REVIEW - SAKARATUL MAUT

Tidak ada komentar

Sakaratul Maut masih menawarkan bahan baku khas horor Indonesia, dari sentuhan religi (baca: Islam), karakter yang "ngelmu", hingga perebutan warisan. Tapi terkait caranya meneror, selepas Waktu Maghrib dan Malam Pencabut Nyawa, setidaknya film ini mampu mengukuhkan nama Sidharta Tata sebagai salah satu sutradara horor Indonesia paling konsisten. 

Naskah buatan Agasyah Karim, Khalid Kashogi, dan Bayu Kurnia Prasetya membuka segala permasalahan dengan kecelakaan yang menimpa orang tua Retno (Indah Permatasari). Situasinya agak membingungkan. Awalnya saya pikir ayah dan ibu Retno sedang dalam perjalanan pulang selepas mengunjungi sang puteri di luar kota, namun ternyata mereka masih tinggal bersama. 

Penambahan/modifikasi satu kalimat dapat menjadi solusi bagi masalah di atas. Begitu pula mengenai ambiguitas identitas karakter Indah (Claresta Taufan Kusumarina), yang sebelum babak ketiga terasa kurang jelas. Tapi intinya kecelakaan tadi merenggut nyawa ibu Retno (Retno Soetarto), sedangkan sang ayah (José Rizal Manua) bertahan hidup meski dalam kondisi memprihatinkan. 

Nantinya terungkap bahwa ayah Retno rupanya memiliki istri kedua, pula anak laki-laki dari pernikahan tersebut, yaitu Tarjo (Aksara Dena), yang meski memasang topeng religius sebagai individu yang baru saja hijrah, nyatanya mengincar warisan sang ayah. Kakak Retno, Wati (Della Dartyan), juga menginginkan hal yang sama selepas bisnisnya hancur, sementara sang suami tidak bisa diandalkan. 

Kepala keluarga yang kawin lagi tanpa sepengetahuan keluarga, suami "mokondo", sampai orang yang memakai kedok agama untuk menguasai harta. Sakaratul Maut menawarkan subteks soal bagaimana para perempuan berjuang dengan kemampuan sendiri di tengah para laki-laki yang cuma bisa menyakiti mereka. 

Menarik. Sayangnya, seiring waktu eksplorasi ceritanya justru berhenti, menghasilkan alur yang tak cukup kokoh melandasi film berdurasi 107 menit. Memasuki paruh kedua, Sakaratul Maut terkesan mengulur-ulur waktu, menampilkan tokoh-tokohnya secara bergiliran mendapat teror dari entitas misterius yang dicurigai menempel di tubuh ayah Retno.

Padahal ada banyak materi yang berpotensi digali, dari persoalan gender tadi, maupun dinamika keluarga Retno yang disfungsional. Jajaran pemain pun rasanya bisa menangani bobot dramatis. Indah Permatasari dan Della Dartyan menciptakan dinamika kakak-adik menarik melalui kepribadian mereka yang bertolak belakang, sedangkan Claresta Taufan kembali membuktikan kapasitas sebagai scream queen baru yang mumpuni. 

Agak disayangkan, tapi minimal lemahnya penceritaan itu berhasil ditambal oleh kepiawaian Sidharta Tata membungkus kemunculan hantu. Jumpscare buatannya tidak asal berisik dan memperhatikan ketepatan timing. Momen saat Wati mendapat gangguan di malam hari pun pantas diberi pujian lebih terkait pengarahan sang sutradara beserta tata kamera garapan Mandella Majid yang efektif membangun intensitas.

Sakaratul Maut tergolong horor lokal yang solid, hanya saja kepuasan yang dihadirkan belum maksimal. Keunggulan dan kekurangannya bak saling berkejar-kejaran. Kesan tersebut nampak betul di klimaksnya, tatkala caranya memanfaatkan denah rumah di adegan kejar-kejaran cukup memancing decak kagum, namun kurang jelasnya rules perihal aspek mistisnya terasa mengganggu.

Tidak ada komentar :

Comment Page: