REVIEW - SINNERS
Banyak blockbuster terasa hampa karena sebatas memikirkan soal cara mempertontonkan spektakel. Tidak keliru, namun Sinners selaku karya orisinal pertama dari Ryan Coogler menunjukkan bahwa ada metode pendekatan berbeda, di mana penceritaan dan penokohan ditempatkan di garis depan, terlebih dahulu dipatenkan sebelum melompat ke upaya menghibur penonton.
Mengambil latar Mississippi tahun 1932, Sinners memperkenalkan kita pada dua saudara kembar, Smoke dan Stack (Michael B. Jordan dalam peran ganda), yang kembali ke kampung halamannya. Nama keduanya sudah begitu masyhur sebagai mafia yang pernah bekerja bagi Al Capone, dan kini mereka pulang untuk memulai bisnis baru, tanpa menyadari bahwa sebuah kekuatan jahat tengah bersiap melepaskan terornya ke seisi kota.
Kekuatan jahat itu mengambil wujud sekelompok vampir, namun serupa yang dilakukan oleh Quentin Tarantino di From Dusk till Dawn (1996), naskah buatan Coogler menyimpan aksi para makhluk pengisap darah tersebut hingga paruh kedua cerita. Sebelumnya, Coogler dengan penuh kesabaran, menata "panggung" yang bakal melatari konflik utamanya, mengumpulkan orang-orang yang akan terlibat, sembari menyusun latar belakang masing-masing dari mereka.
Smoke dan Stack berniat membangun juke joint bagi orang-orang kulit hitam yang tak mendapat ruang bersenang-senang akibat cengkeraman warga kulit putih. Keduanya berpencar guna mengumpulkan nama-nama yang dirasa bisa berkontribusi: Sammie (Miles Caton) si adik sepupu yang piawai memainkan gitar; Delta Slim (Delroy Lindo) si musisi legendaris setempat; Cornbread (Omar Benson Miller) si penjaga keamanan; Bo dan Grace Chow (Yao dan Li Jun Li) yang menyediakan makanan; juga Annie (Wunmi Mosaku) yang memiliki kisah masa lalu dengan Smoke. Mary (Hailee Steinfeld) si gadis kulit putih yang dahulu memadu kasih dengan Stack pun turut terlibat.
Apa yang Smoke dan Stack lakukan mengingatkan pada film-film berisikan ensemble cast di mana protagonis merekrut deretan individu dengan kemampuan khas masing-masing untuk membuat tim super. Bedanya, Sinners memakai juga fase tersebut sebagai media memperkenalkan isu rasisme yang masing-masing pernah alami. Coogler secara cerdik memanfaatkan interaksi karakternya, menyelipkan sekelumit kisah mereka, selaku cara membangun latar belakang yang efektif.
Penonton pun dibuat betul-betul mengenal tiap tokoh, menganggap mereka sebagai manusia yang utuh, sehingga sewaktu teror akhirnya pecah, terasa ada sesuatu yang dipertaruhkan. Untungnya mereka masih sempat merasakan berpesta di juke joint milik Smoke dan Stack. Bernyanyi, menari, menikmati musik blues, menenggak alkohol, bahkan menemukan cinta bagi beberapa yang cukup beruntung. Berkat pembangunan latar belakang yang kuat, pesta tersebut tak terkesan sebagai hedonisme hampa, melainkan perayaan kebebasan diiringi teriakan kebahagiaan dari manusia-manusia yang disudutkan.
Di sekuen pesta itu pula Coogler mempersembahkan sebuah momen magis yang menjadi selebrasi bagi elemen kultural, terutama musik, yang meniadakan sekat pembatas. Momen itu merupakan bagian dari pembangunan dunia unik yang Coogler sematkan di naskahnya.
Musik blues memang memegang peranan penting di Sinners. Perhatikan setiap ia dimainkan di adegan mana pun, dan kita seolah dapat merasakan teriakan hati para musisinya, yang tidak jarang memunculkan nuansa mistis. Suara gitarnya terdengar bak tangisan, nyanyiannya seperti curahan doa. Kekuatannya begitu besar, hingga (menurut film ini) mampu menembus batasan ruang dan waktu, pula kehidupan dan kematian.
Pemakaian musik blues pun turut menambah keunikan adegan aksinya, meski di saat bersamaan, pengarahan Coogler justru menampakkan kelemahannya. Penanganan sang sutradara yang selalu stylish, bahkan di momen-momen sederhana, misalnya single take saat Lisa Chow (Helena Hu) berjalan ke toko sebelah untuk memanggil sang ibu, seolah lenyap kala dihadapkan pada aksi saling bunuh. Tidak buruk, hanya saja terlampau generik bila dibanding segala hal yang sebelumnya telah disuguhkan.
Bukan berarti babak puncak Sinners kehilangan daya bunuh sepenuhnya. Momen itu tetap menjadi pengingat betapa orang kulit putih, dalam kondisi apa pun, bahkan setelah kehilangan nyawa, tetap menginvasi ruang personal kaum kulit hitam, merenggut segala hal milik mereka, dari orang-orang tercinta hingga hak sederhana untuk sekadar tertawa melepas penat bersama.
Tidak ada komentar :
Comment Page:Posting Komentar