REVIEW - MUFASA: THE LION KING
Menilik ceritanya, Mufasa: The Lion King sesuai dengan apa yang bisa kita harapkan dari karya-karya Barry Jenkins (Moonlight, If Beale Street Could Talk). Didukung naskah buatan Jeff Nathanson, Jenkins dengan cerdik memakai konsep "Circle of Life' milik franchise-nya sebagai cara mengeksplorasi banyak isu sosial, dari gender, jurang kelas, hingga xenofobia dan rasisme. Tapi di saat bersamaan, belum matangnya sang sutradara dalam hal menggarap blockbuster juga begitu kentara.
Filmnya bertindak selaku prekuel sekaligus sekuel begi The Lion King (2019), di mana kita dibawa mundur jauh ke masa lalu, ketika Rafiki (John Kani) menuturkan sebuah kisah pada Kiara (Blue Ivy Carter), yang sedang ditinggal pergi untuk sementara waktu oleh kedua orang tuanya, Simba (Donald Glover) dan Nala (Beyoncé).
Cerita Rafiki berpusat pada Mufasa (Aaron Pierre), menyoroti bagaimana ia tumbuh menjadi raja yang begitu dihormati. Mufasa kecil terpisah dari orang tuanya akibat terseret air bah, tatkala hujan mengguyur tempat tinggalnya setelah kekeringan menahun. Ada satu detail kecil yang mengganggu kontinuitas naskahnya. Mufasa tidak tahu apa itu hujan, namun bisa menjelaskan bahwa ia terbawa arus banjir kepada seekor singa yang menolongnya.
Singa penolong itu bernama Taka (Kelvin Harrison Jr.), yang kelak akan kita kenal dengan panggilan "Scar". Raja Obasi (Lennie James) yang juga ayah Taka menolak kehadiran Mufasa, karena baginya "hewan asing" hanya akan mendatangkan bencana. Tapi akhirnya, serupa para pemimpin negara manusia yang xenophobic di dunia nyata, Obasi membolehkan Mufasa tinggal namun dengan berbagai kondisi yang memberatkan.
Mufasa hanya boleh berada bersama kawanan singa betina. Menariknya, justru itulah yang membuatnya berkembang, bahkan jauh di atas Taka dengan segala privilege-nya sebagai penerus tahta. Naskahnya memanfaatkan fakta bahwa singa betina bertindak selaku pemburu, sementara singa jantan "menjaga" teritori dengan cara tidur-tiduran, guna menyampaikan poin mengenai dinamika gender.
Di bawah asuhan Ratu Eshe (Thandiwe Newton), Mufasa tumbuh jadi singa handal dengan beragam keahlian. Lingkaran kehidupan dengan segala pertemuan dan perpisahannya memang misterius. Termasuk saat Mufasa mesti menghadapi Kiros (Mads Mikkelsen) dan kelompok singa putihnya, yang sebagaimana manusia berkulit putih, melakukan penjajahan terhadap "kaum berwarna", membunuh serta mengusir mereka dari tempat tinggalnya.
Mufasa dan Taka pun melakukan perjalanan mencari tanah impian yang disebut "Milele". Rafiki dan Sarabi (Tiffany Boone) si singa betina turut serta dalam perjalanan. Interaksi keempatnya tersaji menarik, tapi tiap narasinya rehat sejenak untuk kembali ke latar masa kini, intensitas yang telah dibangun segera menurun. Timon (Billy Eichner) dan Pumbaa (Seth Rogen) yang sejatinya tak memiliki kepentingan (melalui deretan dialog bernuansa meta, keduanya pun menyadari itu) diberi banyak porsi secara paksa, yang kebanyakan berkutat pada barisan lelucon tak lucu yang juga terkesan dipaksakan.
Mufasa: The Lion King diberkahi lagu-lagu buatan Lin-Manuel Miranda, yang tak hanya catchy tapi juga dipenuhi lirik kreatif. Sayang, Jenkins belum mampu menerjemahkan kekuatan milik departemen audio itu untuk melahirkan nomor musikal yang menarik. Kemeriahan dan energi yang semestinya hadir cenderung sukar ditemukan. Masalah serupa timbul kala sang sutradara menangani adegan aksi. Minim energi. Potensi menciptakan klimaks epik saat seluruh hewan berkonfrontasi di Milele gagal dimanfaatkan, dan kita pun cuma disuguhi aksi ala kadarnya.
Jenkins tahu cara menekankan problematika sosial di pengadeganannya, namun saat harus berurusan dengan teknologi, ia tampak kepayahan. Jenkins yang terbiasa mengutamakan ekspresi subtil dari perasaan manusia jelas tidak berjodoh dengan format animasi photorealistic yang membatasi guratan-guratan di raut wajah karakternya, sehingga dampak emosi kisahnya pun terlucuti. Setidaknya kelemahan tersebut adalah bagian dari proses belajar sang sineas yang belum tuntas, dan ia tetap diberi kesempatan menggarap karya sesuai kekhasannya. Di balik berbagai kekurangannya, Mufasa: The Lion King bukan blockbuster yang hampa.
1 komentar :
Comment Page:animasi gini kadang bikin ekspresi ga dapet krn jd aneh dgn photorealistic.saya lbh suka vesi asli yg kartun.menjadi bagus animasi nya bukan berarti menjadi enak ditonton...
Posting Komentar