REVIEW - ROBOT DREAMS

Tidak ada komentar

Robot Dreams menyembunyikan kompleksitas kisah soal kehidupan di balik gaya animasi sederhana miliknya. Sekilas terlihat seperti kartun anak-anak dengan karakter non-manusia, adaptasi komik berjudul sama karya Sara Varon ini nyatanya membawa kisah yang bakal lebih merasuk (dan menusuk) di hati penonton dewasa. 

Latarnya adalah tahun 1984 di Manhattan, saat pernak-pernik bergambar Naranjito (maskot Piala Dunia 1982) masih jamak dikenakan, dan menyandingkan lagu September dengan menara World Trade Center takkan membangkitkan trauma. Di sisi lain, muncul berita mengenai Presiden Amerika Serikat mengendarai UFO, yang dianggap wajar oleh masyarakat, yang bukan terdiri atas manusia, melainkan para hewan. 

Sungguh kaya dunia yang dihidupkan oleh Pablo Berger selaku sutradara sekaligus penulis naskah. Realisme dan fantasi berpadu dengan apik. Seiring kita berjalan-jalan mengelilingi kota bersama karakternya, semakin kentara pula betapa dunianya sangat hidup. Beraneka ragam hewan dengan desain yang sama sekali tidak repetitif eksis bersama dengan rutinitas masing-masing yang juga berbeda-beda. 

Hidup di antaranya adalah seekor anjing yang kesepian, dan kerap iri melihat hewan-hewan di sekitarnya menghabiskan waktu bersama teman atau pasangan. Dia pun memutuskan membeli sebuah robot untuk dijadikan sahabat. Seketika rasa sepi di hati Anjing lenyap selepas kedatangan Robot. Hari-hari tak lagi Anjing jalani sendiri. 

Robot Dreams dipresentasikan tanpa dialog. Tapi sebagaimana Anjing dan Robot yang mampu saling mengerti tanpa tuturan verbal, kita pun demikian. Berger membuktikan bahwa gestur tubuh, ekspresi wajah, atau bahkan sebatas gerak-gerik mata dapat "berbicara" sekeras kata-kata. Kebahagiaan yang mereka rasakan tetap tersampaikan. 

Anjing dan Robot berjalan-jalan ke berbagai tempat, di mana Berger membungkusnya dengan tempo cepat nan dinamis, sementara visualnya yang sederhana mulai menampakkan pesonanya lewat goresan garis-garis tegas yang memanjakan mata. 

Apakah Anjing dan Robot menjalin hubungan persahabatan atau percintaan? Apabila yang kedua, apakah ini romansa straight atau queer? Robot Dreams tak memedulikan persoalan remeh tersebut. Penonton cukup memahami bahwa ada ikatan kuat terjalin di antara mereka berdua. 

Awalnya semua berjalan ringan nan menyenangkan, hingga kunjungan Anjing dan Robot ke pantai mendatangkan rintangan besar dalam hubungan mereka. Kesempian kembali menghantui hati masing-masing, sedangkan judul filmnya mulai jadi kenyataan. Kita diajak menyaksikan mimpi-mimpi Robot, yang menggambarkan kerinduannya kepada "rumah", baik secara literal maupun figuratif. 

Di fase ini alurnya cenderung stagnan bila dibandingkan dengan gerakan cepat di paruh sebelumnya. Terdapat titik di mana kedua karakter tidak banyak berproses dan sebatas diam menunggu bersama ketidakpastian. Untungnya Berger banyak menyuntikkan kreativitas dalam penceritaan visualnya, terutama terkait penggambaran mimpi-mimpi Robot. Adegan "Yellow Brick Road" adalah yang paling unik, sebab di situ Berger seolah menumpahkan hasratnya untuk mengobrak-abrik kotak-kotak pembatas dalam film. 

Robot Dreams membicarakan tentang siklus kehidupan yang senantiasa diwarnai dua sisi. Orang datang dan pergi, terkadang meninggalkan rasa manis, namun tak jarang menyisakan pahit. Di tengah berputarnya siklus tersebut, merupakan kewajaran bagi individu untuk berbuat salah. Apa yang terlanjur terjadi mustahil diputar kembali, namun kita bisa belajar supaya tak mengulangi kesalahan itu lagi. 

(Klik Film)

Tidak ada komentar :

Comment Page: