REVIEW - BLINK TWICE
Blink Twice adalah sebuah peringatan. Ceritanya jadi peringatan akan bahaya yang perempuan hadapi dalam dunia penuh laki-laki kulit putih manipulatif yang memegang kuasa. Di sisi lain ia juga memperingatkan kita akan kedatangan Zoë Kravitz yang berpotensi mengacak-acak daftar-daftar mengenai "sutradara paling berbakat saat ini".
Menulis naskahnya bersama E.T. Feigenbaum, Kravitz menyusun kisah sarat misteri yang menempatkan penonton dalam kegelapan penuh tanda tanya (trailernya secara cerdik tak membocorkan detail-detail signifikan). Alkisah, Frida (Naomi Ackie) si pelayan begitu mengagumi Slater King (Channing Tatum), miliarder dari bidang teknologi yang belum lama ini tertimpa kontroversi.
Sempat menghilang, ia kembali muncul sebagai "sosok baru" yang mengaku telah berubah selepas menjalani terapi dan mengasingkan diri di sebuah pulau miliknya. Acara televisi mengundangnya, publik pun tak mempermasalahkan. Di realita memang begitulah kenyataannya. Media sosial dapat dengan mudah meng-cancel seseorang, namun mudah pula melupakan kesalahannya. Bagi figur kaya raya seperti Slater King, kondisi semacam itu tidak lebih dari liburan yang diperpanjang.
Frida sendiri bersikap bodoh amat terhadap kontroversi sang idola. Sehingga, ketika ia dan sahabatnya, Jess (Alia Shawkat), mendapat kesempatan menghadiri pesta di pulau milik Slater King, hanya ada kebahagiaan di hati Frida.
"Ada apa sebenarnya?" mungkin jadi pertanyaan yang bakal muncul ketika menonton trailer Blink Twice, dan filmnya mampu menjaga tanda tanya tersebut tetap berputar di kepala penonton. Karena semuanya nampak normal. Frida dan para tamu lain menikmati jamuan mewah, berpesta, mabuk-mabukan, lalu sesekali mencicipi narkoba. Tidak ada yang terlalu mencurigakan dalam babak pertamanya yang berlangsung lebih dari setengah jam.
Beberapa pihak mungkin akan menganggap Blink Twice terlalu lama mengawali kisahnya, yang mana tidak sepenuhnya keliru, namun filmnya memang sengaja melakukan itu, dengan tujuan menempatkan penonton di posisi karakternya. Terlena, lengah, sebelum kemudian disergap oleh rangkaian kegilaan tak terduga.
Begitu tirai misterinya tersibak, poin yang hendak Blink Twice sampaikan pun segera nampak. Sebuah kisah mengenai kebobrokan maskulinitas yang menempatkan perempuan dalam bahaya, lalu memanipulasi mereka menjadi boneka yang patuh, hanya bisa tersenyum, pula selalu tersedia sebagai "objek".
Seperti telah disinggung di awal tulisan, Blink Twice juga panggung pembuktian bagi Zoë Kravitz. Sang sutradara debutan memiliki visi kuat sekaligus berani. Dibantu penyuntingan Kathryn J. Schubert, Kravitz menyamakan film ini layaknya cara kerja memori, yang dalam sekejap dapat secara acak menyeruak ke permukaan.
Pendekatan di atas membuat kita ikut merasakan dinamika psikis protagonisnya. Kegembiraan penuh tawa yang sesekali menyelipkan komedi bisa tiba-tiba bertransisi jadi mimpi buruk mengerikan (sebuah adegan single take di pertengahan durasi menampilkan pemandangan mencengangkan bak neraka dunia).
Penceritaannya masih memiliki lubang, terutama soal kurang solidnya "rules" terkait kebenaran di balik pesta Slater King. Para penulisnya seolah enggan memeras otak lebih jauh guna mematenkan detail tersebut, tapi pengarahan Zoë Kravitz mampu membuat kelemahan itu terasa minor. Dia jeli membangun intensitas, tahu kapan mesti menggunakan keheningan, kapan harus menggedor jantung penonton lewat kejutan-kejutan yang dikemas dengan presisi timing luar biasa.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar