baru berkat bantuan Manju Maai (Chhaya Kadam) si penjual teh di stasiun. Begitu pula Jaya yang menemukan kembali dorongan mewujudkan mimpi setelah tersesat dalam kepasrahan akan nasib. 

Dibalut iringan musik gubahan Ram Sampath yang mendamaikan lewat petikan gitarnya, Kiran Rao menggerakkan kisahnya dengan sederhana. Tiada peristiwa atau ledakan emosi berlebihan. Filmnya tersusun atas obrolan kasual yang secara cerdik menyelipkan kehangatan sarat makna. Tidak pula ia bertutur terlampau serius. Beberapa sentuhan humor terbukti efektif memancing tawa, termasuk lewat kemunculan karakter Inspektur Shyam Manohar (Ravi Kishan) yang gemar mengeruk keuntungan dari kasus yang ia usut. 

Sang inspektur bakal berperan besar memunculkan perenungan menarik di fase konklusi. Nyatanya ada garis batas yang memisahkan sikap egois dan keserakahan terhadap materi, dengan hilangnya kemanusiaan. Kita hanya harus membuka mata, hati, dan telinga, supaya tak tersesat. 

(Netflix)

5 komentar :

Comment Page:

REVIEW - SI JUKI THE MOVIE: HARTA PULAU MONYET

2 komentar

Saya selalu percaya industri film animasi kita tidak kekurangan penggiat berbakat. Sudah banyak animator lokal melahirkan karya memukau, baik di arus utama maupun alternatif. Masalah terletak pada penulisan. Apalagi jika membicarakan film animasi layar lebar, di mana mayoritas karya cenderung terganjal urusan naskah untuk bisa tampil maksimal. Si Juki the Movie: Harta Pulau Monyet jadi contoh teranyar. 

Faza Meonk selaku kreator karakter Si Juki menduduki kursi sutradara, sembari berduet dengan Yahya M. dalam penulisan naskah (plus mengisi suara sang tokoh utama). Hasilnya adalah 107 menit penuh humor yang dilempar secara membabi buta, seolah tanpa perhitungan matang dan hanya berharap ada yang mendarat tepat sasaran. 

Seperti tertera di judul, film ini mengetengahkan petualangan Si Juki (Faza Meonk) mencari harta karun di pulau monyet, ditemani dua orang tuanya, Bang Mamat (Jaja Mihardja) dan Emak Ijah (Maya Wulan), serta Profesor Juned (Indro Warkop). Mereka mengarungi lautan di atas kapal milik Susi (Megan Domani), sembari menghadapi serangan kru bajak laut Kapten Badai (Bryan Domani). 

Tapi petualangan yang menjanjikan keseruan itu baru berlangsung selepas lebih dari 30 menit durasinya berlalu, pasca berakhirnya setup yang bergulir begitu lama akibat memberi ruang pada barisan lelucon. Sulit mengikuti gaya bercandanya yang liar. Seringkali, belum sempat penonton diberi kesempatan memproses sebuah banyolan, amunisi berikutnya sudah dilontarkan. Setidaknya isian suara Mandra yang memerankan versi fiktif dirinya senantiasa terdengar menggelitik. 

Si Juki the Movie: Harta Pulau Monyet ibarat ledakan kreativitas tinggi yang tidak terkendali. Seperti bocah yang gemar bereksplorasi tanpa ditemani pembimbing untuk mengarahkan. Tetapi, biar bagaimana pun kreativitas tetaplah kreativitas. Ada kalanya ia memancing rasa kagum, sebagaimana diperlihatkan klimaksnya yang dipresentasikan bak aksi pahlawan super, melalui kombinasi formula Sun Wukong dan One Piece.

Di sisi lain, drama keluarga yang coba menyentil soal kegagalan orang tua menghargai anak, tak memiliki dampak emosional. Sekali lagi, akibat kurang solidnya departemen penulisan. Penokohannya one-dimensional. Kedua orang tua Juki hanya karikatur yang terus menerus memarahi sang putera, bersikap menyebalkan, tanpa satu pun "warna" lain dalam karakterisasi mereka. Tatkala di babak ketiga hati keduanya luluh melihat tindakan Juki, semuanya terasa serba tiba-tiba. 

Sebagai animasi, pencapaian visual Si Juki the Movie: Harta Pulau Monyet cukup mengesankan, biarpun sinkronisasi dengan tata suara masih menyisakan segudang pekerjaan rumah (entah timing yang kurang pas, atau kekosongan yang luput diisi). Di tengah minimnya kuantitas animasi di layar lebar, kualitas yang jauh dari sempurna macam ini rasanya perlu diberi apresiasi. 

2 komentar :

Comment Page: