REVIEW - EMILIA PÉREZ
Di Emilia Pérez, elemen musikal bukan sebuah hiburan semata, atau upaya mempercantik tanpa makna. Sebaliknya, Jacques Audiard memakai nomor musikal untuk menyibak hal-hal yang jauh dari kesan cantik, lalu memposisikannya sebagai nyanyian orang-orang yang terpenjara di sebuah negeri yang terluka.
Audiard mengadaptasi naskahnya dari libreto opera buatannya sendiri, yang terinspirasi dari novel Écoute karya Boris Razon. Kisahnya berpusat pada Rita Mora Castro (Zoe Saldaña), seorang pengacara bertalenta dari Meksiko yang karirnya mengalami stagnasi, dan terpaksa mengambil kasus-kasus yang tak ia inginkan. Ditambah lagi, sebagai perempuan kulit hitam, sulit bagi Rita membuka firma sendiri.
Sewaktu pertama kali kita berkenalan dengan Rita, ia sedang menyiapkan materi persidangan mengenai pembunuhan seorang perempuan oleh suaminya, yang juga pemimpin organisasi kriminal. Rita harus membela si laki-laki, meskipun tahu kliennya memang bersalah.
Di tengah kegundahan Rita, tersajilah nomor musikal perdananya. Berlatar jalanan kumuh, pula diramaikan orang-orang tanpa kostum glamor, namun pengarahan Audiard yang didukung penataan koreografi mumpuni, tetap membuatnya terlihat memikat. Zoe Saldaña pun meledakkan segala dilema di benak Rita lewat gerak-gerik tarian bertenaga.
Kemudian datang kesempatan tak terduga. Pimpinan kartel paling ditakuti di Meksiko, Juan "Manitas" Del Monte (Karla Sofía Gascón) menyewa jasanya dengan bayaran tinggi. Manitas ingin Rita mengurus prosesnya bertransformasi menjadi perempuan. Lokasi operasi kelamin, tempat tinggal di luar negeri, sampai rumah baru bagi keluarga Manitas, semua ditangani oleh Rita.
Istri Manitas, Jessi (Selena Gomez), tak mengetahui niatan sang suami. Bersama dua anaknya, Jessi terpaksa menuruti arahan Rita untuk pindah ke Swiss, sementara di belahan dunia lain, Manitas memalsukan kematiannya dan memakai identitas baru, yakni seorang perempuan bernama Emilia Pérez. Sebagai Manitas, ia memiliki segala hal materiel. Sebagaimana lirik yang dia nyanyikan, Manitas bahkan tidak kekurangan langit, tapi ia "kurang bernyanyi". Kebahagiaan ada di luar jangkauan karena ia tak menjadi diri sendiri. Sebagai Emilia, kebahagiaan itu akhirnya mampu didapat.
Selama sekitar 132 menit, Audiard mengolah begitu banyak problematika, di mana Meksiko, selaku negara yang ada di bawah cengkeraman mematikan para kartel, jadi panggung sempurna. Rita yang mendapati sistem hukum sedemikian gampang diakali oleh para penguasa (baik pemerintah korup maupun pihak kartel), Emilia yang berupaya memulai hidup baru namun belum bisa lepas dari dosa-dosa masa lalu, juga Jessi dengan pergulatan sebagai istri pemimpin kartel merupakan tulang punggung cerita.
Emilia Pérez adalah kisah mengenai tiga perempuan yang terkurung dalam penjara masing-masing. Ketiganya sama-sama disokong oleh akting kuat, terutama Gascón yang seolah membawa kisah personalnya ke layar lebar (ini akting perdananya sejak resmi menjadi trans) memberi sensitivitas di momen-momen intim. Melihat sesosok bos kriminal menyeramkan bertransformasi menjadi perempuan murah hati membuat filmnya terasa seperti sedang menggugat maskulinitas dalam tindak kriminalitas.
Melewati pertengahan durasi, alurnya memang agak terlalu membengkak, khususnya karena Audiard menyelipkan poin-poin yang tak seberapa signifikan. Tapi kekurangan tersebut bukan masalah besar berkat kreativitas luar biasa sang sutradara dalam mengolah nomor musikal. Di pertemuan pertama Rita dan Manitas, Audiard menenggelamkan penonton dalam atmosfer mencekam yang cenderung sunyi. Hanya ada ambient malam dan deru mesin mobil. Kemudian tanpa kita sadari, suara-suara tersebut perlahan beralih jadi musik yang mengiringi sebuah lagu rap. Andai saja Todd Phillips terlebih dahulu menonton Emilia Pérez sebelum membuat Joker: Folie à Deux.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar