REVIEW - EXORCISM CHRONICLES: THE BEGINNING
Beberapa waktu lalu, bioskop Indonesia menayangkan "film AI" berjudul M Hotel. Kesukaan (kalau tak mau disebut "pemujaan") industri hiburan Korea Selatan terhadap kapasitas kecerdasan buatan memang bukan lagi rahasia. Sangat disayangkan, mengingat di saat bersamaan sineas mereka sanggup melahirkan karya sekelas Exorcism Chronicles: The Beginning. Sebuah animasi yang menurut Kim Dong-chul selaku sutradara, sengaja tak menyertakan AI demi menjaga orisinalitas.
Bagi para pemujanya, AI begitu luar biasa karena bisa menghasilkan hal-hal yang sukar diwujudkan oleh realita. Mereka lupa bahwa "animasi asli" pun demikian. Berbekal talenta manusia, animasi bisa merealisasikan visi yang terlampau sukar ditangani oleh medium live action. Adaptasi dari novel Toemarok karya Lee Woo-hyeok ini adalah satu dari sekian banyak bukti.
Protagonisnya bernama Park Woon-gyu (Choi Han), mantan dokter yang kini banting setir menjadi pendeta. Bukan pendeta biasa, karena berkat kekuatan yang diwariskan Ilahi, ia mampu melakukan pengusiran setan. Termasuk saat Park mesti menghadapi arwah yang merasuk ke tubuh sesama pendeta di awal film.
Exorcism Chronicles: The Beginning langsung menegaskan apa yang hendak ia capai lewat adegan pengusiran setan tersebut. Berlatar Rumah Tuhan, layaknya pahlawan super tanpa jubah maupun topeng, Pendeta Park memamerkan kekuatan yang ia peroleh dari doa-doa yang senantiasa ia panjatkan. Cahaya beraneka warna silih berganti memancarkan diri di tengah kehancuran yang jamak terjadi dalam pertempuran superhero melawan supervillain.
Ketimbang suguhan eksorsisme konvensional, Kim Dong-chul cenderung berambisi melahirkan blockbuster eksplosif ala film superhero. Iblis yang Park hadapi di gereja punya nama Astaroth. Sosoknya dihidupkan oleh desain dengan kreativitas tinggi, seperti malaikat yang jatuh ke jurang kegelapan, sehingga bertransformasi bak monster dari sebuah anime.
Visi yang diusung Kim Dong-chul bakal memerlukan biaya setidaknya puluhan juta dollar bila memakai format live action. Melalui animasi, sang sutradara tak perlu membatasi imajinasi. Visual out of this world miliknya dilukiskan secara cantik di layar, berbekal tata artistik mumpuni yang penciptaannya turut melibatkan talenta asal Indonesia bernama Amabel Emillavta.
Sayangnya naskah buatan Lee Dong-ha gagal mencapai kualitas serupa. Kealpaan departemen penulisannya didasari oleh ketidakmampuan menerjemahkan ambisi besar secara rapi. Sebagaimana nampak di judul, Exorcism Chronicles: The Beginning diniati sebagai awal sebuah franchise. Alurnya banyak melakukan proses penanaman benih untuk modal konflik di sekuel-sekuelnya, sehingga begitu banyak yang mesti dituturkan.
Nantinya, Pendeta Park dimintai bantuan oleh kawan lamanya sekaligus bikso anggota sebuah ordo rahasia, untuk membantu menangani masalah supernatural di kuil. Masalah itu segera tereskalasi, di mana keberlangsungan dunia jadi taruhannya. Di sisi lain ada Lee Hyun-am (Nam Doh-Hyeong), pemuda yang mendapat kekuatan berkat latihan Tai Chi, yang juga tiba di kuil dengan membawa alasan personal.
Tatkala pondasi ceritanya belum benar-benar solid, termasuk penokohan si protagonis yang masih berada di permukaan, kisahnya sudah berambisi mengeksplorasi begitu banyak persoalan. Setiap karakter beserta konflik masing-masing seperti saling berebut sorotan utama, dan akibatnya, justru tak satu pun berhasil digali secara memadai.
Seperti apa detail mitologinya yang berpijak pada kepercayaan agama dan budaya setempat? Bagaimana peran ordo rahasia si biksu dalam tatanan dunia filmnya? Ritual macam apa yang hendak mereka jalankan? Siapa Hyun Seung-hee (Kim Yeon-woo) si gadis yang sempat tanpa sengaja menolong Pendeta Park di sebuah pengusiran setan?
Exorcism Chronicles: The Beginning memang kacau dalam hal bercerita. Tapi sekali lagi, visinya mengagumkan. Peleburan beberapa kepercayaan dalam sampul eksorsisme sebagaimana pernah dilakukan Dark Nuns beberapa bulan lalu, berpadu dengan mitologi mengenai kekuatan super berbasis lima elemen layaknya Avatar: The Last Airbender. Potensi pengembangan film ini sebagai waralaba sinema sungguh tinggi. Tinggal bagaimana kecerdasan alami kepunyaan para manusia di balik film ini terus diberi ruang gerak untuk melaju di tengah terjangan kecerdasan buatan yang penggunaannya acapkali melalaikan kemanusiaan.
Tidak ada komentar :
Comment Page: OldestLatestPosting Komentar