REVIEW - SANTOSH

Tidak ada komentar

Alur milik Santosh    film berbahasa India yang jadi perwakilan Britania Raya di Academy Awards 2025    mengandung banyak cerita, tapi pada dasarnya ia adalah kisah tentang korupnya instansi kepolisian. Isu-isu lain seperti gender atau kasta dipakai sebagai penegas bagi persoalan tersebut, yang oleh film ini diangkat secara jujur, tanpa berupaya main aman atau menambahkan bumbu pemanis. 

Menariknya, alih-alih mengetengahkan penderitaan mereka yang ditindas aparat, Sandhya Suri selaku sutradara sekaligus penulis naskah memilih menggunakan perspektif "orang dalam". Santosh (Shahana Goswami) menjanda pasca kematian sang suami, yang tewas ketika bertugas mengamankan sebuah kerusuhan. Melalui program yang digalakkan pemerintah, Santosh pun berhak mewarisi pekerjaan suaminya sebagai polisi berpangkat konstabel. 

Dimulailah rutinitas baru Santosh. Seragam penuh bercak darah peninggalan sang suami ia cuci, lalu dikenakan sendiri. Mungkin Santosh berharap bakal mewarisi kehormatan mendiang selaku penegak keamanan. Tapi hanya dalam waktu singkat, Santosh segera menyadari realita yang sungguh berlawanan. 

Berawal dari hilangnya anak perempuan dari kasta dalit yang kemudian berkembang jadi kasus pembunuhan, Santosh, yang bekerja di bawah arahan Inspektur Geeta Sharma (Sunita Rajwar) yang dikenal kukuh memperjuangkan pemberdayaan perempuan, mendapati bahwa para penegak hukum tidak benar-benar tertarik untuk menegakkan hukum. 

Seperti apa pun individunya, entah laki-laki, perempuan, feminis, atau misoginis, apabila telah mengenakan seragam berwarna khaki milik aparat, nyatanya bakal tertular kebobrokan yang telah menjadi citra instansi tersebut. Seolah seragam itu memberi sensasi berkuasa yang mendorong keinginan melakukan represi, karena si individu menganggap dirinya bebas melakukan apa saja.

Sandhya Suri membungkus filmnya dengan sampul police procedural. Sentuhan misterinya memang bukan sesuatu yang benar-benar segar, tapi mampu memenuhi tujuannya sebagai alat bantu untuk mengupas satu per satu kebejatan aparat. Di sisi lain, Shahana Goswami dengan kelihaian memancarkan emosi melalui raut wajahnya, seolah jadi perpanjangan rasa syok penonton kala menyaksikan setumpuk ketidakadilan yang filmnya paparkan. 

Kompleksitas kisahnya memuncak begitu alur menyentuh babak akhir. Selama ini Santosh selalu mengagumi Inspektur Sharma dengan sudut pandang feminisme yang tak kenal lelah ia perjuangkan. Tapi apakah sebuah perjuangan masih layak diperjuangkan jika mengharuskan kita melakukan keburukan? Santosh tak ragu mengkritisi fenomena, di mana demi menyuarakan ketidakadilan yang dialami suatu kaum, beberapa pejuang keadilan sosial justru melakukan ketidakdilan pada kaum lain. 

Di satu adegan, Santosh diperlihatkan tengah makan sembari menonton video berisi komparasi antara polisi Cina dengan India. Si konstabel tertawa geli melihat instansinya dijadikan bahan tertawaan, karena ia sadar bahwa memang begitulah realitanya. Menjadi bagian suatu kelompok bukan berarti enggan mengakui borok kelompok tersebut. 

Melalui pilihan konklusinya pun Santosh secara tegas, tanpa mencoba bermulut manis, menawarkan solusi yang bisa diambil para aparat jika benar-benar menaruh kepedulian terhadap ketidakadilan yang dilakukan oleh kompatriotnya. Di situ Santosh bukan menyerah atau lari. Dia hanya menolak terus-menerus menjadi racun yang membunuh sesama rakyat jelata. Angka "1312" pun seolah menampakkan dirinya di wajah si karakter utama. 

(Klik Film)

Tidak ada komentar :

Comment Page: OldestLatest