REVIEW - PADDINGTON IN PERU
Salah satu subplot milik di film ini mengisahkan bagaimana Henry Brown (Hugh Bonneville) mendapat atasan baru yang berasal dari Amerika Serikat. Di lain pihak, menonton Paddington in Peru juga terasa seperti menikmati hiburan keluarga ala Amerika (baca: Hollywood). Ringan, menyenangkan, terkadang hangat, namun cenderung generik.
Skala petualangannya diperbesar, pendekatan cantik ala Wes Anderson di film kedua ditinggalkan seiring pergantian sutradara dari Paul King ke Dougal Wilson, selipan humor gelap pun dikurangi kadarnya. Hal-hal tersebut memang terdengar "sangat Hollywood". Tapi pesona Paddington (masih disuarakan oleh Ben Whishaw), si beruang cokelat yang mewakili "the best of humanity" dengan segala kepolosan serta kebaikan hatinya masih terlalu kuat untuk dibendung.
Jika Paddington 2 (2017) ibarat surat cinta bagi Wes Anderson, maka film ketiganya ini berkiblat pada karya-karya auteur lain, yakni Werner Herzog, terutama Aguirre, The Wrath of God (1972) dan Fitzcarraldo (1982), dengan membawa Paddington bersama seluruh Keluarga Brown berpetualang ke pedalaman hutan Peru, guna mencari keberadaan Bibi Lucy (Imelda Staunton).
Menurut Suster Kepala (Olivia Colman) yang memimpin "Home for Retired Bears", Lucy belakangan bertingkah aneh sebelum tiba-tiba hilang. Pencarian yang Paddington dan Keluarga Brown lakukan mempertemukan mereka dengan Hunter Cabot (Antonio Banderas) dan putrinya, Gina (Carla Tous), yang bercerita mengenai legenda "Kota Emas" El Dorado. Muncul kecurigaan kalau hilangnya Lucy ada kaitannya dengan keberadaan kota yang hilang itu.
Pengarahan Dougal Wilson membuat petualangan Paddington kali ini tidak ada bedanya dengan setumpuk film keluarga lain dengan formula yang sudah (terlampau) familiar. Tanpa sentuhan estetika yang menonjol, pula dengan gelaran humor, yang meski sesekali masih menyelipkan sarkasme khas British atau secuil komedi gelap, cenderung didominasi oleh banyolan slapstick.Twist yang ia lempar pun sejatinya minim urgensi, bahkan merusak keunikan salah satu karakter yang paling mencuri perhatian di sepanjang durasi.
Tapi saya berbohong kalau menyebut film ini sama sekali tidak menghibur. Wilson memang bermain aman, tapi ia tahu cara memaksimalkan formula. Ketika humornya tepat sasaran, efektivitas Paddington in Peru dalam mengocok perut tidaklah main-main. Wilson pun betul-betul menguasai teknik memposisikan timing sebuah punchline.
Di jajaran pemainnya, Olivia Colman bersinar paling terang. Ketika materi Paddington in Peru cenderung lebih generik, performanya sebagai Suster Kepala, dengan senyum lebar yang ada di garis batas antara lucu dan mengerikan, mempertahankan semangat absurdis yang membuat franchise ini amat dicintai. Sedangkan Emily Mortimer yang mengemban tugas maha berat untuk menggantikan Sally Hawkins memerankan Mary Brown, meski tampil solid, cenderung memakai pendekatan akting yang lebih generik, layaknya karakter ibu penyayang di jutaan film keluarga di luar sana. Ya, sama kondisi filmnya sendiri.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar